Kamis, 25 Agustus 2011

Another Scratch

Masihkah akan kamu menoleh?
Source



 
I can’t concentrate today.
These all really knock me down.
I don’t know how to handle all this mess alone.
Even when you said you’ll never gonna leave.
The truth is, I made you left.
Something that I would regret one day.

*******


Hi dewa!
 
Apa kabar kamu? Pasti sibuk ya, bukan sibuk mikirin aku kan? Hehehe.. Maaf, candaku bukan pada tempatnya kali ini.
Aku tadi sengaja melewati kantormu saat pulang, berharap bisa melihatmu walau sekilas, tapi kayaknya kamu udah pulang duluan karena aku kemaleman pulang kantornya. Atau mungkin kamu ndak mampir dulu ke kantor, tapi langsung pulang dari tempatmu ditugaskan. 

Gimana pekerjaan hari ini? Tes nya berjalan lancar kan? Maaf aku ndak sempet tanya sama temenku apa itu UAT. Aku abis sakit kemarin, terakhir kita ngobrol di telpon tempo hari dan berakhir dengan saling menyakiti lewat sms itu..kau berhasil memporak-porandakan semuanya. Aku udah bukan cross-twisted lagi, tapi pikiranku malah luluh lantah. Aku nangis lho semalaman sampai mataku bengkak segede bola pingpong. Belum pernah aku nangis seperti malam itu, sampai akhirya aku muntah karena ndak bisa menghentikan aliran kristal bening dari kedua manik mataku. Itu semua salahmu! Hasilnya, aku bolos kerja karena ndak mungkin ke kantor dengan tampang kusut dan mata bengkak seperti kodok. Apalagi kepalaku pusing sekali akibat ndak tidur karena ndak bisa berhenti nangis. Lagi-lagi aku akan menyalahkanmu karena telah membuatku seperti itu. Ya! Semua salahmu!

Kenapa sih kau jahat sekali hari itu? Seharusnya predikat itu kan melekat padaku yang telah meninggalkan bekas tak termaafkan dihatimu, tapi rupanya aku salah kira. Kau bisa lebih membuatku merasakan perih tak tertahankan. 

Aku kalah… 

Untuk itu aku memutuskan untuk menghindarimu. karena rupanya aku terlalu sayang tuk melihatmu menyakiti dirimu sendiri, yang pada akhirnya aku malah menuduhmu melakukan itu untuk memberikan efek lebih menyedihkan untukku. Untuk menyalahkanku karena telah membuatmu melontarkan lelucon yang dengan argumenmu katanya hanya bermaksud untuk kau terima sendiri. Tapi maaf dewa, alasanmu sama sekali ndak bisa kuterima. Sebut aku terlalu sensitif atau bodoh, tapi aku merasakan sakit yang lebih sakit dari yang kau rasa dengan semua kebaikanmu selama ini. Walau terlalu sering kau bilang bahwa kau tak apa, kau baik-baik saja, kau melakukannya dengan ikhlas tanpa tujuan apapun. Sama saja, aku yang paling tau hatimu terbuat dari apa. Karena bahan dasar hatikupun dibuat oleh Tuhan yang sama seperti yang kau sembah selama ini.
Jangan khawatir dewa, aku ndak membencimu kok. Aku bahkan terlalu menyayangimu sehingga aku merasa ndak akan pernah sanggup melihatmu memikul bebanku seperti yang selama ini kau lakukan untukku. Aku ndak tau sampai kapan aku akan seperti ini, tapi kau sudah terlalu banyak menjadi bentengku, menjadi matrasku, menjadi payungku, dan semua yang kubutuhkan saat aku melemah, tersesat, terseok, terpuruk, bahkan terjatuh. Aku sudah terlalu banyak merepotkan dewa, sahabat terbaikku, sahabat tersayangku, sosok yang menempati tempat tersendiri dihatiku melebihi dari dewa-dewa lainnya. Posisimu mungkin sedikit dibawah pemimpin yang nanti akan dikirimkan Tuhan untukku, yang sering terlontar dari mulutmu untuk meledekku. Tapi itu bukan berarti kau tidak seistimewa itu, kau pasti tau mengapa, ya, karena posisi pemimpinku itu memang sudah ditakdirkan Tuhan untuk lebih berkilau dimataku dibandingkanmu, siapa yang berani menyangkalNya? Toh nanti saat kau memimpinpun kau akan menempati posisi itu.

