Rabu, 28 Maret 2012

Dua puluh empat jam? kurang

Sesungguhnya ketika kau memiliki waktu banyak tanpa melakukan apapun maka akan merasa bahwa waktumu banyak. Tetapi jika kau melakukan banyak hal pada rentang waktu yang kau miliki, kau akan merasa bahwa kau tidak pernah memiliki waktu.
 ...


Itulah yang saya alami akhir-akhir ini. Ketika itu kesibukan saya belum begitu banyak. Saya masih bisa banyak memikirkan kesedihan saya sambil mencari cara untuk membuatnya menjadi terlupa. Maka ketika akhir-akhir ini saya mulai mencoba mencari kesibukan lain selain menghamba pada kantor saya yang semakin membuat saya sibuk bahkan untuk sekadar melakukan browsing di internet saja demikian sulitnya, saya berharap dapat memiliki waktu lebih banyak dari yang telah saya miliki. Maruk? Mungkin.

Tetapi di sela sambilan yang saya lakukan beberapa waktu belakangan, saya merasa dapat sedikit menyingkirkan kesedihan dan kegetiran yang saya rasakan. Setidaknya sedikit meringankan beban pikiran saya, walau sariawan dan migrain masih sering mendera. Malah beberapa waktu lalu saya divonis menderita vertigo. Sudah dua kali saya di berikan obat vertigo yang kadang manjur, kadang malah membuat saya jadi serba salah (merem muter, melek tambah muter). Jadi di sela beberapa penyakit yang mulai berdatangan beberapa waktu lalu (selain vertigo, saya juga didiagnosa menderita maag oleh dokter), saya mencoba mengatur waktu saya sedemikian fleksibel nya.

Saya mulai menjajakan dagangan saya ke beberapa teman dekat saja dulu, ini bisa diartikan bahwa project web online shop saya terpaksa harus di pending. Iya memang harus di pending, bahkan sekarang saja saya baru bisa mulai membuka lagi internet disela kesibukan saya di kantor. Untung saja atasan saya sedang tidak masuk sehingga saya lebih leluasa. Bukan berarti saya senang beliau yang sedang sakit jadi tidak bisa bekerja, maksud saya.. sudahlah, kalian tentu mengerti kan? Jadi.. dagangan saya baru tiga, tapi saya sudah senang. Paling tidak, ada tambahan pemasukan karena saya sangat amat membutuhkannya. Untungnya memang tidak seberapa dengan lakunya tiga dagangan saya, tapi setidaknya meringankan beban untuk mengisi bensin Vega ditengah maraknya berita akan naiknya BBM.

Beberapa hari ini saya sibuk pindahan kos juga. Sibuk mondar-mandir sana sini memindahkan barang. Saya harus memberdayakan Vega dan juga jasa angkutan umum dikarenakan tidak ada mobil pribadi maupun memikirkan ongkos menyewa kendaraan losbak sekadar untuk melakukan pindahan barang saya yang saya kira sedikit ternyata cukup banyak printilannya. Kontrakan saya lebih luas dari kosan saya, tetapi namanya kontrakan tentu berbeda dengan kosan yang semua barangnya sudah tersedia.

Di kontrakan yang harganya dua kali lipat lebih murah dari kosan saya ini justru menelan biaya yang tidak murah untuk pindahannya. Bahkan saya juga mencari pinjaman untuk menutupi beberapa kekurangan akibat pindahan ini. Rencana pindah yang memang mendadak membuat segala persiapan sedikit berantakkan. Awalnya hanya ingin mencari tempat kos lebih murah, tapi ternyata malah menemukan kontrakan yang harganya lebih murah. Masih butuh sedikit perapihan di kontrakan baru saya, pelan-pelan bisa selesai. Saya juga tidak mau ngoyo mengerjakan bersih-bersih sekaligus, apalagi badan saya mulai sakit-sakitan.

Pekerjaan kantor saya berjalan dengan lancar. Maksudnya lancar sibuknya. Masih juga mengerjakan Fixed Asset yang entah kapan baru akan beres dan tertata dengan benar. Saya baru saja mulai menggali lagi ingatan saya tentang Microsoft Access karena gemas dengan data yang berantakkan dan capek menunggu giliran dapat bantuan dari team Development di kantor saya. Dan masih ada yang harus saya pelajari mengingat saya belajar Access dengan otodidak alias utak-atik sendiri tanpa bantuan siapapun, bahkan mbah Google. Jadi.. masih ada yang error, tapi sudah ada beberapa yang benar.

