Kamis, 29 Desember 2011

Writer's block

Padahal waktu SD saya di Tangerang itu, saya selalu mendapatkan nilai paling bagus untuk pelajaran Bahasa Indonesia, terutama setiap kali disuruh membuat karangan. Mengarang, atau menulis merupakan kesukaan saya sejak dulu.

Saya sering membuat cerita dan menuliskannya pada buku bergaris saya. Mulai dari cerita sederhana yang berlatar belakang dongeng, sampai kisah-kisah yang saya buat sendiri. Semuanya rata-rata mengisi halaman belakang buku pelajaran saya. Atau jika tidak, saya tentu akan menuliskannya pada satu buku khusus dimana saya bisa menuliskan cerita karangan saya sendiri.

Guru saya selalu memberikan nilai bagus pada tulisan saya, bahkan tak jarang memuji tulisan saya. Beberapa teman saya sempat saya perlihatkan tulisan saya dan mereka menyukainya. Bahkan saya sempat beberapa kali mengirimkan beberapa tulisan saya (cerpen) ke beberapa majalah dan di muat. Saya sempat beberapa kali bekerja sama dengan teman saya untuk menghasilkan tulisan lain, seperti novel maupun blog yang isinya tulisan cerita, tapi karena banyak hal sehingga projek itu jadi terhambat.

Sekarang, saat saya sudah semakin dewasa, kegemaran menulis itu tidak hilang begitu saja. Saya memang sudah berhenti mengirimkan tulisan saya ke majalah-majalah demi mendapatkan honor, karena waktu saya sangat terbatas. Tapi saya masih suka menulis, walau hanya sekedar tulisan-tulisan yang artinya mungkin sulit di mengerti. Dulu saya punya beberapa blog yang kemudian terbengkalai karena kesibukan kuliah dan bekerja. Lalu, blog ini akhirnya terbentuk lagi karena komunikasi saya dengan Mbak Enno.

Tapi.. akhir-akhir ini semangat menulis saya sepertinya menjadi kacau. Saya sempat membuat coretan sekedar untuk menuangkan pikiran saya yang 'njelimet. Sempat begitu semangatnya membuat tulisan, meneruskan novel yang selalu berhenti di tengah jalan karena saya terlanjur jenuh dan dihujani masalah. Otak saya, sepertinya ada yang salah. Deretan huruf yang mengalir deras dikepala saya menjadi macet dan berhenti begitu saja begitu saya ingin tuangkan dalam tulisan. Pun saya jika sudah seperti ini biasanya akan dengan mudah menangis, gemas karena apa yang ada di kepala saya tidak dapat saya sampaikan bahkan lewat tulisan sekalipun. Tapi saya tidak menangis. Juga tidak menjadi gemas karena jari-jari saya tidak juga mampu membuat sebuah kalimat bahkan untuk menjadi awal dari apa yang hendak saya sampaikan untuk dijadikan sebuah tulisan. Mungkin saya mengalami apa yang dinamakan the writer's block, keadaan dimana saya tidak bisa menuliskan apa yang ingin saya tulis. Saya bingung.

Otak saya kacau. Pikiran saya buntu, dan kadang saya begitu saja langsung membatu dan menjadi seperti beku menatapi sebuah halaman kosong di depan saya. Tanpa satu hurufpun tertera disana! Ada apa ini? apa saya sudah tidak punya keahlian menulis lagi? Padahal dikepala saya banyak yang ingin saya sampaikan, tapi kenapa tidak satupun dapat disampaikan oleh jari-jari saya? Apa saya harus berhenti saja menulis?

Rasanya ingin menangis. Karena jika saya tidak menulis, mungkin saya akan mati.


Rabu, 28 Desember 2011

Ia selalu saja bercanda

Biasanya saya akan meladeni semua celotehan dan candaannya jika tengah berhadapan dengannya. Dering telepon yang mampir di telepon genggam saya biasanya tidak akan secepat itu berakhir, jika ia yang menghubungi saya. Kami akan berlama-lama bertukar cerita, kebanyakkan saling meledek dan mencerna candaan demi candaan. Ya, kebanyakkan percakapan melalui telepon itu akan diisi oleh iringan tawa yang tak berkesudahan. Kelakar dalam bahasanya yang sopan dan halus itu akan membuat saya tidak bisa berhenti tertawa. Pun demikian, seloroh spontan saya kadang malah gantian membuatnya tidak bisa berhenti tertawa.