Aku pergi ya..dan entah sampai kapan aku akan berani menampakkan wajahku kembali dihadapanmu, memperdengarkan suaraku kembali di telingamu, atau mungkin meninggalkan sedikit rasa perih pada lengan atau punggungmu yang sering kupukul dan kucubiti. Mungkin aku akan pergi selama-lamanya dari hidupku kalau kulihat atau kurasa kau memang sudah tidak membutuhkanku lagi. Mungkin..dengan aku pergi kau akan menemukan kembali kekuatanmu, menemukan kembali dirimu yang sebenar-benarnya, menemukan kembali apa yang selama ini kau cari. Dan bahkan bila diperlukan untukku menghilang selamanya dari hidupmu tuk menebus semua itu, aku mungkin akan berusaha menelannya bulat-bulat, agar pait itu tak perlu begitu terasa. Jangan khawatir dewa, aku akan baik-baik saja tanpamu, setidaknya dengan begitu aku akan belajar untuk lebih mandiri dan tidak terlalu bergantung padamu, seperti yang selama ini kulakukan. Kalau memang suatu saat nanti kau telah menemukan seseorang yang akan kau pimpin, dan saat itu kau merasa sudah tidak perlu lagi kehadiranku karena sudah merasa terbiasa dengan kehadiranku, aku akan terima. Mungkin memang sudah sepantasnya aku benar-benar menghilang dari hidupmu setelah apa yang kulakukan selama ini terhadapmu.

Hhh, aku pasti akan dibenci temen-temenmu yang kenal aku. Maaf ya dewa, aku benar-benar menyakitimu ya? Kau kenal aku kan? Kau juga pasti tau aku akan mengalami masa-masa sulit saat nanti benar-benar lepas darimu. Sekarang aja aku ndak bisa menahan tanganku yang tak henti gemetar saat menulis kalimat-kalimat menyakitkan ini. Kau tau pasti aku emang lebih payah dan lebih lemah daripadamu kan..terima kasih karena menempatkan posisiku begitu istimewa dihatimu, sangat tersanjung sekaligus sakit mendengar kau sampai harus berubah jadi androgyny di hadapan ibumu hanya karena aku. Mungkin itu termasuk salah satu alasan aku memilih untuk mengambil keputusan ini, juga merupakan alasanku mengirimimu sms yang kau akui ndak bisa kau artikan.

Emosional? Mungkin, tapi aku ndak melihat cara lain untuk membuatmu terbebas dari beban yang membuatmu menyalahkan dirimu sendiri, untuk alasan apapun terhadap apa yang terjadi padaku.
Baik-baik disana ya dewa, jaga kesehatanmu, jangan keseringan tidur larut, nanti susah kalau mau absen, ingat tuk membiasakan diri absen tanpa harus di kirimi alarm, lalu kumohon dengan sangat untuk berusaha bagaimanapun caranya menghindari yang shubhat itu saat kacau melandamu ya..untuk makan, kau kan punya maag, kumohon..perhatikan juga yang satu itu, minumnya juga yang bener ya, jangan kebanyakkan minuman bernatrium benzoat atau apalah itu yang banyak ada di dalam minuman kemasan yang berwarna. Janji ya dewa, seenggaknya suatu saat nanti, saat kau benar-benar membenciku atas perlakuanku, kau tidak melewatkan sedikitpun apa yang kuingin kau tuk baik-baik disana, saat aku benar-benar tak ada, saat kau benar-benar tak mau menemuiku. Atau saat masing-masing mulai merasa nyaman dan tidak memerlukan satu dan yang lainnya. Bukannya aku menyombong, tapi kau yg paling tau diriku, aku bisa pastikan aku hanya akan bisa tersenyum atau bahkan tertawa tuk menutupi kelemahanku atas kehilangan keterbiasaan denganmu. Sungguh aneh, tapi aku ndak pernah merasa sebergantung ini pada seseorang yang kukenal hanya dalam waktu kurang dari setahun, hal yang berbeda dengan voldemort. Tapi aku akan belajar, kau tau kan aku cum laude?

Kamu yang bahagia ya disana..kalo boleh aku minta sedikiiiit aja, ingat aku ya..walau cuma sebentar, walau cuma sebagai 'bekas sahabat'..

Akan ada yang ku 'ceritakan' padamu suatu saat nanti, cerita ndak begitu penting mungkin, tapi cukup memberikan pengaruh atas terbentuknya diriku yang sekarang. Sayang sang waktu ndak mau sedikit berbagi tempatnya untukku menumpahkan semua, atau mungkin karena keberanianku yang mulai surut di rebut kenaifan dan kebodohanku. Kau tunggulah, aku hanya butuh waktu untuk merangkai sedikit setiap alphabet itu menjadi rangkaian kata dalam beberapa kalimat panjang lainnya yang bermakna, yang mungkin kau ndak akan bisa artikan, sama seperti tulisan ini mungkin..