Saya merasa beberapa hari belakangan ini melakukan pergerakan tidak karuan secara membabi-buta tanpa ter-organisir dengan benar, sehingga saya baru merasa bahwa saya membutuhkan waktu lebih dari sekadar dua puluh empat jam yang tersedia menurut penghitungan waktu yang berlaku saat ini. Mengelola dagangan, mengurus pekerjaan, membereskan kontrakan, menjenguk ibu dan adik-adik, menghubungi simbah, mengatur keuangan, membayar cicilan, walah.. saya merasa kewalahan. Saya membutuhkan waktu dua puluh empat jam lebih sepertinya..




Beberapa hari ini merasa seperti beraktifitas menggunakan stopwatch
Sumber gambar dari sini

Selasa, 20 Maret 2012

Confession of a (non) shopaholic

Hari ini update sebentar dan sekilas saja. Ditengah sibuknya berjibaku dengan dunia kerja dan bagaimana mempertahankan posisi saya, saya berencana membuat usaha sampingan untuk menambah penghasilan saya sebagai pekerja kantoran yang hanya dapat mengandalkan gaji di setiap akhir bulan. Selain itu, saya berencana untuk berhenti dari kantor ini jika usaha saya sudah sedikit berkembang. Kira-kira, apakah dalam setahun ini usaha sampingan saya akan berjalan lancar?

Rencana ini saya sedang garap dengan teman saya yang hobi belanja dan senang mengikuti perkembangan mode. Saya? Jangan tanya soal mode dan belanja jika itu tidak ada hubungannya dengan makanan. Saya paling payah dalam urusan mode dan belanja. Lebih baik saya diberikan makanan segunung dibanding disuruh memilah pakaian atau aksesoris mana yang bagus dimata saya. Selera mode saya sangat payah.

Kenapa saya berani memikirkan untuk memulai usaha sampingan? Karena saya tahu teman saya ini mampu membuat usaha kami nantinya menjadi besar. Saya sih memang tidak berbakat dalam hal jual menjual maupun pemasaran, tapi saya bisa mengurusi mengenai administrasi, pengelolaan toko online yang sedang digarap, juga monitoring perkembangan. Sementara teman saya akan berlaku sebagai pekerja yang turun dilapangan, termasuk diantaranya memilah produk apa yang kira-kira laris di pasaran, serta sebagai staff marketing. Mungkin saya akan belajar untuk sedikit ilmu berdagang yang ia miliki. Tapi bila dicampur dengan kesibukan kantor saya, mungkin akan membuat saya sedikit babak belur. Jangan-jangan migren saya akan sering kambuh, juga sariawan saya yang makin sering menghampiri saya.

Jadi.. kemungkinan saya akan lebih banyak konsentrasi untuk usaha sampingan saya untuk beberapa waktu kedepan. Yak! Semangat! Fighting!!!


Mungkin nanti saya bisa ketularan jadi shopaholic dari usaha ini? Hahaha..
Foto dari sini

Kamis, 15 Maret 2012

Dalam benakku [a metamorphism]

Saya tahu bahwa sulit untuk saya untuk melupakannya. Tapi saya tidak bilang bahwa saya tidak akan bisa melupakannya. Masih ada satu dua mimpi yang menghiasi tidur saya. Mimpi tentangnya. Tapi saya sudah memutuskan untuk tidak bersamanya. Saya akan memperbaiki apa yang telah saya rusak. Impian saya untuk bersamanya. Ia akan membenci saya, itu adalah kemungkinan terburuk yang akan menghantui kehidupan saya selanjutnya. Lingkaran pertemanan yang telah terjalin dimana ada ia didalamnya, juga mungkin akan terpaksa harus saya hilangkan. Saya akan memulai hidup baru.

Tetap berjalan ditengah onak duri yang menghiasi kehidupan saya, segala yang membuat saya harus terpaksa menelan semuanya bulat-bulat. Saya bukannya hanya akan tinggal diam begitu saja jika diinjak. Tentu saya akan melawan. Apapun yang membuat saya merasa tidak merasakan perasaan yang seharusnya saya rasakan, akan saya lawan dan perjuangkan. Sedikit egois jika saya mengatakan bahwa saya akan menggunakan cara saya. Tapi itu adalah satu-satunya pertahanan saya melewati semua intimidasi dan konfrontasi yang membuat saya merasa tersudutkan dan ditempatkan di posisi yang tidak seharusnya. Saya harus mempunyai pertahanan diri sendiri bukan?

