Seperti hanya kau saja yang takut ditinggal orang tua. Ia
bahkan tidak memiliki banyak ingatan terhadap ayahnya selama hampir sepanjang
umurnya. Bahkan mungkin tidak memiliki ingatan itu. Karena terlalu muda bagi
umurnya ketika orang tuanya memutuskan untuk mengambil langkah ‘berpisah demi
kebaikan’. Dan bahkan kemudian ingatan tentang sosok ayah itu makin kabur dan
hilang dengan pernikahan kedua ibunya. Ia terima saja. Mencoba mencerna dan
hidup dengan pahit itu.
Jangan bilang hanya kau yang takut jika nanti ayahmu
meninggal. Kau masih akan punya ibu yang berjarak kurang dari satu jam
perjalanan dengan kendaraan umum. Sedang ia hanya memiliki ibu seorang. Jarak
dengan ayah biologisnya berpuluh bahkan ratusan kilometer jauhnya. Ia mungkin
bahkan tidak tahu lagi kabar ayah kandungnya. Kau bisa bilang, ia bahkan sudah
tidak memiliki ayah. Karena kalaupun akhirnya ada dan bertemu, ya seperti itu
saja. Tidak ada yang akan dapat dilakukan ayah itu terhadapnya. Karena ayah itu
telah kalah banyak dengan ibunya.
Maka bicaralah tentang keadilan. Keadilan yang kau selalu
titik beratkan pada ayahmu. Sedang dalam benakmu , ingatan yang ada hanyalah
ayahmu yang sakit, ayahmu yang sudah tidak memiliki pekerjaan lagi, ayahmu yang
kemudian tidak lagi bisa memberikan penghidupan untuk ibumu. Karena mereka
tidak memiliki tabungan apapun selain tabungan haji yang kemudian entah sudah
sampai mana perkembangannya. Karena kemudian kau hanya menjadikan titik pikiran
utamamu pada ayahmu. Ayahmu. Dan ayahmu.
Sementara ia hanya akan bisa menahan diri untuk tidak lepas
kendali ketika kemudian untuk kesekian kalinya yang kau ingat hanyalah ayahmu.
Apapun yang kau dapat lakukan, hanya kepada ayahmulah tujuanmu. Maka ia hanya
bisa diam. Menahan geram kesalnya. Karena kemudian yang kau lakukan hanya
menitik beratkan semua pada ayahmu yang memberikan seluruh jasanya demi kau
yang sekarang. Itulah menurutmu, bukan?
Pikirkanlah mengenai keadilan itu. Karena kemudian jika kau
benar-benar ingin berusaha adil. Bagilah porsinya tanpa melihat apakah ayahmu
yang sedang sakit, sudah tidak memiliki penghasilan bulanan, dan ibumu yang
hanya berjualan baju, tapi masih bisa dibantu pemasukan oleh adikmu yang
bekerja walau lebih sering mengeluh karena akhirnya tidak memiliki kesenangan
sendiri atas penghasilannya.
Atau apakah karena ibunya mampu bekerja dan mendapatkan
penghasilan ratusan ribu dalam sebulan, yang digunakan untuk menutupi kebutuhan
dari penghasilan suaminya yang tidak seberapa itu lalu ia berhak mendapatkan
diskriminasi dari keadilan itu? Lalu jika kau juga mengetahui bahwa ibunya
harus bekerja karena dibutuhkan untuk menyokong penghasilan suaminya yang
kurang, juga untuk menutupi kebutuhan hutang yang melimpah, lalu juga digunakan
untuk membantu menutupi kebutuhan pendidikan anaknya yang paling kecil yang
masih membutuhkan biaya banyak, apakah itu juga tidak termasuk dalam
pertimbanganmu?
Akhirnya kebutuhan itu mendadak membengkak karena kemudian
ibunya diagnosis penyakit yang memang mematikan dan membutuhkan perawatan
lanjutan untuk diketahui lebih lanjut seberapa perlu tindakan medis yang harus
dilakukan. Kemudian adiknya menyusul diagnosis kista yang menurut ukuran
seharusnya hanya bisa diatasi dengan operasi yang biayanya tidak hanya satu
atau dua juta. Apalagi kemudian adiknya yang paling kecil kemungkinan juga akan
terkena penyakit yang hampir sama dengan yang diderita ibunya. Apakah
sedikitpun kau tidak memiliki pikiran untuk kesana?
Bukan hanya karena merelakan emas yang akan digadai. Bukan
itu masalahnya. Karena seberapa banyakpun yang akan digadai emas itu, tetap
akan ditebus, tetap tidak mengurangi biaya hidup, malah menambahi biaya karena
pengeluaran akan semakin membengkak. Karena gadai itu bukan mengganti barang
dengan uang. Kau sendiri tahu itu.
Maka berpikirlah.
Ia tidak pernah meminta dibelikan macam-macam selain kebutuhan
rumah tangganya. Ia bahkan lebih sering memilih untuk melewatkan makan dirumah
karena tahu bahwa ia harus mengirit kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan makanmu
yang seperti tidak pernah cukup jika makan tidak tiga kali sehari. Ia memilih
untuk makan menggunakan fasilitas kantornya, meski rasanya tidak karuan. Meski
yang ia inginkan adalah makanan yang bukan hanya makanan kantin yang rasanya
itu-itu saja. Memangnya pernah kau rasakan ia makan sendirian sementara kau
tidak mendapatkan makananmu jika ia tengah ingin menikmati makan diluar
sesekali waktu? Ia berusaha agar semua rata. Ketika ia makan, ia akan
memastikan kau juga ikut makan. Ketika kau ingin makan dan yang ia lihat adalah
akan berkurangnya jatah untuk makan dikemudian hari demi mengatasi kemungkinan
kekurangan dana untuk membeli bahan makanan, ia akan berdalih masih kenyang.
