Jumat, 21 September 2012

Dear Alloh..



Ya Alloh, hilangkan dari dirinya penyakit, kembalikan dia kepada kesehatan dan ke-sembuhan. Bantulah dia dengan sebaik-baik perlindungan, dan kembalikan dia kepada sebaik-baik kesembuhan. Jadikanlah apa saja yang dirasakannya pada waktu sakitnya sebagai pahala untuk kehidupannya dan penghapus atas segala kesalahan-nya. Ya Alloh, sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad.        



بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل على محمد وآل محمد

اَللَّهُمَّ اَزِلْ عَنْهُ الْعِلَلَ وَالدَّآءَ، وَاَعِدْهُ اِلَى الصِّحَّةِ وَالشِّفَآءِ، وَاَمِدَّهُ بِحُسْنِ الْوِقَايَةِ، وَرُدَّهُ اِلَى حُسْنِ الْعَافِيَةِ، وَاجْعَلْ مَانَالَهُ فِي مَرَضِهِ هَذَا مَادَةً لِحَيَاتِهِ وَكَفَّارَةً 
  لِسَيِّئَاتِهِ، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ



Sumber:
http://haditazahra.blogspot.com


Tenang ibu, tenang adik, tenang simbah,.. kalian pasti akan baik-baik saja. Kembali sembuh dan sehat.
Source





Rabu, 12 September 2012

dan beginilah semua berakhir

Aku tidak akan menangis.

Sungguh. Aku telah belajar menahan air mata ini. Meski rasanya begitu menyiksa. Tapi aku tidak akan menangis.

Akhir ini. Mungkin memang yang terbaik. Tuhan dengan rencananya. Manusia dengan doanya.

Kau yang selama ini merasa aku palsu. Dan aku hanya bisa tertegun. Tak akan mencoba meluruskan. Tak akan mencoba membela diri. Sudah percuma. Kau yang merasa tersakiti olehku. Oleh sikapku yang palsu menurutmu. Dimana aku telah menyerahkan semuanya padamu. Semuanya. Tapi kau mungkin sudah tak peduli.

Maka disinilah semua akan bearkhir. Kau pun akhirnya menyerah. Memilih untuk mengabaikan semuanya. Meluapkan sakit hatimu padaku. Aku yang palsu. Aku yang menjadikanmu kacung. Aku yang menjadikanmu tameng. Aku yang begitu hina menurutmu.

Aku akan pergi. Jauh darimu. Jauh dari semuanya. Sendiri. Seperti yang sudah sering aku alami. Pada akhirnya. Meski bukanlah ini akhir yang kuharapkan dari kisah yang telah kupilih dan kucoba jalani selama ini. Dalam setiap riak dan kesedihan.

Aku tidak akan menangis. Aku begini kuat, mana mungkin menangis.

Aku tidak akan menangis.

Tidak akan!

Selasa, 11 September 2012

To hold the rope

Jika saja kau tahu, ia tak pernah sekalipun mengatakan menyesal bersamamu. Bahkan dalam setiap drama dan kisah buruk yang pernah mengambil alih salah satu babak dalam hidunya. Karena meskipun cintanya telah terpasung, ia tetap memilikimu dan memilih bertahan denganmu. Karena sesungguhnya keyakinan itu ada. Karena setidaknya ia pernah merasakan nyaman itu. Karena ia telah memilih.

Jika saja kau menyadari. Dalam setiap kecil tindakannya, adalah bukan hanya untuk kepentingannya semata. Karena ia ikut memikirkan kehidupanmu, keluargamu. Namun bukankah tidak hanya kau yang memiliki keluarga? Dan bukan hanya dari sisimu yang selalu memiliki masalah. Karena itu dewasalah. Belajarlah menyamaratakan. Dan melihat secara keseluruhan. Dengan mendalam.

Karena kau tidak perlu harus mendengar, melihat, atau merasakan langsung untuk sekadar mengetahui. Gunakanlah perasaanmu. Putarlah otakmu. Kompromilah dengan nalurimu. Dan kau akan mengerti posisinya. Ia wanita.