Jadi, mengenai suami ibu saya (yang saya sadari ternyata saya tidak pernah bisa menerimanya sebagai pengganti bapak saya sampai sekarang).. saya biarkan saja mengalir. Bila ibu memilih untuk tetap bersamanya, saya hanya bisa diam menerima. Tapi untuk memberikan tempat di antara telapak tangan dan bibir saya untuk mencium tangannya, untuk sekarang tidak akan. Itu adalah salah satu pertahanan diri dan cara saya mempertahankan harga diri saya dihadapan semua orang. Bahkan jika sekalipun simbah saya memaksa saya. Kami sama kerasnya, biarkan saja. Memaksakan dua batu saling beradu bukankah malah akan menghancurkan keduanya? Jadi biarkan saja kami berada ditempat kami masing-masing. Saling menghormati posisi masing-masing, saling mengamati, dan saling introspeksi.

Mengenai ia.. saya tidak tahu lagi kabarnya sejak akhir melihatnya bersama merah muda. Kami bercakap-cakap. Hanya sekadarnya, tidak pernah terlibat percakapan panjang. Seringkali saya merasa harus memutus percakapan karena merasa ketidakmampuan saya menahan perasaan bersalah ini padanya. Saya menyakitinya. Memilih untuk tidak mempertahankannya. Dan bahkan masih menerima kebaikannya. Sungguh saya ini tidak tahu diri. Benar-benar menyedihkan. Saya sudah tidak pernah menemuinya. Ini karena saya juga merasa saya harus melindungi diri saya dari rasa sakit saat melihatnya. Ia sungguh akan membenci saya. Kadang saya juga merasa membencinya, membenci kalimat-kalimatnya yang ia lontarkan pada saya. Pada keadaan saya yang ia tidak ketahui kebenarannya. Ya, kadang saya ingin membuatnya membenci saya saja, agar kita sama-sama akan hanya diam di tempat masing-masing. Saling diam, tidak melemparkan kalimat pedas dan menyakitkan lagi. Karena saya tahu, sia-sia semua keinginan dan harapan saya untuk menjadikan semuanya baik. Tidak ada yang sempurna di dunia ini. Hanya dalam angan saya saja. Biarlah ia membenci saya. Mungkin akan lebih baik untuknya. Agar sakit itu tidak ia rasakan lebih lama.

Lalu ada pria yang saat ini di samping saya. Yang masih harus saya raba semua perasaannya terhadap saya. Yang saya harapkan mampu saya percayai sepenuhnya untuk menopang semua kelimbungan saya. Yang saya harapkan mampu menerima semua kelalaian, kekurangan, dan apapun keburukan saya. Semoga saja semua yang ia ucapkan, akui, dan lakukan terhadap saya adalah apa yang memang berasal dari hatinya. Tidak ada penyesalan, tidak ada makian maupun keluhan yang ia tujukan untuk saya, maupun perlakuan dan sifat saya. Karena saya ingin dapat mempercayainya. Karena saya ingin dapat menyerahkan seluruh hidup saya kepadanya. Karena saya telah memutuskan untuk memilihnya. Ia harus tahu bahwa saya begitu lemah, tetapi bukan berarti saya tidak bisa menjadi begitu kuat. Wanita bukankah makhluk lemah yang kuat? Maka, ketika saya memutuskan untuk menjadikan diri saya sendiri sebagai tameng untuk dibenci olehnya, ia harus menyadari bahwa saya bukan hanya membelanya, tetapi juga membela dirinya dan membela diri saya sendiri. Hanya saja, sangat sedikit orang yang mampu menilai apa yang dilihat dan mempercayai perasaannya. Sesungguhnya saya hanya akan diam saja sampai saya merasa saya terinjak-injak dengan tragisnya. Berharap ia dapat rukun akrab dengannya, juga akan kubiarkan dalam angan saya saja. Biarlah mereka menjadi seperti batu pada masing-masing pribadi. Saya akan diam saja. Asal tidak saling menghancurkan. Saya mencintainya. Meski saya harus berusaha lebih baik lagi untuk membuat perasaan saya lebih besar padanya dari perasaan saya sebelumnya.

Untuk ibu, entah sudah berapa kali ibu meyakinkan saya bahwa ia tidak mempercayai hal-hal diluar akal selain Tuhannya yang menciptakannya. Diantara sholat dan puasa serta segala kebaikan agama yang ia lakukan, saya hanya berharap ibu berhenti melakukan tindakan diluar akal yang mengatasnamakan Tuhan atau apapun. Bayangan itu masih saya ingat, ketika ibu membawa saya ke seorang dukun yang dipercaya sebagai 'orang pintar' untuk mengobati demam saya yang tidak kunjung turun. Ternyata saya tidak sembuh, bahkan merasa sesak dengan bau dupa yang memenuhi ruangan, serta ocehan sang 'orang pintar' yang mengatakan saya kemasukkan jin bali. Saya ingin tertawa waktu itu, bahkan saya yang hanya seorang anak SD mampu membedakan mana bualan dan kenyataan. Karena vonis dokterlah yang menyembuhkan saya waktu itu, thypus. Entah sudah berapa banyak 'orang pintar' yang ibu datangi atas nama melindungi keluarga atau apapunlah. Saya hanya bisa diam dan berdoa, bahwa ibu akan kapok. Karena saya tahu saya sudah tidak bisa begitu sering mengawasi dan menjaga ibu. Saya akan berpegang pada keyakinan saya: lawan, semua kemunkaran yang tidak sesuai dengan agama, atau lakukan walau hanya dalam hati jika tidak mampu memerangi secara langsung. Maka saya hanya akan berdoa.

