Pagi tadi ibu telepon dan tanya soal uang yang saya kirim untuk melunasi sisa hutang. Ibu pikir saya akan kekurangan uang jika semua hutang saya lunasi bulan ini. Saya dapat sedikit rejeki sehingga berfikir untuk segera melunasi sisa hutang untuk dapat memulai menabung lagi. Lalu cerita melebar ke keperluan adik saya yang paling kecil. Mengenai kebutuhan kuliahnya yang jutaan. Saya sih sudah sempat menduga biaya kuliah adik saya yang paling kecil di jurusan seni ini akan menelan biaya yang tidak sedikit. Tapi mengingat passion adik saya ini begitu mendarah daging bahkan sejak ia balita, ya sudah, nanti mungkin saya akan sisihkan sedikit untuk membantu meringankan beban ibu.
Lalu cerita melebar lagi mengenai saudara suaminya itu yang tidak tahu diri. Sekali lagi saya dibuat geregetan dengan perlakuan mereka yang seenaknya. Sekali lagi mereka membuat respek saya pada mereka menjadi semakin minus. Seharusnya mereka yang lebih banyak berkaca pada keadaan diri mereka masing-masing, bukannya malah membicarakan yang tidak-tidak mengenai ibu dan keluarga saya. Bukankah mereka yang selama ini lebih banyak dibantu oleh ibu saya untuk menanggung biaya hidupnya? Lalu apakah kurang ajar, jika ibu ingin sedikit saja menagih kompensasi dari apa yang pernah dilakukan oleh ibu saya? Mereka toh memberikan janji, dan ibu saya sepertinya tidak berlebihan ketika menagih janji tersebut. Toh ibu saya tidak akan menagih janji mereka, jika saja ibu saya tidak membutuhkan untuk membantu keperluannya sendiri. Itu adalah hak ibu saya.
Tapi yang ibu ceritakan malah membuat darah saya bergolak lagi. Ya. Saya semakin memandang rendah mereka yang bisanya hanya bisa merongrong ibu saya untuk membantu mencukupi biaya hidup mereka yang entah kenapa seperti tidak pernah cukup. Padahal dari mulut mereka sendiri yang bilang bahwa gaji yang mereka terima bahkan lebih besar dari gaji saya dan penghasilan bengkel suaminya ibu jika dikumpulkan jadi satu. Entah untuk keperluan apa mereka masih saja membutuhkan bantuan dana yang bahkan malah membuat ibu saya menjadi kekurangan. Saya sudah demikian kesalnya meminta ibu untuk berhenti membantu mereka yang terus tidak pernah tahu diri. Tapi memang ibu saya terlalu baik. Omongan saya tentu saja hanya sekadar omongan. Berlalu begitu saja, dan baru berguna saat keadaan sudah persis seperti yang saya proteskan sebelumnya.
Dasar tidak tahu diri. Sudah salah, masih saja berusaha untuk melenggang dengan berusaha mengadu domba. Jika saja ibu menuruti saran saya waktu itu, tentu tingkat respek saya tidak akan seminus ini terhadap mereka. Paling tidak, saya tidak perlu mendengar keluhan ibu mengenai perilaku mereka. Menyinggung rumah yang ibu ditempati (dulu saya pernah menempatinya juga) adalah belas kasihan mereka. Padahal ibu saya tidak serta merta menempati rumah itu begitu saja. Kami merawat rumah yang keadaannya dulu bahkan hampir ambruk itu. Juga memperbaiki setiap retakannya. Bahkan masih juga membayar bulanan untuk sewanya walaupun pemilik rumah yang sebenarnya tidak meminta. Tapi pemilik rumah itu bukan mereka, jadi sebenarnya mereka sama sekali tidak berhak untuk melontarkan kalimat itu. Tidak sopan!
Menyebalkan sekali mereka itu. Usia semakin tua bukan kelakuan semakin matang, yang ada malah semakin memalukan. Percuma saja sebenarnya menyumpah serapahi mereka. Telinga dan hati mereka entah tertutup lumpur lapindo yang sudah membeku mungkin. Bahkan harga diri mereka begitu hancurnya oleh gaya hidup yang terlalu tidak mampu ditempatkn di tempat yang seharusnya.
Tulisan kali ini memang saya maksudkan untuk mengutuki mereka. Walau sebenarnya saya tidak benar-benar mengukutuki mereka. Siapa saya berhak menjadi seperti Tuhan? Tapi saya benar-benar sudah gerah dengan tingkah polah mereka. Keluarga suami ibu itu benar-benar rendah. Saya tidak bisa tidak marah. Saya tidak bisa diam saja mendengar ibu diperlakukan demikian. Cukuplah. Saya bilang pada ibu ini harus jadi terakhir kalinya ibu mau membantu mereka. Saya larang ibu saya membantu mereka dalam bentuk apapun. Jauhi saja mereka. Bila memang mereka mengatakan tidak akan menganggap saudara, saya yang akan mengatakan bahwa saya tidak pernah sekalipun sejak dulu mau menganggap mereka saudara saya. Gelar itu terlalu terhormat untuk mereka tempati. Mereka terlalu menyedihkan. Orang-orang yang menyedihkan.
Sedang marah begini membuat saya lapar. Daripada makan mereka, mending ronde hangat ini.. Mau? Foto nemu di sini |
Draft awal Maret 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar