Selasa, 31 Januari 2012

Retakan dalam hatiku

Aku bisa tersinggung dan marah lho kalau kau terus bahas hal itu. Kuberitahu tentangku, aku bukan wanita murahan yang dengan mudahnya menyerahkan mahkota diriku kepada sembarang pria tanpa ikatan suci. Bahkan pria itu, yang kau tuduhi telah menikammu dari belakang pun begitu menghormatiku dan menjaga kehormatanku. Maka ketika kau kembali menjadikan kesucianku sebagai bahan keraguan, aku bisa saja suatu saat murka.

Jangan pikir bahwa semua yang kau baca dari artikel di dunia maya itu adalah acuan untuk menilaiku. Ya, aku memang terus memikirkannya sejak kau beberapa kali membahas mengenai kesucian seorang wanita. Bila secara gamblang keperawanan itu dapat dinilai hanya dari tanda fisik, tak perlu diciptakan oleh Tuhan segala rahasia itu melalui keistimewaanNya.

Aku memang tahu sudah banyak wanita yang tak mampu berkomitmen menjaga fitrah paling istimewa pemberianNya dengan berbagai macam alasan. Tapi aku masih tahu aturan, mana yang baik dan yang akan menghancurkanku. Jadi aku pasti memilih untuk tetap utuh agar tidak hancur. Karena bagaimanapun kuatnya aku dihadapanmu, kau tak akan tahu retakan dalam hatiku sudah seberapa banyak dan besarnya terbentuk.


I don't know how long you'll keep doubting and curious about me
Foto dari sini

Senin, 30 Januari 2012

Bukan marah, tapi sakit

Perasaanku pada waktu itu
Foto dari sini


Bagaimanapun aku mencoba mengerti, tetap saja kata itu terasa menggelayut begitu saja di kepalaku. Mencoba mengerti bahwa kau begitu saja tiba-tiba ingin kembali menjalin hubungan dengannya, yang nyata-nyata waktu dulu itu kau tunjukan bahwa diputuskan hubungan pertemanan dengannya setelah hubungan asmara kalian selesai adalah bukan masalah bagimu, ternyata sulit kuterima. Masalahnya adalah kenapa dengan alasan bahwa ia adalah teman adikmu, maka kau yang harus memulai hubungan pertemanan itu?

Aku bukannya tidak mengerti bagaimana mulianya menjalin silaturahmi itu, yang aku tidak mengerti adalah ketidak konsistensi alasan yang kau gunakan. Dan juga, bagaimana mungkin kau begitu saja menggunakan alasan yang begitu tidak mampu kuterima? Juga mengapa kau yang harus mulai menghubunginya? Apa mungkin, begitu kalian telah berteman, lalu kau juga yang akan memulai percakapan itu? Entah mengiriminya pesan lebih dulu atau bahkan memberitahu hal yang tidak masuk akal lainnya yang sengaja kau buat untuk memperpanjang percakapan.

Kuberitahu saja argumenku, temanmu itu tak akan begitu saja melemparkan lelucon seperti itu jika sebelumnya tidak pernah ada lelucon 'pancingan' darimu mengenai masa lalumu itu, juga mengenai hubunganmu denganku. Jika ingin merajut kisahmu yang tidak bisa dilanjutkan pada masa lalu, benar selesaikan dulu denganku. Tapi kan kau bilang bahwa kau mau menyambung yang memang telah tersambung denganku. Lalu kenapa tiba-tiba beralasan demikian rendah?

Kuberitahu juga bagaimana membuat berita yang tidak akan menyakitiku, asalkan bukan kau yang memulai. Itu saja. Aku akan biasa saja mendengar semua ceritamu tentangnya dengan alasan semurah apapun, asalkan bukan kau yang lebih dulu menghubunginya. Tapi kenyataan yang kudapat bukan seperti itu, kan? Kau yang lebih dulu menghubunginya, lalu mungkin kau juga membaikinya agar ia mau menerima hubungan yang ingin kau jalin lagi.

Aku berpikir lama, dan tetap tidak mengerti maksudmu. Maka kau akan melihat emosiku yang tiba-tiba akan naik turun. Tidak akan seperti penderita bipolar, tapi lebih seperti merapi yang perlahan memuntahkan laharnya. Karena aku tetap saja sulit mengerti alasanmu harus memulai semuanya lebih dulu dengannya. Kalau memang ia adikmu, lalu kenapa? Toh saat itu kau tidak merasa perlu menjaga hubungan dibalik asmara yang putus, saat ia menghapus namamu dari daftar pertemanannya. Ia teman adikmu, ya biarkanlah.

Aku memang tidak marah padamu, tapi aku marah karena aku merasakan sakit itu lagi setelah mencoba kembali mempercayai kata-katamu. Nyatanya aku malah menemukan tidak adanya sinkronisasi dari kalimat yang kau berikan padaku dan yang kutemukan tempo hari itu. Aku kan bingung kata mana yang harus kujadikan pegangan untuk kusandarkan hidupku dalam kepercayaan padamu?

Rasanya jika kau tidak mampu memahamiku mengenai keberatanku atas tingkahmu, itu kuanggap mengada-ada saja. Bagaimanapun, kau yang memulai duluan komunikasi itu dengannya. Itu yang kutahu. Dan itu yang membuatku sakit.

Minggu, 29 Januari 2012

Bila libur datang

Sejujurnya saya selalu malas jika sudah masuk hari sabtu, minggu, atau hari libur lainnya. Bukannya saya tidak senang, saya tentu senang karena bisa terbebas dari rutinitas kantor, bisa bersantai-santai, dan tentunya memuaskan diri tidur sampai siang dan melanjurkan berleha-leha melepaskan penat setelah lima hari berjibaku dengan pekerjaan kantor.

Yang membuat saya agak malas menyambut hari libur adalah rutinitas yang harus saya lakukan di salah satu waktu setiap hari libur itu. Padahal dulu ia bilang jarang pulang kerumahnya ketika masih tinggal bersama om dan tantenya itu. Tapi kenapa saya merasa setiap libur harus melakukan kunjungan kesana? Ritual absen itu sejujurnya membuat saya sedikit risih dan malas.

Padahal juga ia kan setiap hari menghubungi orang tuanya, juga adiknya yang mampu ditemui di setiap hari kerja karena satu kantor dengannya. Masa iya adiknya tidak bisa cerita bahwa kakaknya sehat dan baik saja. Saya merasa jadi berfikiran bahwa ia hanya terlihat sehat dan baik hanya didepan saya saja. Maka itu sebabnya setiap libur selalu diharapkan menyetor wajah kesana.