Untuk kedua orang tuanya yang tengah bermasalah, saya tak akan ikut campur karena saya merasa belum sepenuhnya menjadi anggota keluarga. Tapi saya tegas mengecam tindakannya yang ikut melibatkan 'orang pintar' dalam hal ini meskipun atas permintaan ibunya sekalipun. Bukankah tindakan kita seharusnya menghalangi atau lebih baik tidak ikut campur dalam urusan diluar akal yang melawan ketentuan Tuhan? Saya akan tetap diam. Apapun saja, jika memang ia memilih untuk menuruti permintaan ibunya, terserah saja. Saya akan tetap diam dan doa. Semoga akal ini yang diberikan Tuhan dan iman yang dimiliki menjadikan sebuah jalan untuk meyakinkan diri bahwa apapun yang berasal dari Tuhan adalah baik.

Kami, makhluk keras kepala, ciptaan Tuhan yang diberi akal dan penuh dosa. Hanya mampu memohon ampun dan berdoa. Saya tak akan muluk mengharap surga sementara neraka pasti akan penuh sesak dengan para pendosa seperti saya. Maka saya hanya mampu memohon ampun dan berdoa. Bagaimanapun, menyadari bahwa kita tak akan mampu memiliki apapun di dunia ini adalah benar, karena apapun dapat kita miliki di surga nanti, bila tabungan dunia kita cukup. Saya tidak sedang bersikap menjadi bu Haji ataupun si jenius dan sok bijak dalam tulisan ini. Saya hanya menuliskan apa yang saya rasakan. Dalam kecewa, dalam amarah, dan dalam setiap kesakitan yang saya rasakan. Semua demi untuk menjadi bahagia. Bukankah selalu ada terang setelah gelap?



Living is to let your footsteps leave marks everywhere, to erase the bad steps one by one will take your whole life to do it. So.. try and pray that God will erase them for you -Mevi
Foto pinjam dari sini

Senin, 12 Maret 2012

Butterfly in my stomach

- Bertemu ibu (checked)
- Bertemu adik-adik (checked)
- Bertemu Ai (checked)
- Bertemu teman lama (checked)
...


Beberapa hal yang sempat menggelayut manja di pikiran saya selama beberapa waktu ini sedikit demi sedikit terobati. Setidaknya, meski tidak sepenuhnya sembuh, saya merasakan geli itu di perut saya. Seperti jatuh cinta, orang barat akan menyebutnya butefly in a stomach. Ya.. saya cukup senang. Rindu perlahan ditepis oleh pertemuan, dan bukan hanya angan semata.

Ibu dengan masalahnya yang masih juga belum beres, tapi tetap berusaha untuk tegar dan bersikap seolah semua baik saja. Malah ada beberapa perabotan baru terpasang di rumah itu semenjak saya tidak tinggal disana lagi. Berita terakhir mengenai penipuan yang dialami ibu, perlahan diperbaiki. Ibu sepertinya memang tidak bisa selalu hanya mengawasi. Saya, dulu yang mengawasi ibu, jika ibu terlalu sibuk mengatur ini itu keperluan suaminya dan anak-anaknya. Tanpa saya, saya tahu pasti bahwa ibu kesepian, terlebih bila ia harus tidur sendiri di kamarnya bila suaminya itu memilih hiburan memancing selama dua hari.

Adik-adik saya.. percakapan kami kurang baik. Terlalu biasa untuk tidak pernah berbagi masalah pribadi karena saya yang terbiasa tertutup dan diam bila di rumah itu. Tapi mereka sehat. Si kecil malah sedang menambah pusing ibu dengan biaya kuliahnya yang selangit. Mungkin belum ada kesadarannya untuk menyisihkan penghasilan sampingan yang dilakukannya selagi kuliah untuk sekadar meringankan biaya kuliahnya yang meninggi. Bahkan pendidikan negeri saat ini hampir menyamai pendidikan swasta. Saya sudah tidak tahu lagi apa yang lebih dari geleng-geleng kepala untuk menyikapi keadaan ini.