Tak harus selalu bersikap manis terhadap semua sikap buruknya. Cukup diam dan tenangkanlah. Tak mesti melibatkan materi untuk menyenangkannya. Gunakanlah ketulusanmu. Karena ia akan merasakannya. Jika kau kesal, limpahkanlah kesalmu dalam hatimu. Dan dengan demikian, meskipun ia mengetahuinya, ia akan diam. Karena kau tidak mengungkapkannya. Namun, jika kau ingin mengutarakan kecewamu, ungkapkanlah selembut mungkin. Karena ia tidak berhak kau beri kalimat ketus, maupun sikap dan bahasa tubuh yang hanya akan membuatnya semakin keras hati.

Semudah itu. Namun kau juga memiliki ego. Kau yang juga memiliki emosi. Mungkin akan terasa sulit kau lakukan. Karena kau lelaki. Bagaimanapun, diantara besarnya perbedaan ini. Entah sampai kapan mereka akan saling bertahan. Kau dengan kelemahanmu, ia dengan kelamahannya. Mungkin menyakiti, atau membahagiakan. 



You'll never know, will you?
Source

She doesn't care!

Seperti hanya kau saja yang takut ditinggal orang tua. Ia bahkan tidak memiliki banyak ingatan terhadap ayahnya selama hampir sepanjang umurnya. Bahkan mungkin tidak memiliki ingatan itu. Karena terlalu muda bagi umurnya ketika orang tuanya memutuskan untuk mengambil langkah ‘berpisah demi kebaikan’. Dan bahkan kemudian ingatan tentang sosok ayah itu makin kabur dan hilang dengan pernikahan kedua ibunya. Ia terima saja. Mencoba mencerna dan hidup dengan pahit itu.

Jangan bilang hanya kau yang takut jika nanti ayahmu meninggal. Kau masih akan punya ibu yang berjarak kurang dari satu jam perjalanan dengan kendaraan umum. Sedang ia hanya memiliki ibu seorang. Jarak dengan ayah biologisnya berpuluh bahkan ratusan kilometer jauhnya. Ia mungkin bahkan tidak tahu lagi kabar ayah kandungnya. Kau bisa bilang, ia bahkan sudah tidak memiliki ayah. Karena kalaupun akhirnya ada dan bertemu, ya seperti itu saja. Tidak ada yang akan dapat dilakukan ayah itu terhadapnya. Karena ayah itu telah kalah banyak dengan ibunya.

Maka bicaralah tentang keadilan. Keadilan yang kau selalu titik beratkan pada ayahmu. Sedang dalam benakmu , ingatan yang ada hanyalah ayahmu yang sakit, ayahmu yang sudah tidak memiliki pekerjaan lagi, ayahmu yang kemudian tidak lagi bisa memberikan penghidupan untuk ibumu. Karena mereka tidak memiliki tabungan apapun selain tabungan haji yang kemudian entah sudah sampai mana perkembangannya. Karena kemudian kau hanya menjadikan titik pikiran utamamu pada ayahmu. Ayahmu. Dan ayahmu.
Sementara ia hanya akan bisa menahan diri untuk tidak lepas kendali ketika kemudian untuk kesekian kalinya yang kau ingat hanyalah ayahmu. Apapun yang kau dapat lakukan, hanya kepada ayahmulah tujuanmu. Maka ia hanya bisa diam. Menahan geram kesalnya. Karena kemudian yang kau lakukan hanya menitik beratkan semua pada ayahmu yang memberikan seluruh jasanya demi kau yang sekarang. Itulah menurutmu, bukan?
Pikirkanlah mengenai keadilan itu. Karena kemudian jika kau benar-benar ingin berusaha adil. Bagilah porsinya tanpa melihat apakah ayahmu yang sedang sakit, sudah tidak memiliki penghasilan bulanan, dan ibumu yang hanya berjualan baju, tapi masih bisa dibantu pemasukan oleh adikmu yang bekerja walau lebih sering mengeluh karena akhirnya tidak memiliki kesenangan sendiri atas penghasilannya. 

Atau apakah karena ibunya mampu bekerja dan mendapatkan penghasilan ratusan ribu dalam sebulan, yang digunakan untuk menutupi kebutuhan dari penghasilan suaminya yang tidak seberapa itu lalu ia berhak mendapatkan diskriminasi dari keadilan itu? Lalu jika kau juga mengetahui bahwa ibunya harus bekerja karena dibutuhkan untuk menyokong penghasilan suaminya yang kurang, juga untuk menutupi kebutuhan hutang yang melimpah, lalu juga digunakan untuk membantu menutupi kebutuhan pendidikan anaknya yang paling kecil yang masih membutuhkan biaya banyak, apakah itu juga tidak termasuk dalam pertimbanganmu? 