Jadi dii setiap libur disuruh menyambangi rumahnya. Saya bingung saja, masa demikian intens nya kontak yang ia lakukan pada orang tua nya masih juga tetap kurang? Saya saja yang anak perempuan tidak demikian 'manja' nya. Saya juga selalu rindu ibu saya yang tinggal cukup berjarak dengan saya tinggal, tapi saya dapat menekan perasaan saya dan kangen itu akan saya panjatkan padaNya untuk senantiasa menjaga ibu.

Tapi ketika saya ogah-ogahan kesana, ia akan menganggap saya kurang perhatian pada mereka. Lagipula saya juga tidak melakukan apa-apa selain disuruhi makan terus setiap kali berkunjung kesana. Seperti mereka melihat saya ini punya badan mirip orang kelaparan apa? Memang saya kesana cuma untuk minta makan?
Sungguh saya risih dengan perlakuan itu. Saya yang diperlakukan bak tamu atau anak raja sekalipun ketika berada di tengah mereka. Rasanya jika melihat saya yang memang menyenangi pojok sepi salah satu rumah itu tanpa melakukan apapun selain berdiam dan menikmati kesenangan saya membaca terasa begitu mengganggu mereka. Padahal saya juga tidak pernah minta macam-macam. Makan akan saya ambil sendiri jika saya memang lapar, minum juga saya sudah tahu tempatnya. Dan saya kan bukan tamu jauh atau tamu kehormatan lainnya. Itupun jika benar apa yang ia katakan bahwa tidak ada diskriminasi diantara saya dengannya.

Pun saya tidak mau tahu apa yang ia ceritakan pada ayahnya tentang saya. Kebiasaannya bercerita pada ayahnya tentang kehidupannya terus terang membuat saya merasa tidak punya privasi. Apalagi bila hal itu menyangkut tentang saya. Rasanya saya mau menceritakan apapun tentang yang ada dikepala saya jadi terblokade secara otomatis karena tahu ia mungkin akan menceritakan pada ayahnya atau salah satu keluarganya, mungkin juga teman-temannya.

Tak tahulah, rasanya malas jika hari libur datang. Saya tidak bisa benar-benar menghilangkan penat, bukan saja karena pekerjaan, juga karena privasi saya merasa diganggu.



Foto dari sini

Sabtu, 28 Januari 2012

Sakitnya ibu

It's been a long time since we act like in this pic
Foto dari sini


Ibu saya memang sudah lama menderita sakit. Sakitnya macam-macam. Mulai dari maag yang semakin parah, sampai kista yang tetap saja tumbuh walau sudah menjalani operasi sebanyak dua kali. Berbagai macam pengobatan juga sudah dijalani, tapi mungkin memang belum waktunya ibu sembuh total.

Saat berkunjung pada imlek kemarin, saya mengetahui bahwa benjolan di lehernya kembali kambuh. Ibu sempat diberitahu mengenai hal ini. Katanya semacam thyroid. Tapi karena tidak begitu mengganggu, ibu tentu tidak mau repot bolak-balik periksa ke dokter. Karena biaya untuk pemeriksaan kista saja sudah lumayan menguras kantong. Jadi benjolan itu membesar lagi. Waktu ibu telpon, saya berusaha tegar dan menyarankan untuk periksa. Tapi rupanya ibu tidak kunjung ke dokter. Katanya takut kalau sampai harus menjalani endoskopi. Padahal saya bilang untuk periksa ke dokter umum saja dulu. Tapi tetap saja ibu menolak.

Saat itu saya menyarankannya lagi ke dokter. Walau benjolan itu tidak menimbulkan sakit seperti yang dikeluhkannya tempo hari. Tapi saya melihat masih begitu jelas terlihat di lehernya. Setidaknya, saya ingin mengetahui diagnosis dokter mengenai penyakitnya. Tapi jawaban ibu kali itu begitu menohok saya. Katanya sayang uangnya. Kalau saat itu saya memegang uang, mungkin sudah saya berikan padanya untuk digunakan periksa. Tapi uang yang saya punya saat itu memang saya perlukan setidaknya sampai gaji saya bulan ini.
Jadi, saya mencoba membiarkan ibu yang tidak jadi ke dokter sampai setidaknya gaji saya bulan ini turun. Mungkin.

Saya tahu, ibu memikul beban cukup berat setelah saya pergi. Adik-adik saya juga bukannya orang-orang yang mampu diandalkan dalam menjaga ibu. Satu-satunya yang saya harapkan hanya suaminya itu. Semoga ia seperti yang dikatakannya ketika saya pergi. Bahwa tindakannya dilakukan agar ibu tidak terluka karena saya.

Saya juga tahu, ibu sudah bosan dan jengah dengan penyakitnya. Setiap kali perutnya merasa sakit atau darah tingginya kumat, ia pasti lebih sering menyembunyikan dari adik-adik saya. Karena sejak dulu ibu hanya bercerita pada saya mengenai penyakitnya. Mungkin karena dulu adik-adik saya dianggap masih terlalu kecil untuk tahu penderitaan ibu.

Lalu menanggung beban dengan bekerja untuk ikut menutupi kebutuhan hidup keluarganya, saya juga tahu betapa lelah yang ibu rasakan. Tapi saya juga tahu, ia hanya memikirkan kami anak-anaknya. Maka lelah itu mungkin tak ingin dirasakannya.

Saya memang bukan anak yang baik. Tidak bisa sedikitpun meringankan bebannya. Bahkan sebanyak-banyaknya doa yang saya panjatkan untuk ibu juga masih belum bisa membantu mengangkatnya demikian ringan dari apa yang ditanggungnya. Seberapapun banyak selisih paham yang terjadi diantara saya dengan ibu, tentu tak akan menghapus kenyataan bahwa kami adalah ibu dan anak.

Bu, sabar ya.. Anakmu ini sedang berusaha membantu dengan caranya sendiri. Mengerti ya bu..

Jumat, 27 Januari 2012

Terserah saja

Seharusnya saya tegaskan padanya waktu dulu sekali itu. Bahwa saya bukan hanya melepasnya, tapi juga meninggalkannya. Jadi ia tak perlu meluapkan kebenciannya pada saya sampai bertahun setelahnya. Sampai hari ini.