Adik saya yang pertama masih berjuang untuk meniti karir. Masih keukeuh hanya mau menjadi pengajar. Padahal potensi sebagai lulusan sarjana pendidikan bahasa inggris tidak harus selalu menjadi pengajar di sekolah-sekolah maupun tempat kursus, bukan? Saya hanya bisa memaklumi, wataknya lebih keras dari saya. Kesadaran untuk meringankan beban ibu juga masih harus berkembang lebih lagi.

Ai baik-baik saja, semakin menghitam dan kurus. Tapi tetap pintar. Jika tinggal bersama ibunya di Binong, anak itu memang jadi seperti kurang terurus. Tapi otak cemerlangnya tidak pernah berkurang. Ia tetap saja cepat belajar dan binar bundar matanya tak pernah redup.

Lalu saat saya dalam perjalanan bertemu teman lama saat masih bekerja di kantor saya yang lama, saya tanpa sengaja bertemu dengan teman saya. Ia yang saya anggap sebagai kakak saya. Hari itu walau perut saya sedang sakit karena datang bulan, saya sedikit bisa melupakan sakit saya karena bertemu dengannya. Jadi ingat tentang tulisan saya mengenai kelompok Ijo semangka yang dulu sering menghiasi hari-hari saya. Saya merindukan mereka, tapi bertemu salah satunya saja cukup untuk saya. Setidaknya sekarang-sekarang ini. Semua pasti akan terjadi walau perlahan bukan?

Saya mau bilang bahwa saya tidak merasa bahagia secara keseluruhan, tapi saya merasakan sedikit degup bahagia itu. Karena saya ingin bahagia, dan saya akan membuat diri saya bahagia, walau dalam keadaan apapun. Meski hati ini masih juga belum bisa menerima ia yang kini berstatus suami ibu. Meski saya harus menekan semua perasaan tidak enak saya ketika berkunjung ke rumah kakak suami ibu yang saat ini masih menjadi tempat tinggal ibu dan adik-adik saya. Saya harus bisa menekan perasaan sakit itu. Bila saya mau bahagia.

Percayalah, ini bukan soal apakah saya sudah memaafkannya atau belum, saya tidak perlu berkutat dengan perasaan kuasa itu. Yang penting saya menguasai perasaan saya, melindungi bagian hati saya yang retak ini sebaik-baiknya agar retakannya tidak sampai menjalar kemana-mana. Asal tidak sampai hancur.

Bismillaahirrahmaanirrahiiim...


Gambar dari sini

Jumat, 09 Maret 2012

Bersabarlah kalian.. nanti

Bila ada ibu yang membuang anaknya karena merasa tidak mampu menghidupinya, itu bukan aku.
Karena aku akan telah menyiapkan kebutuhan hidup anakku kelak.
Maka aku bekerja.

Bila ada ibu yang tidak mampu memberikan pendidikan yang layak untuk anaknya kelak, itu bukan aku.
Karena aku akan telah memikirkan pendidikan terbaik untuk anakku nanti.
Maka aku belajar.

Bila ada ibu yang memutus keceriaan anaknya untuk bekerja pada masa-masa paling indah menjadi seorang anak, itu bukan aku.
Karena aku tidak ingin anakku tumbuh dengan pribadi buruk.
Maka aku menabung.

Bila ada ibu yang memberikan makanan seadanya, bahkan jauh dari halal kepada anaknya, itu bukan aku.
Karena aku telah menjaga tempatnya nanti akan bersemayam sebaik-baik dan sebersih-bersihnya tempat yang paling di ridhoi olehNya, termasuk makanan halal baginya.
Maka aku berusaha.

Bila ada ibu yang harus melakukan perbuatan keji dengan membunuh janin didalam kandungannya, itu tentu bukan aku.
Karena aku tengah bersabar menanti masa indah itu datang.
Maka aku berdoa.

...



Bersabarlah anak-anakku. Si sulung yang cantik jelita, calon penerus makhluk paling kuat ciptaan Tuhan bernama wanita sholehah. Serta dua bungsu calon pria-pria sholeh pembela siapapun yang merasa tertindas. Mereka adalah calon-calon anakku kelak. Pemilik budi pekerti luhur, dengan jiwa selembut salju dan iman sekuat baja. Anak-anakku kelak, bersabarlah menanti ibu yang tengah mempersiapkan yang terbaik untukmu kelak. Semoga kalian mampu menerima dan menyukai yang telah ibu persiapkan untuk kalian. Nanti..