Akhirnya kebutuhan itu mendadak membengkak karena kemudian ibunya diagnosis penyakit yang memang mematikan dan membutuhkan perawatan lanjutan untuk diketahui lebih lanjut seberapa perlu tindakan medis yang harus dilakukan. Kemudian adiknya menyusul diagnosis kista yang menurut ukuran seharusnya hanya bisa diatasi dengan operasi yang biayanya tidak hanya satu atau dua juta. Apalagi kemudian adiknya yang paling kecil kemungkinan juga akan terkena penyakit yang hampir sama dengan yang diderita ibunya. Apakah sedikitpun kau tidak memiliki pikiran untuk kesana?

Bukan hanya karena merelakan emas yang akan digadai. Bukan itu masalahnya. Karena seberapa banyakpun yang akan digadai emas itu, tetap akan ditebus, tetap tidak mengurangi biaya hidup, malah menambahi biaya karena pengeluaran akan semakin membengkak. Karena gadai itu bukan mengganti barang dengan uang. Kau sendiri tahu itu.

Maka berpikirlah.

Ia tidak pernah meminta dibelikan macam-macam selain kebutuhan rumah tangganya. Ia bahkan lebih sering memilih untuk melewatkan makan dirumah karena tahu bahwa ia harus mengirit kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan makanmu yang seperti tidak pernah cukup jika makan tidak tiga kali sehari. Ia memilih untuk makan menggunakan fasilitas kantornya, meski rasanya tidak karuan. Meski yang ia inginkan adalah makanan yang bukan hanya makanan kantin yang rasanya itu-itu saja. Memangnya pernah kau rasakan ia makan sendirian sementara kau tidak mendapatkan makananmu jika ia tengah ingin menikmati makan diluar sesekali waktu? Ia berusaha agar semua rata. Ketika ia makan, ia akan memastikan kau juga ikut makan. Ketika kau ingin makan dan yang ia lihat adalah akan berkurangnya jatah untuk makan dikemudian hari demi mengatasi kemungkinan kekurangan dana untuk membeli bahan makanan, ia akan berdalih masih kenyang.

Dan ia akan membiarkanmu melahap semua makanan itu.

Karena ia memikirkan semuanya. 

Karena ia memikirkan apa yang kau pikirkan. Bahwa di kepalamu itu kebutuhan hanyalah untuk ayahmu. Karena kemudian ia harus mencari cara untuk melakukan penghematan dari berbagai sisi. Karena ia hanya ingin kau memikirkan keadilan itu bukan hanya dari sisi keluargamu, tetapi juga dari keluarganya. Karena orang tuamu masih memiliki harta tetap berupa rumah yang entah sampai kapan akan bisa dimiliki oleh keluarganya, karena selama ini mereka masih juga menumpang di rumah kakak dari suami ibunya itu. Mungkin tidak bisa dibilang menumpang, karena ibunya juga masih harus membayar iuran bulanan sekian ratus juta yang entah maksudnya untuk apa. Mungkin dianggap menyewa, mengontrak, atau apalah.

Maka lihatlah keadilan mana yang ingin kau coba perlihatkan padanya? Ia yang menahan lapar tiap malam karena ingin melakukan penghematan jatah makanan untuk di konsumsi dirumah. Ia yang dalam setiap pikirannya juga mengetahui bahwa uang yang kemudian ia dapatkan tentu akan kau bayangkan untuk kau berikan keada ayahmu, meski kau telah memberikan pada ayahmu sebelumnya. Namun tak pernah cukup menurutmu. 