Kadang saya masih menerima berita mengenai dirinya yang masih menjelekkan saya didepannya. Tak masalah, terserah saja. Saya tak perlu takut nama saya jelek dimatanya karena justru hal itu membuatnya semakin mengerti mengapa saya tidak pernah berani melangkahkan kaki bersamanya.

If you keep telling me all about the story of him, just tell me. But don't hope that I would reply. I'll only listening to your words. Because I do have a respect to you.

Jadi saya memang bilang terserah saja pada kakak. Saya katakan untuk berhenti memberikan kabar pada saya semua hal yang berhubungan dengannya. Saya tak perduli. Masa bodoh saja. Saya memang yakin, ketidaksukaannya pada saya yang tak mendasar itu bukan semata karena cemburu, tapi karena ia tahu bahwa ia tak akan pernah bisa menyingkirkan saya dari hatinya.

So when you thought after I left, you could have him, it was all because I felt sorry for you. Yes, I gave him to you, something that you'll never know.

Saya masih kadang menerima telpon itu. Telpon dari nomor-nomor aneh yang ketika saya angkat terdengar suara-suara tak jelas. Lalu sms yang terkadang membuat saya mengeryitkan dahi. Saya sungguh sudah tak peduli apakah kau akan makan malam dengannya, atau apakah ia akan menjemputmu, atau bahkan jika kalian ternyata sudah tidur bersama pun. Semua terserah saja.

Saya memang tidak percaya dengan semua yang ia katakan. Maka saya biarkan saja ia mengoceh dan membuat ka Ila harus menyampaikan pada saya sambil berharap suatu hari saya marah. Saya memang marah, tapi bukan padanya, marah pada ka Ila yang juga tidak mengerti bahwa saya sudah tidak ingin berurusan dengan semua tentangnya.

"I serius nggak pernah mikirin dia lagi?"
"Buat apa?"
"..."
"I cuma nggak mau ngerasa bersalah terus"
"Tapi i tahu gimana menderitanya dia"
"We've made a promised"
"YOU made him promised"

Saya mungkin memaksanya berjanji. Tapi itu saya lakukan dengan banyak pertimbangan. Saya tidak akan pernah serasi dengannya. Juga tidak akan pernah tahan hidup dalam bayangan kebenciannya terhadap saya.Saya tidak akan tahan, dan akan tetap meninggalkannya.

Lagipula saya punya bayangan sendiri mengenai bagaimana jadinya ia dengannya. Satu-satunya wanita yang cocok bersanding dengannya ya hanya dia itu. Saya tak akan pernah meragukan perasaannya untuknya, sebagaimanapun risihnya saya terhadap semua perlakuan tidak menyenangkan yang pernah saya terima darinya. Saya tahu, ia akan memperlakukannya dengan baik. Karena ia telah berjanji pada saya.

"She'll be good to him, and he'll get over me. Soon"
"Whatever!"





Katanya saya melepaskan kebahagiaan saya, saya bilang "Kebahagiaan akan tetap lepas jika ia memang ingin lepas"
Foto dapat dari sini





Ya, terserah saja..

Kamis, 26 Januari 2012

Ibu dan hutang

Foto dari sini


Jadi ibu bilang mau jadi TKW. Iya, TKW yang itu, yang kerjanya di luar negeri dan kebanyakkan jadi pembantu. Adik saya yang paling kecil langsung bereaksi. Ia tegas-tegas mengatakan tidak dengan suara cukup kencang. Saya hanya diam saja. Dalam hati bertanya-tanya: ada apa lagi ini?

Lalu ibu mulai beberapa kali dengan wajah dibuat biasa saja mengatakan bahwa ibu banyak hutang. Saya masih diam sementara adik saya yang paling kecil masih terus melancarkan protesnya.

Ibu memang tidak bekerja. Tapi sudah cukup lama ibu membantu mengurusi koperasi sebagai bendahara. Dan uang koperasi itu beberapa kali diputar ibu dengan dipinjamkan kepada yang membutuhkan. Namun beberapa kali ibu sempat tertipu karena peminjam yang nakal tak jarang tidak dapat mengembalikan uang pinjaman dan kabur entah kemana. Sehingga yang terjadi adalah ibu yang harus menanggung biaya si peminjam.

Beberapa kali ibu bilang mau berhenti jadi bendahara koperasi karena resiko posisinya itu memang bukan sembarangan. Saya sendiri sudah pernah mengingatkan ibu mengenai hal ini. Tapi rupanya sampai sekarang masih juga bertahan.

Tempo hari ibu sampai panik karena hampir kehilangan uang puluhan juta karena peminjam tidak jelas keberadaannya dimana. Saya cuma bisa diam karena bicara pun percuma. Saya tahu ibu pasti tidak akan mendengarkan saya.

Saya tahu maksud ibu bertahan di posisinya. Pekerjaan suaminya yang hanya memiliki bengkel kecil-kecilan mungkin kurang untuk biaya sehari-hari. Tapi saya rasa, jika saja saudara-saudara suaminya itu cukup tahu diri dan bisa berhenti merepotkan ibu dengan meminjam uang dan berbagai keperluan lainnya, ibu tidak perlu bekerja sampai seperti itu.

Bagaimanapun, menolong memang baik. Tapi banyak saudara suaminya ibu yang tidak tahu diri dengan terus merongrong ibu yang kadangkala tidak bisa begitu saja tutup mata terhadap raungan saudara suaminya. Jadilah ibu yang kesusahan. Dan saudara suaminya itu banyak yang tidak tahu kesusahan ibu. Padahal suadara suaminya itu ada yang hidupnya melimpah kekayaan, tapi saya belum pernah mendengar bila mereka kesusahan tidak lari pada ibu.

Kadang gemas sendiri melihat ibu yang jadi kerepotan karena harus memikirkan hidup orang lain meski itu saudara sendiri. Saya juga tidak mengerti pola pikir saudara suaminya itu. Bagaimana mungkin terus lari kepada ibu setiap kali ada masalah tanpa pernah sekalipun merasa bersalah telah menerima bantuan terus-menerus? Padahal mereka sudah berkeluarga, sudah juga memiliki anak dan cucu.

Jadi, ketika tadi ibu bilang lagi bahwa ia punya banyak hutang. Saya hanya bisa diam. Karena pendapat apapun yang saya keluarkan menjadi percuma saja. Lagipula saya juga masih berusaha melunasi hutang ibu yang lain sambil berusaha menata hidup saya yang entah akan jadi apa nantinya.