Pun ketika kami bertemu, dan menghabiskan waktu bersama. Suasana ceria itu tak pernah lepas sedetik pun dari kami berdua. Ia akan membuat guyonan mengenai kekagumannya pada saya. Lalu saya akan menimpali dengan pujian tak henti mengenai sifatnya yang workaholic dan loyalitasnya yang tidak perlu diragukan lagi. Kami pun akan meneruskan dengan saling menyanggah, saling merendah, dan saling melempar pujian.

Saya menyukai bersama dengannya. Padahal awal mengenalnya, saya merasa skeptis. Ketika itu ibu saya berencana mengenalkan rekan kerjanya yang pernah diceritakan memiliki kecerdasan dan dedikasi tinggi terhadap pekerjaan. Saat itu dalam benak saya adalah sosok laki-laki setengah baya yang lebih tua dari ibu, dan serius. Siapa sangka, saya yang kala itu mengacuhkannya saat akhirnya ia datang kerumah, kemudian malah menjadi tertarik dengan sosoknya.

Ia yang saya acuhkan dan bahkan tidak saya gubris sejak kali pertama berkenalan malah demikian menyenangkannya mengisi hari-hari saya kemudian. Seringnya saya dan dua adik saya (saat itu adik pertama saya belum kuliah di Solo) menghabiskan malam minggu bersama-sama. Jalan-jalan ke mall, makan, bercanda.
............


Itu adalah keadaan yang seharusnya terjadi jika saja waktu tidak berjalan. Ya, itu adalah kejadian yang seharusnya terjadi pada waktu dulu. Dulu sekali. Bertahun yang lalu. Saat masa depan belum benar-benar menghalangi pandangan mata saya terhadap bagaimana kehidupan yang sebenarnya itu terjadi.

Ia menghilang. Bersamaan dengan pekerjaan yang kemudian ia tinggalkan begitu saja. Bertahun-tahun mengabdi pada salah satu maskapai terbesar di Indonesia tanpa pernah sekalipun mengambil cuti untuk sekedar berlibur maupun sekedar merasakan yang menjadi hak nya. Mungkin ia jenuh. Mungkin masalahnya sendiri kemudian membuatnya menjadi muak. Lalu ia pergi. Meninggalkan ibu saya yang sudah dianggapnya seperti ibunya sendiri. Meninggalkan rumah yang sudah dianggap sebagai rumahnya sendiri. Meninggalkan saya, hanya dengan sebuah pesan. Bahwa ia sudah berhenti bekerja dan memilih untuk bertani. Kembali ia bisa dengan mudahnya bercanda ditengah hiruk pikuk kemelut masalahnya sendiri.

Tentu saja saya tidak begitu percaya. Saya masih bisa mengiriminya pesan singkat dan ia masih kerap menghubungi saya sekedar untuk menggoda saya. Jika saja telepon genggam saya tidak hilang di hari itu, saya tidak perlu kembali membuka facebook hanya untuk menghubunginya.

Suatu hari saya terpaksa harus masuk kembali ke halaman facebook saya demi mencarinya yang telah lama menghilang dalam kehidupan saya jauh sebelum kericuhan pada kehidupan saya terjadi, ia menghubungi saya. Akhirnya, setelah saya harus menghubunginya melalui situs jejaring itu, memaksanya untuk menghubungi saya, pesan singkat itu saya terima.

Saya langsung dapat mengenali bahasanya meskipun ia bahkan tidak menyebutkan namanya maupun nama saya. Pesannya sederhana: selamat malam ibu. Dan saya langsung tahu bahwa itu dia. Tidak ada lagi yang memanggil saya itu selain dia. Bahasa sapaan yang lazim kami gunakan untuk menyebut satu sama lain. Lalu saling bertukar pesan itu berlanjut. Ia masih saja senang bercanda seperti dulu.

Entah bagaimana kemudian saya mengatakan sudah bukan saatnya bercanda seperti dulu. Saya tahu ia kesepian. Saya tahu ia ingin punya teman bercerita, seperti saya dulu menemaninya bercerita. Tinggal sendirian, dalam rantau tanpa saudara, bahkan orang tua mungkin sudah menjadi biasa untuknya. Tapi sendirian dalam waktu sangat lama, ditambah banyak masalah dan beban pikiran, saya yakin siapapun tidak akan tahan menjadi dirinya. Tapi ia biasa menutupi semuanya dalam tawa, dalam canda.

Disana, di suatu negeri yang jauh dari pandangan mata, negeri yang penuh dengan pohon cemara, ditengah beton tinggi rimba raya, kota kedua di Indonesia, adanya di timur pulau jawa itu  katanya ia tengah tapa broto, meningkatkan ilmu kesaktian untuk mencari seteguh air dan sepiring nasi di tengah terik dan panasnya kota. Begitu bunyi beberapa pesan singkatnya yang saya rangkum.

Saya tentu tahu tempatnya bernaung sekarang. Kota yang dekat dengan tempatnya berasal. Bagaimanapun, gaya bahasa yang dibuat berteka-teki itu salah satu gaya bahasa yang digunakan jika berbicara dengan saya.

Dasar! Ia itu.. selalu saja bercanda :p



Pasti ia lebih sering menikmati hijau cemara :p
Foto dari sini

Selasa, 27 Desember 2011

..dan si merah

Kamu tau kenapa hari itu aku menghubungimu? Tidak pernah sepagi itu aku menghubungimu bukan? Setidaknya, jarang jika aku akhirnya harus mencarimu bila kamu tidak menyapaku lebih dulu. Karena aku butuh tahu. Tentang apa yang tidak mampu kulihat dalam alam sadarku, yang terangkum secara buram dalam alam bawah sadarku.
..... 



Ini tentang L, juga tentang wanita berbaju merah itu.

Aku perlu memastikan, bahwa wanita yang kulihat duduk di sebelahmu dalam mobil itu adalah dia. Mungkin salah, mungkin juga benar. Karena berita yang selanjutnya ku tahu sebagian besarnya adalah tentang L, kamu, dan dia.
Jadi disanalah aku, mengelus L yang tampak kotor. Sepertinya kamu juga jarang mengurusnya, atau tidak sempat. Didalamnya aku bisa menemui situasi muram, seperti gambar pada foto yang di set demikian lama. Aku, berada di belakang, bukan tempat biasa aku duduk, karena sudah ada yang menempatinya. Wanita itu hanya mampu kulihat sosoknya, karena fokusku adalah kamu yang tengah menyetir.

Aku melihat kuku, sempat melihatnya sekilas sebelum berpindah ke dalam pangkuannya. Dekorasi didalamnya masih sama walaupun suasana itu muram. Ada duka disana, kepedihan yang aku tak tahu. Masih bisa kulihat Dora yang akan bergerak mengikuti cahaya yang menerpa nya, tetap saja muram suasananya. 

Aku, berusaha melongok dari tempatku duduk. Persis di belakangnya, hanya demi melihat siapa yang menduduki tempat biasa aku duduk. Lalu suasana itu, ramai. Semua berpakaian hitam, dan muram. Aku.. Masih belum dapat melihatnya. Bahkan sampai aku terbangun.
....



Mestinya ketika aku terbangun, aku akan mengira bahwa aku merindukan L, juga Kuku. Karena sejujurnya aku begitu merindukan mereka.
Namun suasan muram dan kehadirannya yang tak mampu ku singkap bayangan wajahnya lah yang mengganggu pikiranku.

Selanjutnya kamu tahu kabarnya. Aku mencarimu, bahkan kemudian tanpa perlu kutanya, kamu sendiri yang menceritakan kondisinya. Kamu tahu kesalku? Bahwa sebagian yang kulihat itu benar. Aku kesal ketika aku benar. Apalagi untuk hal yang tentangnya. Si merah yang masih juga mendapatkan toleransimu bahkan ketika kamu sendiri merasa demikian tidak diperlakukan baik olehnya. Bukan penghormatan terakhir yang membuatku keberatan. Tapi kemampuanmu memutuskan sikap tegas apa yang pantas untuknya yang ku keluhkan.