Terakhir, maaf ya untuk semua yang selama ini ndak sempat terpenuhi, semua janji yang sempat terlontar yang mungkin harus aku ingkari atau ndak mampu terlaksana karena keputusan bodohku. Nanti, suatu saat..saat kau menemukan kebahagiaanmu, kalau kau masih membutuhkanku, kau tau kemana menemuiku..i tupun jika kau mau.. dan mungkin saat itu kita bisa menertawakan kebodohan masing-masing..

always at your service your highness, whibsib
 Baik-baik ya dewa…

Without wax, always
..fnt

*******

Tulisan itu pernah aku publish di blog ku yang lain. Tempat dimana aku biasa menorehkan coretan-coretan manja ku. Kali ini terpaksa aku letakkan disini. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi mengutarakan maksudku. Terlalu buntu otak ku. Maafkan..


And you say I only hear what I want to
I don't listen hard
Don't pay attention to the distance that you're running
To anyone, anywhere,
I don't understand if you really care
I'm only hearing negative
(Stay, Lisa Loeb)


>>

I remember,
When i first post this writing, you came to look after me
Now i think i just can dream about you.. to look after me

Senin, 22 Agustus 2011

Trust

Ingat lambang ini?
Source


Kamu tahu dengan pasti bagaimana perasaanku padamu

Promises made and broken
Hopes raised and then dashed
Sweet words have been spoken
But My Darling, is this the time promises last?
(P.M Montgomery)

Aku sengaja mencari tulisan itu untuk postingan kali ini. Karena otakku terlalu tumpul untuk merangkai kata-kata ku sendiri. Maaf, tapi aku terlalu kalut untuk mencari tahu dimana letak salah dalam perlakuanku padamu.

Up and down, round and round,
Our lives have been wild,
Oft times it's been like a carnival ride.
But through it all, there has been one constant thing,
Without you, my world is not worth living.
(P.M Montgomery)

Jo, ku..
Jo, ku yang dulu. Aku yang terlalu tenggelam dalam kharisma yang tanpa sengaja menerangi perjalanan hidupku. Aku yang terpesona oleh begitu banyak peluh yang terjatuh untukku. Aku yang terlanjur mencandu mu. Kamu yang dulu.
Jo, ku..

Now, I choose to believe once again.
I place my heart in your hands.
Don't break it. It's fragile;
Held together by hope and a dream.
(P.M Montgomery)

Haruskah kutanam lagi kepercayaan itu padamu? Bagaimana bila kembali rusak? Darimana harus aku mengulang? Aku bahkan tidak tahu bagian mana yang rusak atau rapuh. Ini adalah kepercayaan yang aku bahas, kepercayaan yang pernah tertuang dalam tulisanmu yang lalu. Kepercayaan yang kamu tawarkan untuk aku sampirkan di punggungmu, yang menjadi pegangan kesukaanku.

Two roads diverged in a yellow wood,
And sorry I could not travel both
And be one traveler, long I stood
And looked down one as far as I could
To where it bent in the undergrowth;
Then took the other, as just as fair,
And having perhaps the better claim,
Because it was grassy and wanted wear;
Though as for that the passing there
Had worn them really about the same,
And both that morning equally lay
In leaves no step had trodden black.
(Robert Frost)

Aku..  entah harus menyebut apalagi untuk ungkapkan yang kurasa. Memaafkan, dan melupakan. Tolong ajari aku caranya. Karena sepertinya aku kesulitan melakukan keduanya. Perjuangkan perasaan itu.. apakah harus dengan melalui jalan seperti ini?


Oh, I kept the first for another day!
Yet knowing how way leads on to way,
I doubted if I should ever come back.
I shall be telling this with a sigh
Somewhere ages and ages hence:
Two roads diverged in a wood, and I-
I took the one less traveled by,
And that has made all the difference
(Robert Frost)

Minggu, 21 Agustus 2011

Afternoon blues

It's because the weather i'm crying
Source



Aku sendiri disini. Ingin menulis. Tapi tak tahu apa yang ingin ku tulis. Pikiranku bercabang kemana-mana. Ada banyak sekali yang berkelebat di kepalaku. Terlalu banyak.