Foto dapat di sini

Selasa, 06 Maret 2012

Si cengeng dan penakut

Ternyata saya masih cengeng. Masih saja mudah menangis bahkan walaupun yang saya hadapi adalah handphone yang hanya berisi kata-kata maupun kalimat. Seperti hari ini dikantor, saya harus berusaha keras menyembunyikan air mata saya dari rekan kerja saya. Berbalas pesan melalui Blackberry Messenger dengannya membuat saya harus merasakan sesak itu lagi.

Permasalahan sederhana mungkin menurutnya, tapi tidak menurut saya. Perbedaan pemahaman ini membuat saya mudah merasa tersinggung dan merasa tidak dipercaya dengan benar. Salahkan jika semua prosedur dan protokoler yang biasa saya dapatkan di kantor selama lima hari seminggu tidak ingin saya temui ketika jam kantor telah selesai? Saya hanya ingin melupakan semua penat dalam begelut dengan semua pekerjaan kantor dan bersantai. Melupakan segala peraturan yang saya geluti selama jam kantor. Bukan malah melakukan kegiatan yang hampir sama dengan apa yang saya kerjakan juga di kantor. Apapun namanya, tapi tetap saja, menggunakan otak ala pekerja kantoran untuk kegiatan yang seharusnya bisa diisi dengan santai dan tanpa jadwal adalah kesia-siaan menurut saya.

Lagipula saya seperti tidak dipercaya mampu memegang kekuasaan besar. Terlanjur mengatakan bahwa saya tidak suka dengan nickname yang diberikan pada saya untuk memanggil saya juga percuma. Sepertinya ia tidak begitu memperhatikan keberatan saya, walau dalam beberapa percakapan ia meminta saya untuk terbuka mengatakan keberatan saya. Ia tidak begitu mencamkan dalam ingatannya. Begitu banyak yang terlupa. Mengenai ketidakpekaannya tentang bagaimana memperlakukan wanita.

Hal sederhana ini, saya harus mengulang lagi rencana perjalanan karena ia entah ucapan saya yang sebelumnya tidak pernah benar-benar didengarnya mungkin. Jika tidak, ia akan mengambil rute yang salah. Saya bahkan sudah berhenti berkonsentrasi dengan benda bernama blackberry ketika banyak bersamanya, tapi ia kini yang lebih berkonsentrasi dengan blackberry nya. Bahkan ia lebih banyak tidak mampu mendengarkan saya berbicara ketika tengah asyik mengecek smartphone nya itu. Saya, ketika mata sibuk dengan handphone saya, masih bisa menggunakan telinga saya untuk mendengarkan percakapan. Apakah memang setiap pria selalu tidak akan pernah bisa melakukan banyak pekerjaan secara bersamaan?

Saya tidak penah keberatan dengan kegiatannya dengan blackberry nya. Terserah saja. Hanya saja, ketika percakapan sedang berlangsung dan ia bahkan tidak mendengar ucapan saya karena mata tengah asyik berkonsentrasi dengan layar blackberry nya, tentu itu menyakitkan. Hal yang sekali lagi berbeda dengan saya yang masih bisa menyisakan perhatian telinga saya untuk mendengar ucapannya ketika mata saya tengah ber-blackberry ria.

Terkadang memang sulit menyembunyikan air mata. Saya lebih mudah menghindari konflik dalam bentuk apapun dibanding harus berhadapan langsung. Pada siapapun, bahkan mungkin bila berhadapan dengan anak kecilpun saya akan mudah meneteskan air mata. Cengengnya saya. Mungkin kantung mata saya terbuat dari bahan yang mudah retak sehingga ketika hati saya merasa tersakiti, kantung air mata itu mudah robek dan mengeluarkan air nya. Maka saya lebih baik menghindar. Memilih untuk menerima. Tidak pernah berusaha menjadi berani sekadar untuk menghadapi. Saya.. si cengeng.. dan penakut.

Lucu, karena baru beberapa hari yang lalu saya menulis tentang orang-orang yang menyedihkan, lalu kini saya juga menjadi sama menyedihkannya, walau dalam konteks yang berbeda..




Foto dapat dari sini

Minggu, 04 Maret 2012

Orang-orang yang menyedihkan

Hari ini rencananya mau nulis tentang Ai, tapi ternyata kerjaan kantor lebih banyak mbebani, jadilah disambi di draft. Tapi juga nggak bisa keburu kayaknya. Akhirnya bikin tulisan acak di draft. Padahal saya masih merindukannya.