"Talking about being assertive to yourself, done it to her? Or because I've known nothing about the story of both of you"



Foto dari sini




____
Catatan ini saya temukan pada draft yang tidak jadi saya publikasikan pada waktu itu. Tadinya saya pikir ini tentang si merah, tapi mungkin semakin berjalannya waktu, sosok itu bisa mengarah ke sosok yang lain..

Senin, 19 Desember 2011

Tuhanku

Tuhanku Yang Maha baik,
Ampunilah hambamu ini
Kuatkanlah hamba, berikanlah hamba kesabaran tiada berbatas
Berikanlah ketenangan dalam hidup hamba
Tuhanku
...


Diantara banyak kata yang tak mampu saya ungkapkan, bahkan lewat tulisan sekalipun. Saya hanya mampu berdoa. Menenggelamkan wajah dalam tengadah tangisan kepadaNya yang senantiasa dapat saya temukan dimanapun.

Saya hanya mohon diampuni dosa, walaupun mungkin tidak semuanya. Saya ingin dikuatkan dalam menjalani sisa hidup ini agar lebih ringan terasa langkah saya. Saya ingin memiliki kesabaran layaknya Nabi Muhammad SAW dalam menjalani lika-liku hidup beliau.

Saya.. ingin tenang.

Foto dari sini

Rabu, 07 Desember 2011

You and the circle

Kupikir kalimatku saat itu telah terang dan jelas. Bahwa berkumpul dengan kelompok orang yang sama sekali tidak membuatku nyaman tak akan pernah kulakukan. Mereka bukan keluargaku, juga bukan keluargamu. 

Bahkan keharusan untuk menjaga hubungan baik antara aku dan mereka juga bukan menjadi urusanku. Jika memang tali itu kau yang lebih dulu menjalinnya, adalah keputusanmu untuk tetap berusaha menjalinnya. Bukankah kita bebas menentukan dengan siapa kita akan bekerja sama dalam hidup ini? Bahkan dalam nama pertemanan. 

Dan harus kukatakan sekali lagi bahwa aku tidak bisa menemukan kenyamanan itu bersama mereka. Mungkin maaf bukanlah kata yang tepat untuk ku sampaikan. Tapi memaksakan kehendakmu untuk ku berusaha menyatukan duniaku dengan dunia mereka, hanya akan membuatmu kesal.


Masih ingat terakhir kali kau menunjukkan otorisasimu sebagai penguasaku hanya karena aku tidak memperlakukan mereka yang telah menjalin pertemanan denganmu sejak lama itu dengan baik? Kau yang kembali menampakkan sisi arogansimu dengan kekuasaan atas sumpahmu dihadapan Tuhan atasku, hanya membuatku semakin menakutimu. Dan segala apapun usahamu untuk membuatku menerima mereka hanyalah semakin membangkitkan kenangan buruk itu padaku. 

Kau yang terlanjur emosi saat itu, dengan mudahnya melampiaskan padaku. Kalimatmu itu, hanya jika kau dapat mengetahui isi hatiku.. betapa menyakitkan terdengar. Aku ingat masa itu, tepat saat kau merasa aku tidak berlaku baik pada mereka.

Aku tidak akan pernah lagi mau membangkitkan arogansi dan kuasamu atas aku. Jika aku tidak mampu mempertahankan kenyamanan yang kubuat saat menemui mereka nanti, entah apalagi yang akan kau lakukan terhadapku. Lebih aman untukku berdiam dalam tempurung kenyamananku sendiri, dibanding melihatmu meluapkan amarah hanya karena aku lebih melihat kau yang berpihak pada mereka yang kau anggap temanmu.
Maka telah kutegaskan sebelumnya, kau berkumpullah. Habiskanlah waktu bersama mereka, aku tak akan pernah melarangmu. Pernahkah keberatan itu kau dengar terlontar sekali saja dari mulutku? Aku hanya akan diam dalam duniaku. Menulis, membaca, atau melakukan hal yang tidak membuatku harus memaksakan diri memenuhi hasratmu memperlihatkan pada segelintir kelompok kecil seperti mereka bahwa kita baik-baik saja. Karena itu sama sekali tidak membuatku nyaman. 