Rabu, 25 Januari 2012

Tuhan tahu

God knows if I'll make you cry
God knows if we'll be alright
Then I walked out the door
I"m giving up the fight
--   fay wolf, God knows

Akhir-akhir ini saya lebih mampu menerima banyak peristiwa yang terjadi dalam hidup saya. Biarkan saja, saya bilang pada diri saya sendiri, nanti juga sembuh.

Saya bukannya menyerah. Mungkin beristirahat sebentar. Walau masih belum akan melakukan hal yang tidak sesuai dengan hati saya, tapi saya ingin beristirahat sejenak. Saya sadar, banyak sudah kesalahan yang saya perbuat. Banyak sudah orang yang saya sakiti. Banyak sudah yang saya buat menangis.

Ibu saya yang menyimpan sendiri perihnya.
Bapak saya yang tidak tahu bagaimana menyampaikan sesalnya.
Adik-adik saya yang berusaha mengerti dengan apa yang sebenarnya terjadi.
Ia yang pernah begitu lumpuh dihadapan saya, tenggelam dalam tangis saat saya memutuskan menampiknya.
Ia yang pernah menangis tersedu dan terlihat begitu tak berdaya dihadapan saya.
Ia yang semakin sering saya buat menitikkan air mata disela setiap sujudnya.
Dan mereka yang menampakkan peduli pada saya dan diam-diam menyimpan iba pada nasib saya.

Saya tak akan katakan bahwa saya meratapi nasib saya. Kadang, dalam sujud saya, kilasan peristiwa itu tetap tidak dapat begitu saja saya lupakan. Bahkan diantara sakit yang saya derita, diantara sariawan yang semakin sering mendera, juga pening yang kerap menyiksa diantara waktu menjelang dan sesudah tidur saya.

Saya.. Ingin mengakui, bahwa khilaf itu bukanlah sesuatu yang kadang dilakukan tanpa sadar. Tapi merupakan sesuatu yang tetap dilakukan bahkan ketika kita sadar itu akan menjadi suatu kesalahan dan membuat seseorang menjadi sakit. Saya hanya ingin menjadi diri saya sendiri. Hanya ingin menjadi bahagia dengan cara saya.

Tuhan tahu itu..



Saya masih rapuh, hanya mencoba menguatkan cangkang saya yang pernah retak
Foto dari sini

Selasa, 24 Januari 2012

Biarkan saja, nanti juga sembuh

Saya lupa, bahwa itu bukan rumah ibu. Seharusnya ketika saya pergi dari sana saya tidak bisa seenaknya lagi berlaku seolah saya punya hak atas rumah itu. Toh saya dulu bisa tinggal disana juga karena belas kasihan saudara suami ibu yang kaya raya itu. Padahal sebagai pemilik rumah, bisa saja ia mengusir kami dari rumah itu. Tapi tidak, karena ibu membayar sejumlah uang sebagai kompensasi untuk dapat tetap tinggal disana. Jadi, secara teknis, suami ibu memang tidak punya sebuah tempat tinggal untuk keluarganya.

Jadi seharusnya saya adalah tamu ketika berkunjung kesana untuk menjenguk ibu dan adik-adik saya, juga si kecil paul yang sudah seperti cucu bagi ibu. Dan saya tidak sepantasnya berlaku seperti selayaknya ketika saya masih tinggal dirumah itu. Saya harusnya minta ijin dulu ketika ingin menggunakan kamar mandi, ataupun sekedar beristirahat dikamar salah satu adik saya. Demikian juga ketika saya ingin menyantap makanan yang ada didapur, atau bahkan sekedar air putih untuk minum. Selebihnya, seharusnya saya tetap di ruang tamu sampai sekiranya saya pamit untuk kembali ke tempat tinggal saya.

Maka, saya yang saat itu ditampik oleh adik si pemilik rumah asli ketika hendak sekedar basa basi mencium tangannya untuk pamit, saya mungkin diingatkan siapa diri saya sebenarnya. Saya ini kan hanya seorang anak yang kebetulan menjadi anak dari wanita yang kini menjadi istrinya. Saya hanya seorang anak yang kebetulan terpaksa harus ikut di rawat, di asuh, di besarkan, dan di pelihara olehnya bersamaan dengan anak kandungnya yang lahir dari wanita yang dinikahinya waktu itu.

Yah, padahal saya sudah berusaha menurunkan ego dan kemarahan saya karena perlakuannya yang tak kalah angkuh dengan tembok benteng saya. Saya merendahkan diri dengan berusaha memberinya sedikit penghormatan untuk mencium tangannya saat pamit. Tapi ia sendiri yang bilang tidak usah dengan nada yang begitu santainya. Jadi saya pergi saja. Sakit ini bukan karena ditampik, tapi karena saya tahu bahwa luka saya kembali terbuka. Dan bahwa saya tahu ibu juga terluka, terlebih ibu juga melihat dan menyadari luka saya kembali menganga.

Ya sudah. Mau bagaimana? Saya rasa juga saya tak akan bisa begitu saja menutup luka yang sudah terlanjur membusuk ini begitu saja dengan plester pembalut luka maupun minyak tawon, atau obat lainnya. Biarkan saja.. Nanti juga sembuh.



Saya tidak perlu memaafkan, juga tak memilih untuk melupakan. Biarkan saja!
Foto dari sini

Minggu, 22 Januari 2012

(Merayakan) Imlek

Waktu itu saya hanya tersenyum maupun memaksakan tawa pada mereka. Saat itu saya tidak mampu mengatakan bahwa ada alasan mengapa saya tidak mirip dengan orang yang mereka kira adalah ayah saya. Suami ibu memang bermata sipit. Sekali lihat, orang pasti langsung 'ngeh bahwa ia adalah keturunan tionghoa atau biasa disebut oleh orang sini sebagai orang cina. Sekali lagi, bila ditanya silsilah bagaimana ibu bisa menikah dengannya saya pasti tidak akan bisa menjawab. Karena saya memang tidak tahu sama sekali cerita dibalik itu. Mungkin cinta. Atau apalah.

Saya memang tidak banyak memberitahukan status saya yang hidup dengan ayah sambung atau ayah tiri pada sembarang teman saya. Hanya beberapa orang yang tahu, itupun bisa dihitung dengan jari. Hanya orang-orang terpercaya.

Saya juga berusaha memberikan kesan baik terhadap suami ibu itu. Meskipun banyak kekakuan dan ada beberapa kenangan buruk yang saya ingat tentangnya. Tapi saya harus adil, ia memberi tempat untuk ibu (mungkin juga cinta yang tulus), juga memelihara kami (dalam hal ini tempat tinggal, sekolah dan nafkah).
Saya tidak akan cerita tentang suami ibu. Tapi tradisi mengenai darah tionghoa yang mengalir dalam darahnya. Sebagai keturunan tionghoa, ia menjadi mualaf ketika menikah dengan ibu (sepengetahuan saya, dari cerita yang saya dapat). Dan setiap tahun pasti merayakan imlek. Hari raya kaum tionghoa itu seperti ritual wajib yang harus dijalani bagi keluarga suami ibu. Walaupun dalam keluarganya terdapat berbagai macam keyakinan di kemudian hari, seiring dengan terjadinya pernikahan antar agama. Sehingga setiap hari raya keagamaan hampir ikut meramaikan juga.

Tradisi imlek itu tetap berlangsung setiap tahunnya. Biasanya saya hanya ikut-ikutan karena ibu yang mengajak. Padahal saya malas sekali harus ikut berkumpul dengan keluarga besar suami ibu dan berpura-pura bahwa saya begitu bahagia ditengah mereka. Tidak ada yang salah dengan keluarga besarnya. Mereka hanya, kadang tidak mengenali saya sebagai salah satu anggota keluarganya. Mungkin karena juga saya lebih banyak diam dan jarang mau ikut acara kumpul tahunan. Toh ibu juga kadang tidak akan begitu memaksa saya jika hanya acara ramah tamah biasa dan bukan perayaan hari besar.

Kami akan berkeliling ke rumah saudara-saudara suami ibu dan bercengkerama dalam tawa sambil mengucapkan gong xi fat cai. Lalu makan. Acara makan ini harus saya waspadai mengingat ada beberapa menu yang menyajikan makanan tidak halal yang terlarang untuk saya dan keluarga saya yang notabene adalah muslim. Tapi biasanya mereka memisahkan menu tak halal itu. Walau biasanya ibu dititipi pesanan untuk membawa daging babi panggang yang dapat dengan mudah ditemui di tempat makan dekat tempat kami tinggal.

Saya, jujur saja agak risih harus mengkonsumsi makanan yang sama pada tempat makan yang sama. Yang tentu saja telah digunakan oleh mereka untuk makan makanan yang tercampur dengan yang tidak halal itu. Karena bagaimanapun, meski saya tidak pernah menyentuh makanan yang dilarang dikonsumsi oleh agama saya itu, tapi tempat makan dan alat makannya bisa saja telah digunakan sebelumnya untuk menjadi wadah makanan itu. Lagipula mereka kan tidak mencuci peralatan makan itu secara terpisah sehingga tentu saja bekasnya tidak akan serta merta hilang dan menjadikannya suci (dalam peraturan muslim, untuk kategori najis itu harus dicuci dengan air sebanyak tujuh kali dan diselingi tanah diantaranya).

Saya tidak bermaksud sara atau menyinggung keyakinan agama lain. Hanya saja, hal ini amat sangat mengganjal dalam pikiran saya setiap kali hari raya ini datang. Apalagi ketika akhirnya saya harus mengikuti ibu berkumpul dengan saudara suaminya. Selain bai hio yang membuat saya mual dan pusing (ibu tahu mengenai kesulitan saya menghirup aroma ini), juga makanan dan peralatan makan yang bercampur.
Bagaimanapun, saya mengerti maksud ibu ingin membuat saya dan adik-adik saya dapat membaur dengan keluarga besar suaminya. Tapi tentu ada aturan yang harusnya ibu paham, mengingat ibu juga muslim. Saya tentu tidak mungkin menolak ajakan untuk mencicipi hidangan. Tapi sepertinya perlu ada penjelasan yang lebih rinci mengenai konsumsi halal haram ini. Terutama pengertian bahwa bukan hanya makanannya saja yang jadi patokan, tetapi tentu peralatan pendukungnya. Saya sepertinya sudah memberitahukan hal ini pada ibu, tapi toh ibu tak ambil pusing.

Untunglah tahun ini saya sepertinya bisa terbebas dari kebiasaan berkunjung itu. Toh saya juga tidak pernah merasa menjadi bagian dari keluarga suami ibu. Bukan salah mereka memang, juga bukan salah suami ibu jika akhirnya keluar dari mulutnya yang emosi itu bahwa ia akhirnya memilih untuk tidak masalah tidak mengakui saya sebagai anggota keluarganya.

Saya mungkin tidak akan dapat tambahan angpao seperti yang biasa dibagikan pada setiap sincia, yang merupakan satu-satunya penghiburan saya setiap kali harus kesana. Buat saya, itu lebih baik dibanding harus memaksakan diri menelan makanan yang baunya terasa aneh dan menahan mual dan pusing karena hio.
Saya sungguh tidak bermaksud sara atau apapun yang menyinggung agama lain, karena teman-teman saya pun bukan berarti muslim semuanya. Saya punya berbagai macam teman dari berbagai macam kalangan dan agama dan itu tidak menjadikan saya menjaga jarak dengan mereka. Hanya saja, tetap ada aturan bila menyangkut agama, bahkan dalam hubungan keluarga.

Tapi saya menyukai kue keranjang dan jeruk mandarin yang biasa ada pada hari raya imlek. Yang dibuat dengan campuran bahan halal lho ya. Hehehe..

Foto dapat di sini

Abu-abu

Kadang, saya berfikir untuk membiarkan saja diri saya dibohongi. Kembali diatur harus bersikap bagaimana dan harus melakukan apa. Menjadi saya yang hanya memenuhi impian dan harapan semua orang. Memang perbedaan itu sangat tipis, antara menyerah dan berpasrah.

Saya memang kesal. Bagaimana tidak, jika kau mengetahui bahwa apa yang kau dengar tidak sama dengan apa yang sebenarnya terjadi dibelakangmu. Rasanya seperti dijebak untuk terus tenggelam dalam buai narkotik. Agar terus menyandu, kemudian menjadi tak berdaya dan ketergantungan.

Saya bisa saja membiarkan diri saya hanyut begitu saja ditelah berbagai macam arus yang menarik saya untuk mengalir di jalur yang telah dibuat oleh mereka. Tapi itu artinya saya kembali lagi akan terjerambab dalam lingkaran itu, belas kasihan. Dan saya akan sama dengan mereka, tidak punya pendirian. Itu lebih menyedihkan dibandingkan kalah berkali-kali.