Dan ia akan membiarkanmu melahap semua makanan itu.
Karena ia memikirkan semuanya.
Karena ia memikirkan apa yang kau pikirkan. Bahwa di
kepalamu itu kebutuhan hanyalah untuk ayahmu. Karena kemudian ia harus mencari
cara untuk melakukan penghematan dari berbagai sisi. Karena ia hanya ingin kau
memikirkan keadilan itu bukan hanya dari sisi keluargamu, tetapi juga dari
keluarganya. Karena orang tuamu masih memiliki harta tetap berupa rumah yang
entah sampai kapan akan bisa dimiliki oleh keluarganya, karena selama ini
mereka masih juga menumpang di rumah kakak dari suami ibunya itu. Mungkin tidak
bisa dibilang menumpang, karena ibunya juga masih harus membayar iuran bulanan
sekian ratus juta yang entah maksudnya untuk apa. Mungkin dianggap menyewa,
mengontrak, atau apalah.
Maka lihatlah keadilan mana yang ingin kau coba perlihatkan
padanya? Ia yang menahan lapar tiap malam karena ingin melakukan penghematan
jatah makanan untuk di konsumsi dirumah. Ia yang dalam setiap pikirannya juga
mengetahui bahwa uang yang kemudian ia dapatkan tentu akan kau bayangkan untuk
kau berikan keada ayahmu, meski kau telah memberikan pada ayahmu sebelumnya.
Namun tak pernah cukup menurutmu.
Ia yang akan terlihat kejam karena tidak memperbolehkanmu
menjadi tidak adil dengan hanya memenuhi kebutuhan ayahmu seorang, dan bukan
dengan memberikan kebutuhan yang sama kepada ibunya. Ia yang tidak memiliki
pakaian bagus selain yang ia miliki sebelumnya. Ia yang memilih untuk memiliki
hanya satu sepatu untuk segala macam acara karena membeli baru sama saja
menambah pengeluaran. Sementara sepatumu terus bertambah. Sepatu futsal, sepatu
main, sepatu basket, dan mungkin sebentar lagi kau ingin menambah deretan
sepatu yang sudah berjejer itu dengan sepatu badminton karena kau telah
mengangkat topik mengenai keinginanmu membeli raket badminton untuk memenuhi
kesenanganmu akan hobi barumu.
Lalu seperti apa kemudian hari? Ketika raket, atau sepatu,
atau pakaian baru yang kau miliki itu dilirik oleh ayahmu? Akan kau berikan
bukan? Secara Cuma – Cuma karena alasanmu, ayahmu itu tidak memiliki barang
lain. Lalu pakaian yang menjulur tidak karuan dari lemari jatinya itu apa
namanya? Lusuh? Kusam? Memangnya untuk kebutuhan apa pakaian baru untuk ayahmu
itu? Sudah ia jelaskan pula bahwa ia memilih mengenakan sandal jepitnya ke
kantor karena ia memang lebih memilih melakukan penghematan itu karena
kebutuhan membeli sepatu baru bisa digunakan untuk kebutuhan lainnya. Bukan
karena ia memang menyukai memakai sandal jepit ke kantor! Meski sesungguhnya ia
memang menyukai suasana kasual itu, tapi kau sendiri tahu betapa sandal jepit
tak mungkin akan ia gunakan terus menerus.
Maka akhirnya ia memilih untuk menyerahkan semuanya padamu.
Kau saja yang atur semuanya. Kau saja yang atur bagaimana menurut baikmu. Jika
memang menurutmu kebutuhan ayahmu lebih besar dibanding kebutuhan ibunya. Maka aturlah.
Ia tidak akan menaruh protes lagi. Ia tidak ingin melanjutkan kekesalannya karena
hal ini. Kau akan lihat nanti bagaimana pertimbangannya berdampak di kemudian
hari. Kau yang atur. Ia sudah lelah. Lelah untuk mengantisipasi apa-apa saja
yang akan datang dikemudian hari. Kebutuhan apa saja yang diperlukan. Bukan
sekadar apakah kau malas, tidak bersih, tidak pernah meletakkan barang pada
tempat yang pernah disepakati sebelumnya, tidak teratur, dan sebagainya. Bukan itu.
Ia sudah terlanjur lelah untuk memikirkan semuanya. Jadi terserahmu
saja. Ia menyerah. Ia mungkin sudah terlalu lelah untuk peduli terhadap semua. Memikirkan semua yang akan membuatkan menjadi semakin gila. Seperti sariawan yang tidak pernah sembuh sejak puasa lalu.
Ia memilih untuk tidak peduli saat ini. Mungkin ia memang hanya bisa marah-marah. Seperti katamu.
Ia memilih untuk tidak peduli saat ini. Mungkin ia memang hanya bisa marah-marah. Seperti katamu.
.. AND SHE REALLY IS! Source |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar