Selasa, 15 November 2011

Balada si cupu dan kuper: Bagian 3

Perdebatan itu tidak nyata-nyata terjadi begitu saja. Kami tidak berhadapan wajah, juga tidak saling melemparkan tatapan sengit. Saya berusaha semampu saya untuk menjaga intonasi suara saya, juga nada bicara yang demikian saya jaga untuk tidak terlalu terlihat bahwa saya marah. Ya. Saya marah. Demikian marah sehingga kepala saya masih sakit sampai sekarang.

Kejadiannya cukup sederhan, tapi menyentil emosi saya sedemikian rupa sehingga terlontarlah kalimat-kalimat bantahan itu. Dan saya tetap mengerjakan permintaan tolongnya. Mengajari anak baru itu mengenai program baru bukanlah hal sulit, hanya memberikan sedikit demo pengenalan produk dimana seharusnya ia maupun anak buahnya itu dapat melakukannya.

Karena kebetulan sekali mereka yang menggunakan program itu, dan saya adalah pekerja yang memonitor hasil kerja yang mereka kerjakan dengan program baru itu. Sayangnya, program itu tidak pernah diketahui olehnya, kedudukannya yang lebih tinggi membuatnya mampu memberikan gambaran bahwa cukup anak buahnya saja yang menggunakan program tersebut dan ia akan cukup menjulurkan lidah dan memainkan nada suara dengan sedemikian manisnya jika ditanya mengenai pengetahuannya mengenai hal itu. Demikian mudahnya. Kemampuan menjulurkan lidah yang sempurna.

Saya terbiasa menyelesaikan pekerjaan saya dengan cepat sehingga saya memiliki waktu luang untuk sekedar melepas penat dari keruwetan pekerjaan saya. Manajemen waktu saya terbilang baik, dan saya tidak serta merta bangga dengan hal itu. Karena kemudian hal itu hanya dipandang sebelah mata oleh beberapa orang. Bahwa ketika mereka melihat saya tengah bersantai dan tidak mengerjakan apapun, maka yang terlintas dalam benak mereka adalah saya hanya makan gaji buta.

Lalu ketika pekerjaan itu menyita hampir seluruh waktu saya, bahkan sampai melebihi jam kerja kantor saya, mereka toh tetap menggerogoti waktu saya. Bahkan sempat-sempatnya berseloroh bahwa akhirnya saya terlihat bekerja oleh mereka. Jika saja ruangan itu tidak dibuat secara terpisah-pisah, saya ingin sekali melihat ekspresi mereka ketika saya mampu menyelesaikan pekerjaan saya dengan cepat, rapih, dan tidak melupakan satu detailpun.

Saya bukannya tidak tahu bahwa anak buahnya itu sedang dibebani banyak pekerjaan, tetapi bukan berarti ia juga harus menutup mata terhadap pekerjaan saya. Jadi, seandainyapun ia tidak mampu memberi sedikit penggambaran mengenai pekerjaan yang akan dilimpahkan kepada anak baru itu, bukan berarti juga saya yang harus meninggalkan pekerjaan yang tengah saya kerjakan meskipun hanya sebentar.

Silahkan saja berdalih bahwa itu adalah bagian dari tugas saya karena saya yang lebih banyak menggunakan program tersebut. Tapi cobalah berhenti berpura-pura seolah-olah anda tahu betul mengenai program tersebut, karena jika anda benar-benar tahu mengenai program itu, anda akan menggunakannya dan tidak akan ikut memperhatikan demo yang saya lakukan ketika saya tengah menjelaskan mengenai program tersebut kepada anak baru itu.

Dan hentikan berbicara kepada saya dengan senyum menjijikan itu, karena saya cukup paham maksud anda. Tenang saja, saya bukanlah sang manajer yang mampu tunduk hanya karena terkena liur maupun kerlingan mata anda yang mampu meninggalkan garis melengkung tipis saat anda tertawa maupun tersenyum itu. Saya mungkin cupu dan kuper, tapi saya mampu lebih melihat ke dalam hati dibanding anda yang berpendidikan tinggi dan terpelajar.

Sekali lagi jika hanya menilai sesuatu berdasarkan gaya pakaian dan penampilan luar saja, tentulah bisa terlihat sebagaimana berhasilnya pendidikan tinggi yang anda enyam bahkan sampai keluar negeri itu. Percuma Pak!

Kepala saya sakit sejak perdebatan itu. Menjadi emosi seperti ini benar-benar memberi efek buruk untuk saya. Suatu kemunduran, sama sekali tidak menguntungkan.


Kesalnya
Source

___________

Menyebalkan *Jambak rambut*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...