Hidup ini.. Entah bagaimana saya harus menjalaninya. Dalam dekapan kesendirian dalam keramaian, bahkan ketika ia ada di samping saya dan membuai saya dengan kata-kata dan janji manis yang hanya membuat saya tersenyum sesaat. Sebelum kemudian saya mengetahui bahwa ia (mungkin) tidak benar-benar mengatakannya dengan sungguh. Karena kemudian langkah kakinya dibelakang saya meninggalkan jejak yang berbeda dengan apa yang pernah ia tinggalkan untuk saya ikuti.

Saya harus bagaimana? Galau ini, apakah akan terus menggelayuti saya? Bosan rasanya harus terus mondar mandir di galauland yang berisi pemandangan yang sama. Abu-abu. Fiuh..


Foto pinjam dari sini

Sabtu, 21 Januari 2012

(Berbagai sifat) suamiku nanti

Foto dari sini



Aku sering merasa geli sendiri melihat kelakuannya. Bagaimana mungkin ia kerap bertingkah seperti anak kecil di hadapanku? Selalu merasa panik jika aku tidak ada didekatnya. Selalu menggenggam tanganku erat setiap kali berjalan denganku. Dan tidak pernah hilang dari pandanganku setiap kali kami menghabiskan waktu di toko buku. Meskipun saat itu kami tengah memisahkan diri menuju pojok favorit masing-masing.

Lalu senyum itu. Aku seringkali merasakan bulu kudukku yang berdiri setiap kali ia selalu tersenyum bilamana menghadapi kecerobohanku, maupun aku yang tiba-tiba menjadi bad mood karena sesuatu yang membuatku kesal. Ia bisa saja begitu mudahnya menghilangkan kedongkolannya karena omelanku yang tak kunjung reda dengan kemudian mengusap kepalaku dan tersenyum. Lalu didepan umum itu, saat aku masih saja sibuk mengomel, ia akan sesekali menciumiku dan membuatku merasa risih. Dan ia tak akan tahu bahwa yang ia lakukan itu menenangkan hatiku, walaupun yang ia lihat hanyalah wajahku yang masih menekuk karena kesal.

Aku tak akan dapat sendiri tanpanya. Ia akan bagai magnet untukku. Dimanapun aku berada, aku akan selalu membutuhkannya untuk berada disampingku. Entah kenapa, tanpanya aku akan merasa begitu kesepian meski di tempat ramai sekalipun. Karena bagiku, ia adalah segalanya.

Mungkin ia tak akan menyadari, bahwa suatu kelak bila ia tengah sibuk bekerja dan meminta ijinku untuk lebih lama menghabiskan waktu dikantor yang artinya akan pulang larut. Aku akan melarangnya. Karena aku merindukannya di tengah malamku yang sendiri tanpanya. Ia mungkin tak akan tahu karena aku tak akan memberitahu alasannya. Hanya ketika ia memberitahukan itu, atau meminta ijinku, aku tak akan memberikannya ijin agar ia segera pulang.

Saat aku marah, mungkin akan lama. Karena aku akan marah dengan alasan yang jelas, bahwa ketika itu aku menyadari bahwa alasan yang ia kemukakan padaku bukanlah alasan yang mampu kuterima dengan baik. Dan aku akan marah, mungkin 1 hari, mungkin 2, atau mungkin 3 hari. Memaksimalkan kelonggaran dalam memelihara amarah yang diperbolehkan dalam agamaku. Entah, mungkin saat itu ia juga akan marah padaku, tapi tentu tidak akan selama aku. Karena ia tahu bahwa ketika ia marah padaku, ia akan membuatku menanggung dosa besar. Maka ia akan begitu saja menerima amarahku dan berusaha meredakannya. Mungkin mencandaiku, membaikiku, atau sekedar mendiamkanku tapi tetap berusaha melakukan apapun keinginanku dengan ikhlas.

Ia akan bingung menghadapiku. Karena ketika dulu mengenalku, aku bukanlah wanita yang mudah cemburu. Tentu saja, bagaimana mungkin aku mencemburui seseorang yang bukan milikku? Tapi begitu menikah, ia telah ada dikehidupanku, di masa depanku. Maka aku akan begitu cemburu bila melihatnya begitu baik pada wanita manapun, bahkan mungkin ibunya. Aku mungkin aneh, tapi ketakutanku akan kehilangannya tentu wajar mengingat ia sudah menjadi separuh dari jiwaku. Maka bila suatu saat aku merasakan ketakutan akan kehilangannya, tentunya karena aku takut tidak akan dapat bertahan tanpanya.

Maka ia tidak akan mungkin memberikan perhatian pada wanita lain selain aku. Bahkan bila ia harus memberikan imbal balik pada wanita lain, itu hanyalah karena hal itu memang suatu hal yang penting dan bukan sekedar basa-basi atau iseng belaka. Karena ia tentunya tak akan memulai suatu hal yang memicu cemburuku. Aku akan tahu dari bahasa percakapannya, bahwa bukan ia yang akan memulai percakapan antara ia dan wanita yang bukan aku itu. Tentu saja, ia akan tahu menempatkan dirinya didepan wanita yang bukan aku itu, bahwa hanya akan memberikan respon sekadarnya, karena ada keperluan yang membuatnya harus melibatkan wanita itu.
...


Suami saya nanti.. Dan berbagai sifat yang membuat saya begitu menyanjungnya. Suatu saat nanti, saya akan mengalaminya. Tentu dengan suami saya.. Nanti.

Rabu, 18 Januari 2012

Suamiku nanti [lanjutan]

Saya pasti akan membuat teman-teman saya iri bila mereka tahu tentangnya. Tentangnya yang begitu menyayangi saya. Tentangnya yang begitu menghormati dan memuji saya. Saya yakin, ketika mereka mengetahui tentangnya, mereka akan juga bermimpi mendapatkan sosok seperti dia. Bagaimanapun, suatu saat nanti, saya yakin bukan hanya teman-teman saya yang iri, tapi juga setiap orang yang melihat kami berdua. Bagaimana ia akan begitu terlihat mencintai saya dan demikian tidak dapat menyembunyikan perasaannya bahkan didepan umum.

Saya akan sering memprotesnya karena ia sering membuat saya malu karena tidak mampu menahan luapan sayangnya pada saya. Saya juga mungkin akan sering berpura-pura kesal dan marah karena sikap dan perhatiannya yang berlebihan, bahkan didepan umum. Yang pasti, saya akan diam-diam tersenyum bahagia karena saya tidak betul-betul kesal dengan perhatian dan kasih sayangnya itu.