Sekali lagi, bahkan jika pun entah kau mungkin tak akan pernah membaca tulisan ini, janganlah memaksaku menciptakan rasa nyamanku diantara mereka. Karena itu hanya akan membuatku melihatmu tengah merendahkanku didepan mereka. 

Aku ini, katamu adalah orang yang kau cinta dan sayangi. Tapi begitu mudahnya kau tunjukkan emosimu hanya karena kau melihatku tak mampu memperlakukan mereka dengan sikap baik. 

Cukup sudah. Silahkan berkomunikasi dengan mereka yang kau sebut selalu berusaha ada dalam suka dukamu. Silahkan bercanda ria dengan mereka yang kau sebut selalu berusaha menghilangkan dukamu. Silahkan menghabiskan waktu dengan mereka yang kau sebut sahabat. Tak akan pernah kularang bahkan sejengkal jaripun. Hanya saja, lakukanlah sendiri. Jangan pernah memaksaku. 

Aku akan mencari sendiri duniaku. Aku punya lingkaranku sendiri, dan kau hampirilah lingkaranmu sendiri. Sebagaimana aku tak pernah memaksamu untuk masuk ke dalam lingkaranku. Hanya itu yang kuharapkan kau lakukan juga padaku. Hanya itu.

Anggap ini aku dan lingkaranku
Foto dari sini

Jumat, 02 Desember 2011

Kolam kenangan: Ingatan

I'll keep searching.. I will
Foto dapat dari sini



Muncul dalam percikan kolam kenangan saya adalah suasana sederhana didalam sebuah rumah kayu yang besar, dimana banyak terdapat kamar. Lantai rumah itu, antara tanah dan ubin berwarna keabuan yang dingin. Simbah buyut sering menyimpan uang di bawah bantal di salah satu kamar di dalam rumah itu. 

Kolam kenangan saya menunjukkan bagaimana simbah buyut seringkali mengijinkan saya mengambil sendiri simpanan uang yang disimpannya itu. Sebuah langgar kecil disamping rumah yang selalu digunakan oleh simbah buyut kakung untuk beribadah. 

Kamis, 01 Desember 2011

Oh Uang

Foto dapat dari sini


Judul di atas adalah benda yang paling saya benci saat ini. Bukan. Bukan hanya saat ini. Saya membenci benda itu sejak saya mengenalnya. Itu sekitar… entah, saya tidak ingat. Yang pasti, kalau saja diperbolehkan menyimpan dendam, saya akan memiliki dendam kesumat yang amat mendalam pada benda satu itu. Saya membencinya.

Saya benci padanya yang menjadi penyebab terbesar ibu harus berpisah dengan bapak. Saya juga membencinya pada apa yang menjadikan ibu saya akhirnya harus bertahan hidup dengan tuan itu hanya karena keinginan untuk memberikan pendidikan yang layak untuk saya dan adik-adik saya. Saya juga membenci benda itu karena membuat simbah saya sampai harus bekerja demikian keras demi mendapatkannya. Saya semakin membenci benda itu karena mengikat saya pada tempat ini. Saya benci harus bertahan disini karena hutang ibu yang harus saya lunasi. Juga benci harus terus ‘menghamba’ pada benda itu entah sampai kapan. Rasanya jika boleh mendendam, saya pasti telah melakukan pembalasan paling tak terbayangkan.

Uang, begitu banyak berperan dalam kehidupan manusia. Saya masih belum paham maksud penciptaannya sampai sekarang. Yang saya tahu, sejak ada benda itu, tak ada yang gratis didunia ini, bahkan untuk sekedar menghirup udara baik. Dimanapun, benda itu sudah seperti buronan nomor satu yang masih di cari, bahkan suku pedalaman pun, meskipun hidup dengan cara berburu masih juga membutuhkan uang. Rasanya bicara soal benda itu membuat kepala saya yang sudah pusing ini semakin pusing. 

Yang saya tahu, saya hanya harus bertahan. Entah sampai kapan saya harus memanggul tubuh kurus saya ini dan menerima perintah hanya demi benda itu. Saya hanya tahu bahwa saya harus semakin kuat dan bertahan, setidaknya sampai suatu hari nanti saya dapat membalaskan perlakuan benda itu yang telah demikian kuat mengikat saya. 

Oh uang, saya benci kamu!

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...