Kamis, 10 November 2011

Si cupu dan kuper



Pada suatu rapat pertemuan seseorang dengan tiba-tiba berseloroh, menjuluki saya jenius karena salah satu celetukan yang saya lemparkan dapat mendatangkan ide bagus untuk mengatasi salah satu masalah yang tengah jadi topik pembahasan. Seluruh ruangan tiba-tiba menjadi ramai oleh tawa dan pujian yang bersifat sindiran. Bahwa saya yang selama ini terlihat tidak begitu pintar mampu mengutarakan sebuah solusi.

Saya tersenyum, berpura-pura tidak mendengar salah seorang junior manajer yang kebetulah duduk berhadapan dengan saya. Memamerkan deretan gigi saya yang berbalut bracket pada salah satu rekan kerja saya yang cukup akrab pada saya, saya mengendikkan bahu. Rekan kerja saya tersenyum mahfum, seperti menyadari bahwa adegan barusan itu terlalu berlebihan. Saya meninju ringan pundaknya, dan kami tertawa.

Pada beberapa waktu sebelumnya, ketika dalam kesempatan ngobrol melepas rutinitas pekerjaan, dan saya melontarkan beberapa referensi tempat makan yang saya tahu. Seseorang, sang juniot manajer itu kembali menyelidik saya. Mengutarakan bahwa dibalik penampilan saya yang seperti orang aneh atau kuper ini ternyata menyimpan banyak kejutan. Disebutkannya mengenai koleksi lagu saya yang ia tahu dan seringkali membuatnya tercengang, lalu pilihan buku bacaan saya, juga tulisan-tulisan saya yang sempat tidak sengaja dia baca. Pun demikian tetap saja dia menitikberatkan pada cara berpakaian saya yang dinilainya tidak memenuhi standar wanita pekerja kantoran pada umumnya.



Saat itu saya hanya berseloroh sambil lalu, bahwa dibalik tingkat pendidikannya yang tinggi itu, dia rupanya belum mempelajari filosofi "Jangan menilai buku hanya dari sampul luarnya saja". Kembali seisi ruangan tertawa, seolah-olah saya telah melakukan sebuah manuver yang cukup telak untuk junior manajer itu. Tapi saya lebih melihatnya sebagai bahan ejekan baru, atau paling tidak saat mata mereka saya tatap, saya masih melihat sikap meremehkan itu. Saat itu saya masih tertawa, namun terasa hambar. Rasanya kerongkongan ini kering.


Waktu itu dengan datangnya beberapa rekan kerja baru, saya merasa senang karena mungkin ruangan tidak akan lagi sehampa saat ditinggal beberapa rekan kerja saya yang memilih untuk mengundurkan diri karena ketidakjelasan ruang lingkup pekerjaan, juga karena dari rumor yang saya dengar, junior manajer terlalu berambisi untuk menaikkan posisi dengan memborong beberapa project pekerjaan secara membabi buta. Selentingan yang saya tangkap dari pembicaraan antara beberapa orang yang masih dalam tim saya sepertinya menyalahkan kinerja junior manajer dalam mengorganisir anak buahnya. Sehingga ketika tekanan itu semakin tidak menentu, maka pilihan satu-satunya adalah mencari lahan usaha lain.

Bahkan Ricky, rekan kerja saya yang dulu sering beradu argumen dalam hal candaan dengan saya malah mendapatkan posisi yang lebih baik dari junior manajer, tentu saja dengan jenjang upah yang lebih menjanjikan dibanding disini. Sedang laki-laki yang saya beri panggilan khusus yang cukup baik dengan saya itu kabarnya tengah memulai usaha sendiri. Sedang satu pria yang disini dijuluki mirip dengan Ariel Peterpan itu juga mendapatkan posisi pekerjaan yang lebih menjanjikan disini. Terakhir, saat Mas Ega, satu orang yang paling sering memanjakan saya dikantor akhirnya pergi (Saya cukup sedih dan kehilangan saat itu), malah akan terbang ke Dubai untuk meneruskan karir bersama sang istri yang juga telah lebih dulu meniti karir disana.