*******


Sesaat tadi, saat aku tengah menyetrika, aku memikirkan beberapa hal. Terutama saat kita sedang bercakap-cakap melalui media elektronik itu. Aku mendengarkan laguku, lagu yang beberapa waktu belakangan ini sering mengisi kedua gendang telingaku saat aku tengah sendiri. Alunan ayat-ayat suci yang dilantunkan oleh Al-Ghamdi. Menenangkan, sekaligus mengiris pinggir hatiku. Perlahan irisan itu mendalam, dan semakin dalam.
Aku teringat ibu. Membayangkan apa yang tengah dilakukannya saat itu. Berkumpul bersama Dhiva dan Yaya kah? Atau asyik duduk berpelukan di atas tempat tidurnya sambil menikmati tontonan Televisi. Atau malah mungkin mereka semua tengah berkumpul di dalam kamar itu bersama-sama. Bercengkerama, tertawa, membahas apapun kecuali aku. Kecuali aku. Dan aku menangis. Ya, melakukan kegiatan merapihkan pakaian-pakaian yang telah dicuci olehnya itu sambil sibuk menghapus linangan air mata yang tak mampu kutahan.

Aku rindu.

Teramat rindu.

Dan membayangkan bahwa percakapan itu tidak melibatkan pembicaraan mengenai ku sama sekali membuat air mataku semakin deras mengalir. Aku ingin ada disana, ditengah-tengah kalian.

Biasanya aku akan merangsek ke sisi ketiak ibu, menenggelamkan kepalaku dibawah lengannya, dan menciumi aroma ketiak ibu yang sama sekali tidak berbau. Mungkin tidak akan banyak yang akan dibahas pada kamar itu, biasanya aku akan lebih banyak diam. Menikmati waktu bersama ibu. Ibu pun akan diam. Sepertinya kita akan sama-sama tahu bahwa waktu itu terlalu berharga untuk sekedar dihabiskan dengan bercakap-cakap yang tidak perlu. Kita akan diam bu, diatas tempat tidur di dalam kamar itu. Diam dan menatap layar Televisi. Sesekali mengomentari acara Televisi yang tengah di putar pada layar cembung berukuran 29 inch itu. Sesekali menertawai adegan lucu yang terpampang pada layar Televisi itu.

Lalu Dhiva atau Yaya akan muncul dengan cengiran khas nya. Menelusup ditengah-tengah aku dan ibu. Aku pun akan langsung mempertahankan posisiku untuk tetap ada disamping ibu sambil berpura-pura mengusir Dhiva atau Yaya yang berusaha untuk berada ditengah-tengah aku dan ibu. Lalu kamar itu akan dipenuhi oleh tawa yang membahana. Tawa Dhiva atau Yaya yang menggelegar, dicampur dengan tawa ibu. Sedang aku hanya akan tertawa kecil sambil memperhatikan mereka satu-persatu. Lalu merebahkan kepala kembali diatas bantal dan melanjutkan menatap layar Televisi.

Menjelang sore, pasti semuanya tengah meributkan menu berbuka puasa. Ibu akan sibuk menanyai menu apa yang kami inginkan untuk berbuka. Lalu ibu dan Yaya mungkin akan pergi ke komplek depan rumah untuk membeli lauk, biasanya hari-hari terakhir puasa seperti ini ibu sudah malas untuk memasak dan memilih untuk membeli menu berbuka puasa. Sedang sahur, kebanyakkan akan diisi oleh menu makanan instant yang sudah dibeli lebih dulu jauh-jauh hari. Es timun suri atau es kelapa bercampur sirup pasti akan terhidang sebagai menu pembuka untuk berbuka. Menu kali ini apa bu? Ada es timun suri atau es kelapa campur sirup itu? Lalu gorengan itu, apakah masih tersaji?

Semua orang sepertinya berbuka puasa bersama-sama hari ini. Nana mungkin berbuka puasa bersama keluarganya atau Anggi. Dia pergi sejak siang kerumah keluarganya, dan akhirnya member kabar akan berbuka puasa bersama keluarganya. Dan kamu, pergi berbuka puasa bersama teman-teman lamamu. Teman-teman yang menurutmu mengerti dirimu. Sedang aku, menyelesaikan tumpukan pakaian untuk disetrika. Ditemani sepi dan air mata, juga tumpukan pakaian kusut menunggu untuk kubuat halus dan wangi.
Aku serius waktu menuliskan akan membajak dirimu saat kamu tengah berada ditengah-tengah mereka. Tapi jawabanmu yang sepertinya tidak mau meluluskan permintaanku itu membuatku memilih untuk mengalihkan kalimatku. Aku bilang bercanda dan tidak serius. Ironis, aku menangisi keputusanku. Entah kenapa, tapi sepertinya aku menyesali caraku mengalihkan perhatian atas sepi yang memelukku hari ini. Tawaran untuk buka puasa yang sebelumnya kamu utarakan sepertinya juga tidak serius. Karena kamu cepat sekali menarik kesimpulan aku tidak mau. Padahal aku tengah berpikir bagaimana mengiyakan tawaranmu. Kamu itu, benar-benar tidak mengenalku lagi ya. Padahal akhirnya aku katakan bahwa aku akhirnya sendirian.