Ia yang akan terlihat kejam karena tidak memperbolehkanmu menjadi tidak adil dengan hanya memenuhi kebutuhan ayahmu seorang, dan bukan dengan memberikan kebutuhan yang sama kepada ibunya. Ia yang tidak memiliki pakaian bagus selain yang ia miliki sebelumnya. Ia yang memilih untuk memiliki hanya satu sepatu untuk segala macam acara karena membeli baru sama saja menambah pengeluaran. Sementara sepatumu terus bertambah. Sepatu futsal, sepatu main, sepatu basket, dan mungkin sebentar lagi kau ingin menambah deretan sepatu yang sudah berjejer itu dengan sepatu badminton karena kau telah mengangkat topik mengenai keinginanmu membeli raket badminton untuk memenuhi kesenanganmu akan hobi barumu.

Lalu seperti apa kemudian hari? Ketika raket, atau sepatu, atau pakaian baru yang kau miliki itu dilirik oleh ayahmu? Akan kau berikan bukan? Secara Cuma – Cuma karena alasanmu, ayahmu itu tidak memiliki barang lain. Lalu pakaian yang menjulur tidak karuan dari lemari jatinya itu apa namanya? Lusuh? Kusam? Memangnya untuk kebutuhan apa pakaian baru untuk ayahmu itu? Sudah ia jelaskan pula bahwa ia memilih mengenakan sandal jepitnya ke kantor karena ia memang lebih memilih melakukan penghematan itu karena kebutuhan membeli sepatu baru bisa digunakan untuk kebutuhan lainnya. Bukan karena ia memang menyukai memakai sandal jepit ke kantor! Meski sesungguhnya ia memang menyukai suasana kasual itu, tapi kau sendiri tahu betapa sandal jepit tak mungkin akan ia gunakan terus menerus.

Maka akhirnya ia memilih untuk menyerahkan semuanya padamu. Kau saja yang atur semuanya. Kau saja yang atur bagaimana menurut baikmu. Jika memang menurutmu kebutuhan ayahmu lebih besar dibanding kebutuhan ibunya. Maka aturlah. Ia tidak akan menaruh protes lagi. Ia tidak ingin melanjutkan kekesalannya karena hal ini. Kau akan lihat nanti bagaimana pertimbangannya berdampak di kemudian hari. Kau yang atur. Ia sudah lelah. Lelah untuk mengantisipasi apa-apa saja yang akan datang dikemudian hari. Kebutuhan apa saja yang diperlukan. Bukan sekadar apakah kau malas, tidak bersih, tidak pernah meletakkan barang pada tempat yang pernah disepakati sebelumnya, tidak teratur, dan sebagainya. Bukan itu.

Ia sudah terlanjur lelah untuk memikirkan semuanya. Jadi terserahmu saja. Ia menyerah. Ia mungkin sudah terlalu lelah untuk peduli terhadap semua. Memikirkan semua yang akan membuatkan menjadi semakin gila. Seperti sariawan yang tidak pernah sembuh sejak puasa lalu.

Ia memilih untuk tidak peduli saat ini. Mungkin ia memang hanya bisa marah-marah. Seperti katamu.


.. AND SHE REALLY IS!
Source

Sabtu, 08 September 2012

Tuhan, aku merasa begitu lelah


Aku ini memang bukan siapa-siapa. Tak berhak terus menerus memperlakukanmu seperti demikian. Karena kau juga memiliki perasaan. Namun aku juga bertahan denganmu karena aku memiliki perasaan. Karena aku memiliki harapan untuk dapat bahagia denganmu. Mempertahankan apa yang dinamakan takdir. Apa yang telah seharusnya digariskan oleh Alloh SWT
.
Namun aku juga memiliki banyak kekurangan itu. Yang mungkin saja juga banyak kau benci. Diantara keluh tengah malamku. Dibalik pejam mataku. Yang aku tak mungkin dengar namun aku tahu. Karena aku pernah begitu salah dimatamu. Dan kau akan selalu menilai bahwa aku selalu melihatmu dengan begitu salah.
Aku telah mencoba bertahan. Merubah diri menjadi lebih baik. Namun kau pun sepertinya seringkali melupakan caramu memperlakukanku. Dan aku bukanlah asisten pribadimu yang sealu harus mengingatkanmu. Karena aku tidak diciptakan untuk menempati posisi seperti itu disampingmu. Atau bahkan satu shaft di belakangmu.