Pagi tadi ibu telepon dan tanya soal uang yang saya kirim untuk melunasi sisa hutang. Ibu pikir saya akan kekurangan uang jika semua hutang saya lunasi bulan ini. Saya dapat sedikit rejeki sehingga berfikir untuk segera melunasi sisa hutang untuk dapat memulai menabung lagi. Lalu cerita melebar ke keperluan adik saya yang paling kecil. Mengenai kebutuhan kuliahnya yang jutaan. Saya sih sudah sempat menduga biaya kuliah adik saya yang paling kecil di jurusan seni ini akan menelan biaya yang tidak sedikit. Tapi mengingat passion adik saya ini begitu mendarah daging bahkan sejak ia balita, ya sudah, nanti mungkin saya akan sisihkan sedikit untuk membantu meringankan beban ibu.

Lalu cerita melebar lagi mengenai saudara suaminya itu yang tidak tahu diri. Sekali lagi saya dibuat geregetan dengan perlakuan mereka yang seenaknya. Sekali lagi mereka membuat respek saya pada mereka menjadi semakin minus. Seharusnya mereka yang lebih banyak berkaca pada keadaan diri mereka masing-masing, bukannya malah membicarakan yang tidak-tidak mengenai ibu dan keluarga saya. Bukankah mereka yang selama ini lebih banyak dibantu oleh ibu saya untuk menanggung biaya hidupnya? Lalu apakah kurang ajar, jika ibu ingin sedikit saja menagih kompensasi dari apa yang pernah dilakukan oleh ibu saya? Mereka toh memberikan janji, dan ibu saya sepertinya tidak berlebihan ketika menagih janji tersebut. Toh ibu saya tidak akan menagih janji mereka, jika saja ibu saya tidak membutuhkan untuk membantu keperluannya sendiri. Itu adalah hak ibu saya.

Tapi yang ibu ceritakan malah membuat darah saya bergolak lagi. Ya. Saya semakin memandang rendah mereka yang bisanya hanya bisa merongrong ibu saya untuk membantu mencukupi biaya hidup mereka yang entah kenapa seperti tidak pernah cukup. Padahal dari mulut mereka sendiri yang bilang bahwa gaji yang mereka terima bahkan lebih besar dari gaji saya dan penghasilan bengkel suaminya ibu jika dikumpulkan jadi satu. Entah untuk keperluan apa mereka masih saja membutuhkan bantuan dana yang bahkan malah membuat ibu saya menjadi kekurangan. Saya sudah demikian kesalnya meminta ibu untuk berhenti membantu mereka yang terus tidak pernah tahu diri. Tapi memang ibu saya terlalu baik. Omongan saya tentu saja hanya sekadar omongan. Berlalu begitu saja, dan baru berguna saat  keadaan sudah persis seperti yang saya proteskan sebelumnya.

Dasar tidak tahu diri. Sudah salah, masih saja berusaha untuk melenggang dengan berusaha mengadu domba. Jika saja ibu menuruti saran saya waktu itu, tentu tingkat respek saya tidak akan seminus ini terhadap mereka. Paling tidak, saya tidak perlu mendengar keluhan ibu mengenai perilaku mereka. Menyinggung rumah yang ibu ditempati (dulu saya pernah menempatinya juga) adalah belas kasihan mereka. Padahal ibu saya tidak serta merta menempati rumah itu begitu saja. Kami merawat rumah yang keadaannya dulu bahkan hampir ambruk itu. Juga memperbaiki setiap retakannya. Bahkan masih juga membayar bulanan untuk sewanya walaupun pemilik rumah yang sebenarnya tidak meminta. Tapi pemilik rumah itu bukan mereka, jadi sebenarnya mereka sama sekali tidak berhak untuk melontarkan kalimat itu. Tidak sopan!

Menyebalkan sekali mereka itu. Usia semakin tua bukan kelakuan semakin matang, yang ada malah semakin memalukan. Percuma saja sebenarnya menyumpah serapahi mereka. Telinga dan hati mereka entah tertutup lumpur lapindo yang sudah membeku mungkin. Bahkan harga diri mereka begitu hancurnya oleh gaya hidup yang terlalu tidak mampu ditempatkn di tempat yang seharusnya.

Tulisan kali ini memang saya maksudkan untuk mengutuki mereka. Walau sebenarnya saya tidak benar-benar mengukutuki mereka. Siapa saya berhak menjadi seperti Tuhan? Tapi saya benar-benar sudah gerah dengan tingkah polah mereka. Keluarga suami ibu itu benar-benar rendah. Saya tidak bisa tidak marah. Saya tidak bisa diam saja mendengar ibu diperlakukan demikian. Cukuplah. Saya bilang pada ibu ini harus jadi terakhir kalinya ibu mau membantu mereka. Saya larang ibu saya membantu mereka dalam bentuk apapun. Jauhi saja mereka. Bila memang mereka mengatakan tidak akan menganggap saudara, saya yang akan mengatakan bahwa saya tidak pernah sekalipun sejak dulu mau menganggap mereka saudara saya. Gelar itu terlalu terhormat untuk mereka tempati. Mereka terlalu menyedihkan. Orang-orang yang menyedihkan.