Ia, akan menjadi seseorang yang begitu penting untuk saya karena saya juga merupakan orang yang paling penting untuknya. Bagaimanapun, ia adalah sosok yang jauh dari seseorang yang tidak akan menduakan perasaan saya, bahkan dalam bahan candaan dengan teman-temannya sekalipun. Ia akan begitu menghormati saya sampai-sampai tidak akan menyinggung tentang wanita lain sekalipun hanya bermaksud untuk bercanda. Karena ia tahu, bahwa saya akan menjadi amat cemburu dan marah. Tapi tentu bukan hanya itu alasannya, tapi karena memang ia begitu menghormati dan mencintai saya sehingga tidak mungkin terlintas sedikitpun tentang sosok lain selain saya.

Mungkin saya akan sulit dibujuk jika marah. Saya akan diam, dan menahan air mata. Tapi bukan berarti saya tidak akan menangis. Akan ada saatnya saya menangis, karena saya sudah tidak mampu lagi menahan perasaan saya terhadapnya. Sebuah air mata untuk menunjukkan bahwa ia telah menyakiti perasaan saya. Suatu kali saya tentu akan mengetahui rahasia-rahasia kecilnya yang membangkitkan kecemburuan saya, dan saya akan kesal, mungkin marah karena alasannya yang tidak dapat saya terima. Tapi ia akan dengan sabar menjelaskan dengan sejujur-jujurnya tanpa menutup-nutupi apapun. Dan membuat saya mengerti, kemudian saya akan tersenyum senang karena ternyata ia memanglah sosok sempurna itu dalam hidup saya.

Saya tentu tahu, ia mungkin tidak akan menjadi sosok yang benar-benar sempurna, karena bagaimanapun ia hanyalah manusia biasa. Tapi saya tentu juga tahu, bahwa ia akan menjadi sempurna untuk saya tanpa perlu saya menuntutnya sempurna. Ia sudah tahu bagaimana harus bersikap terhadap saya, bahkan meskipun sekali waktu saya tegur, ia tidak akan membuat saya mengulangi teguran saya karena ia menghormati posisi dan kedudukan saya di hatinya.

Saya tidak akan pernah melarangnya melakukan apapun yang menjadi kesukaannya, sebab ia juga tidak pernah melarang saya melakukan apapun yang menjadi kesukaan saya. Dan itu tentu saja menjadikan teman-teman saya iri karena mereka tidak mendapatkan perlakuan seperti itu dengan sosok dari kehidupan mereka masing-masing. Bagaimanapun, ia akan dapat saya andalkan saat saya membutuhkannya. Kesabarannya dalam menghadapi saya akan membuatnya begitu istimewa di mata saya, dan saya tahu hal itu lagi-lagi hanya akan membuat teman-teman saya iri, atau siapapun yang melihatnya.

Tentu saja kesabarannya ada batasnya, karena bagaimanapun ia manusia biasa. Tapi ketika marah, ia tidak akan pernah membentak saya, karena ia tahu bahwa saya mungkin saja akan sangat terluka dan menangis. Tentu ia tidak akan pernah melakukannya. Ketika ia marah, ia akan tetap tersenyum dan berlaku baik pada saya. Kemudian mencari tahu bagaimana supaya kemarahannya itu segera mereda. Mungkin ia akan mendiamkan saya, tapi tidak akan pernah mengacuhkan saya. Dalam kemarahan, ia akan tetap memperhatikan saya.

Ia akan demikian menjaga rahasia saya, dari siapapun, bahkan orang tuanya sekalipun. Ia juga akan menutupi semua sifat buruk saya dan hanya menceritakan yang baik-baik saja mengenai saya. Ia akan selalu memaafkan kesalahan saya, dan memaklumi segala kehilafan saya. Sosoknya yang kuat pasti akan menjadi penopang saya yang lemah dan manja ini. Karena saya tahu, ia adalah orang yang mampu menjadi sandaran saya saat saya tengah sedih, menjadi teman saya saat saya sendirian, menjadi orang tua saya yang akan selalu ada untuk saya, bahkan menjadi kakak maupun adik yang mampu saya limpahi dengan ejekan atau teman bercanda. Ia akan mampu menjadi segalanya buat saya. Karena ia adalah pahlawan saya. Suami saya nanti.





Ia mungkin akan seperti gula ini, menambah manis hidup saya nantinya :D
Foto dari sini






_____________
Potongan impian yang pernah mampir di kepala saya mengenai sosok penting yang akan jadi pemimpin saya ketika itu.. dulu.

Selasa, 17 Januari 2012

Ketika saya berubah

Padahal saya hanya menginginkan sebuah kehidupan sederhana, dengan deretan senyum dan tawa polos yang menghiasi hari-hari saya. Dunia yang penuh kejujuran dan kepercayaan. Ketika akhirnya saya melanggar sendiri prinsip saya satu-persatu, seharusnya mereka juga menyadari bahwa ada yang salah dengan keadaan yang terjadi sehingga saya mampu berlaku demikian.

Saya selalu teguh memegang prinsip saya, bahkan saya  memaafkannya yang sempat membuat amarah saya bergolak ketika suatu kali ia begitu saja mencuri cium pipi kiri saya. Tapi memaafkan bukan berarti melupakan. Saya memang memaafkannya, tapi keadaan sudah tidak lagi sama seperti dulu. Saya tidak lagi memanggilnya dengan panggilan hormat seperti yang biasa saya lakukan jika berkomunikasi dengan orang yang lebih tua dari saya. Saya mulai menyamakannya dengan teman-teman sebaya saya. Tidak ada lagi gelar kehormatan itu menempel pada setiap panggilan saya padanya.

Saya selalu punya batasan dalam bersosialisasi, baik itu berhubungan dengan teman maupun keluarga. Saya bisa menjadi orang yang sangat menyenangkan dan pengertian hanya bila mereka berlaku demikian terhadap saya. Lalu ketika prinsip saya itu dilanggar, maka semuanya akan berubah. Tentu saja, sesuatu yang telah rusak, tidak akan pernah sama lagi. Semua orang tentu tahu itu. Dan memaafkan bukan berarti melupakan. Ingatan itu hanya waktu yang punya kuasa untuk menghapusnya. Tentunya dengan bantuan Tuhan sang pemilik waktu.