Saat itu, terpaksa semua project terhenti, karena pengunduran diri mereka yang mendadak dan secara berurutan dinilai sebagai salah satu bencana bagi departemen. Dan saya sempat kebagian beberapa back up pekerjaan yang benar-benar tidak pernah saya kenal sebelumnya. Apa daya, lingkungan kantor saya bukanlah lingkungan yang dapat menghargai dan menghormati bahwa setiap orang telah melakukan perjanjian kerja dimana ada kesepakatan terhadap satu ruang lingkup kerja tertentu, dimana tentu saja saya dapat menolaj pekerjaan yang bukan pekerjaan saya. Tapi pada kenyataannya, dunia kerja tidak seperti dunia sekolah, dan perintah atasan langsung menjadi sebuah mantra yang bila ditolak, tentu akan mengakibatkan posisi pekerjaanmu semakin mendapatkan tekanan. Jadi, saya berusaha menerima dan mengerjakan beberapa limpahan pekerjaan itu.

Singkatnya, Manajer saya juga sepertinya melihat bahwa kebutuhan departemen semakin mendesak, belum lagi kebutuhan pribadi untuk mendapatkan posisi yang lebih baik dari posisi yang dimilikinya saat ini, akhirnya dua orang baru datang sebagai pengganti empat rekan kerja saya yang telah mengundurkan diri. Saya pikir, dengan hadirnya dua orang baru ini, setidaknya akan ada perubahan berarti, paling tidak, kita semua bisa belajar dari pengalaman sebelumnya, bahwa menitikberatkan sebuah beban lebih dari kesanggupan adalah sebuah cara yang akan mendatangkan kerugian pada diri kita sendiri.

Awal mula masuk, seperti kebanyakkan karyawan lainnya, sikap masih malu-malu, yang kemudian berubah menjadi memalukan. Ini adalah arti dalam kamus pergaulan saya, dan bukan seperti yang sering dijadikan lelucon di kalangan bebas. Kebiasaan junior manajer mencela dan merendahkan saya malah dijadikan acuan untuk mereka ikut jejak junior manajer. Saya punya hak untuk marah, tapi sepertinya terlalu kekanak-kanakkan untuk meladeni setiap kalimat yang mereka lemparkan pada saya. Bahwasanya saya adalah bukan orang yang dapat seenaknya mengutarakan kekesalahan bahkan amarah, bila saya merasa tidak nyaman dengan orang itu. Paling mudah, saya anggap angin lalu, atau lebih mudahnya, saya anggap mereka tidak pernah hidup di dunia yang sebenarnya.

Itu anggapan saya dulu. Tidak saat kemudian ditengah gempuran berbagai project yang harus segera diselesaikan ini saya kembali menjadi satu-satunya yang terlihat paling lemah dan dapat dimanfaatkan sedemikian rupa. Ditengah rapat, saya biasa dapat muntahan pekerjaan yang seringkali ditolak oleh mereka yang merasa lebih kompeten untuk mengerjakan pekerjaan yang tingkat kesulitannya lebih tinggi, bahkan jika itu adalah termasuk dalam ruang lingkup kesepakatan perjanjian kerja mereka sendiri. Tapi ketika muntahan itu saya terima diluar dari berita yang seharusnya saya ketahui, saya merasa terhina dan tidak senang. Ini seperti seolah-olah saya hanyalah pelengkap penderita mereka saja yang dapat langsung digunakan apabila mereka kehilangan sebuah wadah untuk memuntahkan hal yang mereka anggap tidak begitu akan terlihat hasil kerjanya.

