Minggu, 22 Januari 2012

(Merayakan) Imlek

Waktu itu saya hanya tersenyum maupun memaksakan tawa pada mereka. Saat itu saya tidak mampu mengatakan bahwa ada alasan mengapa saya tidak mirip dengan orang yang mereka kira adalah ayah saya. Suami ibu memang bermata sipit. Sekali lihat, orang pasti langsung 'ngeh bahwa ia adalah keturunan tionghoa atau biasa disebut oleh orang sini sebagai orang cina. Sekali lagi, bila ditanya silsilah bagaimana ibu bisa menikah dengannya saya pasti tidak akan bisa menjawab. Karena saya memang tidak tahu sama sekali cerita dibalik itu. Mungkin cinta. Atau apalah.

Saya memang tidak banyak memberitahukan status saya yang hidup dengan ayah sambung atau ayah tiri pada sembarang teman saya. Hanya beberapa orang yang tahu, itupun bisa dihitung dengan jari. Hanya orang-orang terpercaya.

Saya juga berusaha memberikan kesan baik terhadap suami ibu itu. Meskipun banyak kekakuan dan ada beberapa kenangan buruk yang saya ingat tentangnya. Tapi saya harus adil, ia memberi tempat untuk ibu (mungkin juga cinta yang tulus), juga memelihara kami (dalam hal ini tempat tinggal, sekolah dan nafkah).
Saya tidak akan cerita tentang suami ibu. Tapi tradisi mengenai darah tionghoa yang mengalir dalam darahnya. Sebagai keturunan tionghoa, ia menjadi mualaf ketika menikah dengan ibu (sepengetahuan saya, dari cerita yang saya dapat). Dan setiap tahun pasti merayakan imlek. Hari raya kaum tionghoa itu seperti ritual wajib yang harus dijalani bagi keluarga suami ibu. Walaupun dalam keluarganya terdapat berbagai macam keyakinan di kemudian hari, seiring dengan terjadinya pernikahan antar agama. Sehingga setiap hari raya keagamaan hampir ikut meramaikan juga.

Tradisi imlek itu tetap berlangsung setiap tahunnya. Biasanya saya hanya ikut-ikutan karena ibu yang mengajak. Padahal saya malas sekali harus ikut berkumpul dengan keluarga besar suami ibu dan berpura-pura bahwa saya begitu bahagia ditengah mereka. Tidak ada yang salah dengan keluarga besarnya. Mereka hanya, kadang tidak mengenali saya sebagai salah satu anggota keluarganya. Mungkin karena juga saya lebih banyak diam dan jarang mau ikut acara kumpul tahunan. Toh ibu juga kadang tidak akan begitu memaksa saya jika hanya acara ramah tamah biasa dan bukan perayaan hari besar.

Kami akan berkeliling ke rumah saudara-saudara suami ibu dan bercengkerama dalam tawa sambil mengucapkan gong xi fat cai. Lalu makan. Acara makan ini harus saya waspadai mengingat ada beberapa menu yang menyajikan makanan tidak halal yang terlarang untuk saya dan keluarga saya yang notabene adalah muslim. Tapi biasanya mereka memisahkan menu tak halal itu. Walau biasanya ibu dititipi pesanan untuk membawa daging babi panggang yang dapat dengan mudah ditemui di tempat makan dekat tempat kami tinggal.

Saya, jujur saja agak risih harus mengkonsumsi makanan yang sama pada tempat makan yang sama. Yang tentu saja telah digunakan oleh mereka untuk makan makanan yang tercampur dengan yang tidak halal itu. Karena bagaimanapun, meski saya tidak pernah menyentuh makanan yang dilarang dikonsumsi oleh agama saya itu, tapi tempat makan dan alat makannya bisa saja telah digunakan sebelumnya untuk menjadi wadah makanan itu. Lagipula mereka kan tidak mencuci peralatan makan itu secara terpisah sehingga tentu saja bekasnya tidak akan serta merta hilang dan menjadikannya suci (dalam peraturan muslim, untuk kategori najis itu harus dicuci dengan air sebanyak tujuh kali dan diselingi tanah diantaranya).

Saya tidak bermaksud sara atau menyinggung keyakinan agama lain. Hanya saja, hal ini amat sangat mengganjal dalam pikiran saya setiap kali hari raya ini datang. Apalagi ketika akhirnya saya harus mengikuti ibu berkumpul dengan saudara suaminya. Selain bai hio yang membuat saya mual dan pusing (ibu tahu mengenai kesulitan saya menghirup aroma ini), juga makanan dan peralatan makan yang bercampur.
Bagaimanapun, saya mengerti maksud ibu ingin membuat saya dan adik-adik saya dapat membaur dengan keluarga besar suaminya. Tapi tentu ada aturan yang harusnya ibu paham, mengingat ibu juga muslim. Saya tentu tidak mungkin menolak ajakan untuk mencicipi hidangan. Tapi sepertinya perlu ada penjelasan yang lebih rinci mengenai konsumsi halal haram ini. Terutama pengertian bahwa bukan hanya makanannya saja yang jadi patokan, tetapi tentu peralatan pendukungnya. Saya sepertinya sudah memberitahukan hal ini pada ibu, tapi toh ibu tak ambil pusing.

Untunglah tahun ini saya sepertinya bisa terbebas dari kebiasaan berkunjung itu. Toh saya juga tidak pernah merasa menjadi bagian dari keluarga suami ibu. Bukan salah mereka memang, juga bukan salah suami ibu jika akhirnya keluar dari mulutnya yang emosi itu bahwa ia akhirnya memilih untuk tidak masalah tidak mengakui saya sebagai anggota keluarganya.

Saya mungkin tidak akan dapat tambahan angpao seperti yang biasa dibagikan pada setiap sincia, yang merupakan satu-satunya penghiburan saya setiap kali harus kesana. Buat saya, itu lebih baik dibanding harus memaksakan diri menelan makanan yang baunya terasa aneh dan menahan mual dan pusing karena hio.
Saya sungguh tidak bermaksud sara atau apapun yang menyinggung agama lain, karena teman-teman saya pun bukan berarti muslim semuanya. Saya punya berbagai macam teman dari berbagai macam kalangan dan agama dan itu tidak menjadikan saya menjaga jarak dengan mereka. Hanya saja, tetap ada aturan bila menyangkut agama, bahkan dalam hubungan keluarga.

Tapi saya menyukai kue keranjang dan jeruk mandarin yang biasa ada pada hari raya imlek. Yang dibuat dengan campuran bahan halal lho ya. Hehehe..

Foto dapat di sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...