Bila kau ingat kembali sikapmu padaku. Bagaimana kau bisa begitu baiknya dihadapan semua orang. Bertindak seolah-olah aku adalah satu-satunya makhluk didunia ini yang kau cintai. Maka mereka akan iri. Lalu seketika akan memuji bahwa aku adalah wanita paling beruntung dimuka bumi ini. Namun mereka tentu tidak tahu yang ku rasakan. Mereka tidak tahu hatiku yang sebenarnya.

Kau yang tidak tahu bagaimana memperlakukanku, bagaimana berlaku padaku. Suatu ketika di tengah raung tangisku akan berubah menjadi makhluk paling manis di hadapanku. Namun sampai kapan itu akan bertahan? Karena kemudian kau akan lupa, dan tali itu akan mengendur. Lalu kau dengan sifat aslimu akan muncul.

Kau yang terlihat angkuh dimataku. Yang dalam lepas kendali akan terus menimpali semua amarahku. Maka aku kemudian akan semakin marah. Dan kau tidak menyadari bahwa kau telah membuatku semakin menakutimu. Aku yang semakin kehilangan rasa aman dan nyaman itu maka akan semakin menjauh darimu. Dan kau tidak akan menyadarinya. 

Sekali lagi aku bukanlah asistenmu. Aku juga bukan pembantumu. Aku bukanlah program yang dapat kau andalkan setiap saat. Karena aku terkadang juga lelah menjadi jam pengingatmu. Kadang aku muak menjadi alarm mu. Kadang aku juga menjadi lupa karena banyaknya hal yang menggelayut dalam memoriku.
Maka kau yang sedang kesal itu tidak menyadari bahwa tindakan dan semua kalimat balasanmu hanya akan membuatku menjadi semakin menjauhimu. Aku yang terlalu lemah untuk dapat menahan tangis ketika kau mengharapkan aku menjawabmu dengan kalimat dari mulutku, alih-alih hanya diam. Aku yang terlalu takut untuk mengutarakan maksudku hanya karena aku tahu bahwa kau kemudian akan kesal dan membuatku menjadi yang berdosa. Akulah yang selama ini terus merasa dihantui rasa bersalah itu.

Maka ketika hari ini kembali terulang kejadian serupa. Kau yang telah menyentuh tombol amarahku dalam sebuah argument ringan itu tak mampu meredam emosiku, malah membuatku semakin merasa tersudut. Karena kau tidak bisa menahan diri untuk mengalah padaku. Kau dengan egomu sebagai laki-laki. Kemudian tali itu semakin mengendur.

Dan kini aku disini. Sendiri. Menangisi nasib. Menangisi ibu yang baru memberi kabar bahwa adikku menderita kista di perutnya, juga ibu yang terdeteksi tumor di payudaranya. 

Ya. Aku menangisi nasib. Nasib yang seharusnya dapat kuubah dengan jalanku. Karena aku terlalu penakut. Karena aku terlalu lemah. Karena aku terlalu tak berdaya. Aku yang seperti robot ini. Aku. Yang entah mengapa menjadi tidak mengerti mengapa aku ada.

Astaghfirulloh hal adziiim

Tuhan. Aku merasa begitu lelah.

Jumat, 07 September 2012

Lelahku kali ini


Ada saat.. dimana kau hanya ingin diam. Dan tidak melakukan apapun. Tidak juga melihat. Karena saat itu adalah dimana kau merasa cukup. Bahkan untuk melihat. Maka kau hanya bernapas. Dan termangu. Membiarkan tubuhmu yang telah begitu lelah untuk tergeletak begitu saja. Tak perlu melakukan apapun. Bahkan jikapun matamu tidak terpejam, kau sedang tidak melihat. Seperti patung. Kaku saja.

Biarkan tubuhmu kaku. Merasakan lelah yang teramat sangat. Merasakan sakit yang demikian menyiksa. Menikmati. Mungkin aku telah berubah menjadi seorang masochist. Tentu aku menyangkal. Karena aku tidak sedang benar-benar menikmati sakit. Aku tengah mencoba mencerna. Merasakan. Kemudian menjadi lebih kuat karena aku tahu rasa sakitnya. Aku begitu mengenalinya. Di sekujur tubuhku.

Aku benar-benar butuh itu. Istirahat. Dan akan membatu saja sampai nanti.


I shut my eyes
In order to see
-Paul Gauguin-



Mungkin saya butuh tidur lagi yang nyenyak
Source

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...