Pekerjaan mudah dan ringan, menurut mereka. Yang hanya akan dapat mereka selesaikan dengan kedipan mata. Lalu mengapa mereka tidak kerjakan jika untuk menyelesaikannya saja bahkan lebih mudah daripada bernafas? Saya hanya ingin meneriakkan kalimat itu di telinga mereka, bahkan kepada karyawan baru yang langsung menjadi kesayangan junior manajer hanya karena ia bersikeras mengetahui segala hal dan menguasai segalanya. Dan saya tetap menjadi si cupu dan kuper yang dapat diberikan limpahan pekerjaan yang kemudian jika saya berhasil mengerjakannya akan membuat mereka terkagum-kagum kaget.

Saya mungkin berpakaian alakadarnya, dan apa adanya. Saya tidak sepintar mereka yang berkutat pada bidang yang mereka sudah tekuni sejak lama, bahkan jenjang pendidikan saya sangat amat jauh berbeda dengan tempat dimana saya duduki saat ini. Kemampuan saya meningkat karena saya belajar, bahkan dari hal yang hanya pernah saya dengar namanya ditelinga saya, atau bahkan untuk hal yang saya belum pernah mengetahui sebelumnya.

Saya, si lulusan manajemen ini akhirnya berani menerima pekerjaan di bidang IT berdasarkan belajar dan keingintahuan. Dan saya mau belajar! Jikapun saat itu saya tidak terjebak dengan kebutuhan pemenuhan kehidupan yang tidak mendesak, mungkin saya sudah menekuni bidang yang sesuai dengan pendidikan saya saja. Itu bahkan kalian tidak dapat melihat. Sama seperti kalian yang akan menatap jijik pada deretan data yang telah saya kumpulkan pada excel saya, karena kalian tidak mengerti excel, bahkan menolak mempelajarinya.

Lalu kalian akan memicingkan mata dan menyunggingkan garis bibir kalian membentuk kiasan kurva melengkung sebagai icon senyum dan meminta saya untuk mengerjakan pekerjaan yang berhubungan dengan microsoft office yang membuat kalian jijik itu. Dan saya juga harus mengerjakan pekerjaan yang menguras keringat dan kerut saya karena bahkan bahasanya baru saja saya dengar saat itu. Tapi saya belajar, saya kerjakan, karena saya tidak selihai kalian yang dengan leluasa dapat main ping-pong dengan lisan kalian yang licin itu. Saya, yang kalian juluki cupu dan kuper inilah yang akhirnya menyelesaikan pekerjaan kalian. Dan bahkan kalian tidak dapat melihatnya sebagai sebuah usaha yang utuh. Bahwa itu bukan bidang yang saya tekuni sejak lama, bukan passion saya, dan bukan dunia dimana saya tertarik untuk terlibat.

Saya banyak belajar, karena saya butuh. Setidaknya saya sanggup menopang tubuh saya sendiri, bila saya masih susah menghidupi keluarga saya. Tapi jika kalian lihat dengan hati kalian, saya ini juga manusia, dan bukan robot. Seringkali bila kalian terlalu tenggelam dalam tawa setelah mengejek saya yang cupu dan kuper ini, kalian lupa bahwa saya juga manusia seperti kalian. Bahwa dibalik pakaian lusuh dan sendal jepit ini adalah orang yang senantiasa bersedia membantu kalian tanpa perlu disebutkan satu-persatu jasanya. Saya tidak butuh itu, tak butuh medali atau penghargaan, hanya butuh tatapan yang sama seperti saat kalian menatap sesama kalian.





___________
Sepertinya ceracauan ini akan berlangsung sampai minggu depan. *Fiuhhhh*

2 komentar:

  1. huuuuh, maaf nafas panjang lagi. saya orang kuper daripada gaul, saya juga sepertinya antitrend hehe, yah resiko menjadi 'sosok yang tidak penting' selalu rawan untuk jiwa para kuper. saya pun belum berhasil menemukan solusinya... hehe

    dan komen ini sungguh sia-sia =)

    BalasHapus
  2. Hahahaha.. semua tergantung diliat dari kacamata mana dulu kan ;)

    Solusinya jadi diri sendiri aja. wkwkwkwk.. *sok bijak*

    BalasHapus

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...