Maka ketika saya kemudian menjauhi mereka, tentu mereka seharusnya menyadari bahwa mereka telah menyakiti saya. Bahkan melanggar prinsip-prinsip yang telah disepakati sebelumnya. Saya mungkin naif, beranggapan bahwa dunia ini hanya terdiri dari orang-orang baik dan semua orang menjalani hidup seperti saya menjalani hidup, tapi bukankah hidup itu pilihan? Dan ketika kita memilih untuk hidup, tentu kita juga diberikan pilihan untuk membuat hidup kita jadi seperti apa nantinya. Dan saya telah menentukkan pilihan itu sejak lama. Bahwa di dunia ini tidak ada orang jahat, yang ada hanyalah orang yang tidak baik. Tidak baik bukan berarti jahat, karena label itu bukanlah kuasa kita untuk memberikan. Masih ada Tuhan yang Maha Kuasa atas segala hal.

Jadi, saya telah berubah. Saya telah banyak menyingkir dari keramaian bersama teman-teman lama saya. Orang-orang yang tadinya saya pikir mampu menjaga prinsipnya bersama-sama. Lalu keluarga saya rupanya juga menjadi orang yang kemudian seperti tahu semuanya tentang saya, dan mulai bergerak sesukanya, tanpa saya pernah diberitahu. Saya terbiasa berpikiran bahwa setiap orang adalah baik, tapi kehidupan yang sebenarnya mungkin memang tidak seperti pikiran saya. Tapi saya tidak pernah berpikiran secara logika, saya merasakan. Dan dalam merasakan itu, saya jadi lebih banyak tahu dan mengenal.

Namun banyak tahu tidak menjadikan saya berani. Saya tetaplah wanita penakut yang sering menangis diam-diam sendirian. Yang ketika malam dalam mata yang terpejam selalu merasakan sakit pada kepala saya karena migrain saya makin parah. Lalu saya harus mati-matian menahan sakit pada leher saya, karena menahan tangis itu ternyata begitu menyebalkannya. Tapi sekali lagi saya harus meyakinkan diri saya bahwa menangis seharusnya tidak pernah begitu akan menyita waktu saya. Saya harus tidur dan bangun keesokan paginya untuk bekerja demi mendapatkan gaji yang akan dapat saya gunakan untuk memenuhi kehidupan saya. Jadi saya tetap memejamkan mata dan menahan sakit pada kepala dan leher sambil berharap saya cepat terlelap.

Begitu saja. Tulisan ini menjadi demikian tidak teraturnya. Sepertinya saya memang tidak bisa menulis lagi. Mungkin ada yang salah dengan otak saya. :(


Senin, 16 Januari 2012

Suamiku nanti

Suamiku, nantinya akan menjadi pria paling pengertian di dunia. Melebihi siapapun. Suamiku nanti, adalah orang yang paling mampu menghargai aku sebagai istrinya melebihi siapapun. Ia akan menjaga seluruh kehormatanku, kehidupan pribadiku, dan semua pemikiran-pemikiranku. Suamiku tentu tahu, bahwa apapun yang berhubungan dengan istrinya akan dijaga dengan segenap jiwa raga. Semua rahasiaku akan aman padanya, karena aku tahu, aku tak perlu khawatir suamiku akan menceritakkannya pada siapapun.

Ia, mungkin akan sedikit bawel karena mengkhawatirkanku yang memang tidak suka di kekang dan terlalu di atur. Tapi ia akan membebaskanku melakukan apapun kemauanku, karena suamiku nanti, adalah orang yang begitu mempercayaiku dengan segenap hatinya.

Aku nanti akan jadi istri yang tidak akan rewel menuntut ini itu padanya, karena aku tahu suamiku nanti pastinya akan lebih mengerti mengenai diriku. Aku yang tidak bisa masak masakan enak, mungkin nanti akan lebih sering merepotkannya untuk membeli makanan di luar. Lalu sesekali, pada waktu luang akan menghabiskan waktu bersama mempelajari masakan di dapur rumah kami yang sederhana dan nyaman. Aku mungkin akan menjadi istri yang begitu merepotkannya, tapi suami nanti pasti akan lebih sering tersenyum dan merelakan dirinya direpotkan olehku. Sebagai istri, mungkin aku akan lebih sering minta dimanjakkan olehnya.

Suamiku nanti, pasti adalah orang yang tidak akan mudah menceritakan mengenai keburukanku pada siapapun, bahkan teman dekatnya maupun keluarganya. Lalu ketika hubungan kami memburuk, suamiku pasti akan menjadi sosok yang paling dapat mengerti aku, dan lebih sering mengalah untukku. Karena suamiku nanti, adalah orang yang paling pengertian yang pernah kutemui. Suamiku yang tersayang.

Nanti aku tidak akan bisa melakukan pekerjaan rumah tangga dengan baik dan benar. Lalu suamiku nanti akan lebih sering mencuci piring dan melakukan bersih-bersih rumah. Aku mungkin akan memasak, karena bagaimanapun, suamiku mungkin tidak akan dapat memasak seperti aku memasak. Meskipun masakanku mungkin tidak seperti koki hotel yang terkenal, dan suamiku akan lebih sering berbohong untuk memuji masakanku yang amburadul.

Suamiku nanti, adalah orang yang pekerja keras. Yang akan rela melakukan apapun untuk kebahagiaan istrinya, tentu dengan cara yang halal :). Lalu meskipun aku nantinya akan tetap bekerja juga, tapi itu semua hanya untuk mengisi kekosonganku tanpamu yang bekerja seharian di luar. Jadi, meskipun aku bekerja dan juga memiliki penghasilan sendiri, tentunya itu bukan menjadi suatu prioritas untukku karena suamiku tentu telah memenuhi semuanya untukku. Jadi aku tidak perlu bekerja keras dan membanting tulang karena bekerja hanyalah sekedar untuk mengisi kekosongan waktuku bila suamiku bekerja.

Suamiku nanti, mungkin akan kesal padaku karena aku akan menjadi istri paling manja dihadapannya. Tapi suamiku nanti pasti tidak akan keberatan, mungkin ia bahkan akan tersenyum dan menertawaiku yang terlihat begitu menggemaskan untuknya. Lalu ia akan mencandaiku, sampai kita berdua tertawa. Dan akan tertidur sambil berangkulan.

Foto dapat dari sini





_____________
Ternyata saya tidak bisa berhenti menulis. Saya sedang begitu galau nya mengenai kehidupan pribadi, jadi menulis coretan semacam ini. :P Terima kasih ya buat semua yang mendukung saya untuk terus menulis. Maaf akhir-akhir ini pikiran saya kacau. Saya sempat sakit, dan kehilangan semangat menulis. Tapi saya akan menulis lagi, walau mungkin akan sangat jarang untuk update blog ini.

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...