Sedang marah begini membuat saya lapar. Daripada makan mereka, mending ronde hangat ini.. Mau?
Foto nemu di sini



Draft awal Maret 2012

Jumat, 02 Maret 2012

Menggambar

Blogwalking, lalu menemukan beberapa blog yang mengedepankan gambar sebagai isi utama dari blog nya. Saya tiba-tiba iri. Saya tidak pernah bisa menggambar. Inilah salah satu alasan saya untuk tidak melanjutkan  studi di salah satu jurusan yang membutuhkan kemampuan untuk bisa menggambar. Dan saya tidak memiliki kemampuan itu. Sama sekali.

Saya sungguh tidak bisa menggambar. Yang saya maksudkan menggambar dalam hal ini adalah menorehkan garis dan lengkung menjadi sebuah objek di atas kertas, dengan tangan sendiri. Bukan dengan tekhnologi seperti perangkat lunak yang dapat ditemui di banyak piranti digital yang semakin canggih.

Seingat saya, saya hanya bisa menggambar pegunungan yang selalu dua, juga rumah sederhana yang selalu ada di bawah gunung, berikut dengan deretan sawah, juga matahari dan burung menghiasi ruang kosong diatas gunung itu. Standar gambar saya sejak SD. Bahkan sampai sekarang mungkin. Dulu, wakti simbah kakung masih ada, beliau suka membantu saya menggambar. Terlebih bila ada tugas menggambar di SD. Gambar beliau bagus-bagus. Bahkan dengan keadaan stroke separuh yang dideritanya, simbah kakung saya masih bisa menggambar dengan baik. Sayang, sepertinya bakat menggambar beliau tidak menurun di keenam anak perempuannya. Bude dan bule saya sepertinya tidak ada yang bisa menggambar dengan bagus. Dan sepertinya bakat menggambar itu juga tidak menurun ke tiga belas cucunya :P

Saya sempat bisa menggambarkan beberapa desain pakaian yang pernah menjadi salah satu obsesi saya ketika SMP, tapi itu pun dengan susah payah, dan lumayan mendapatkan pujian dari beberapa teman-teman saya. Tapi itu tidak lantas membuat saya menjadi begitu percaya diri untuk membuat beberapa desain lagi. Saya berhenti, karena merasa jari-jari saya sudah terlalu kaku untuk dapat menggambar, terutama kebutuhan untuk konsentrasi tinggi dan waktu yang tidak sebentar yang saya perlukan untuk menuangkan apa yang ada dalam benak saya untuk menjadi sebuah gambar. Jadi.. saya tidak pernah menggambar lagi sejak itu.

Saya sempat menggemari lukis juga. Waktu itu bahkan sempat mewarnai beberapa gambar yang masih berwarna hitam putih pada beberapa halaman Bobo. Masih menggunakan cat cair, sebelum akhirnya sempat mengenal cat minyak yang membuat tangan saya jadi belepotan saat mencoba melukis sebuah objek. Tidak berhasil. Lukisan saya malah lebih parah dari gambar yang saya buat dengan memakai pensil. Ahahaha.. payahnya saya. Walau saya masih sering termangu setiap kali  melihat kanvas, cat, kuas, dan berbagai alat lukis lainnya.

Saya memang jadi teringat dengan salah satu kesukaan saya soal gambar ketika menemukan beberapa blog yang berisi gambar buatan tangan. Dan saya sedikit rindu dengan jemari saya dalam menggoreskan garis dan lengkung dalam kertas putih untuk menjadi sebuah objek sesuai imajinasi saya. Tapi, saya juga teringat, bahwa saya tidak terlalu berbakat dalam mengimajinasikan bayangan bentuk dalam kepala saya. Saya tidak cukup baik membayangkan sesuatu, tanpa saya pernah mengalami sebelumnya. Dan yah.. saya hanya bisa tersenyum seraya sesekali berdecak pada kemahiran orang-orang yang mampu memberdayakan imajinasinya menjadi sebuah gambar. Pada mereka yang tidak sengaja saya kunjungi blog nya.

Jadi, saya menganggap diri saya memang tidak berbakat dalam menggambar. Mungkin hanya menulis yang mampu saya tekuni lebih dalam. Jadi.. saya mau melanjutkan blogwalking dan kagumi para seniman gambar yang luar biasa! Hehehe..




Kira-kira seperti ini standar gambar saya sejak dulu. Tapi yang ini masih lebih bagus dibanding gambar saya :P
Foto pinjam dari sini

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...