Sudahlah.

Aku akhirnya benar-benar sendiri. Tidak kemanapun atau dengan siapapun yang kulontarkan dalam bahasa teks itu. Sendiri di tempat ini. Hanya ditemani suara ketikan keyboard notebook ku, juga acara Televisi.

Aku rindu.

Adik-adikku. Kamu. Dan ibu.
*******



Selamat berbuka puasa 

Jumat, 19 Agustus 2011

Bosan dan sepi

Source

“Bosan, sepi, tak ada hiburan”


*******



Aku tenggelam dalam tangis. Semalam. Membaca semua pengakuanmu. Pengakuan yang harus kupaksakan untuk kamu keluarkan. Tak sangka butuh satu hari untuk memaksamu berkata yang sebenarnya. Segitu beratnya untukmu mengakui apa yang kau perbuat dibelakangku. Jadi kapan saat kalian merencanakan semua perjanjian dan melakukan pembicaraan itu? Saat kamu sedang bermasalah denganku? Saat kita tengah bertengkar kah? Mungkin ini jawaban yang lebih masuk akal: Saat aku meninggalkanmu merasakan sepi, sendiri? 


Mudah ya ternyata untukmu mencari teman pengusir sepi dan bosanmu. Aku ingin tahu, apa sempat terbersit sedikit saja kamu pikirkan aku sedang apa saat kamu merasa sepi dan bosan sendiri? Saat kamu dan wanita berbaju merahmu itu tengah melakukan pembicaraan yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan apa yang selama ini kita perjuangkan? Pernah sedikit saja kamu berfikir apa yang akan bercokol di benakku saat kamu dan wanita berbaju merahmu itu merencakanan janji untuk mengusir sepi dan bosanmu? Pernahkah?

Lalu aku menuliskan dalam rangkaian kalimat mengenai mimpi buruk yang kualami malam setelah membaca semua isi pesan yang kamu dan wanita berbaju merahmu lakukan, dan kamu mengatakan bahwa aku tengah menyebar fitnah. Aku menulis. Apa yang kurasakan. Menceritakan mengenai mimpi buruk yang menghampiri tidurku malam itu. Mimpi mengenaimu yang akhirnya memutuskan meninggalkanku. Mematahkan setiap kalimat pembelaan yang sempat kujadikan tameng untuk memjaga nama baikmu di depan wanita paling berarti dalam hidupku. Dinding penjagaanku runtuh. Malam tadi. Aku tenggelam dalam tangis. Terisak seorang diri didalam dingin kamar segi empat tempatku bertahan hidup. Sendiri. Mencoba menghapus setiap kalimat yang terbaca pada media elektronik itu. Kalimat pengakuan yang akhirnya terlontar.

Aku mencoba mengerti setiap barisan kalimat yang kamu kirimkan melalui teks itu. Sempat terfikir untuk menjalin kembali pertemuan, bertukar cerita, membunuh sepi dan bosanmu. Paling tidak aku paham satu hal: kamu sempat memikirkan untuk menjalin itu dengannya, berniat untuk melakukan kegiatan membunuh bosan dan sepi itu dengannya, dan mengesampingkan aku yang berada entah dimana. Kamu tidak memikirkan perasaanku. Kita bertengkar, kamu kesepian, dan itu menjadi alas an untukmu menjalin kembali komunikasi itu. Wanita berbaju merah yang kamu katakana hanya sekedar ingin bermain – main denganmu. Lalu apa kamu juga hanya sekedar bermain – main dengannya? Apa kamu hendak mengatakan bahwa kamu pun hanya butuh teman untuk mengusir sepi dan bosan? Dan hanya ada dia yang kami ijinkan untuk melakukan kegiatan bunuh bosan dan sepimu itu? Maaf, aku masih tidak mengerti mengapa sampai terlintas dalam kepalamu bahwa hanya wanita berbaju merahmu itu yang mampu menutupi bosan dan sepimu, yang mampu memberimu penghiburan atas derita bosan dan sepi mu.

Kalian tidak bertemu sungguhan, itu pengakuanmu. Dan aku percaya. Entah bagaimana aku percaya. Aku selalu percaya padamu. Pada setiap ucapanmu, pada setiap kalimatmu, pada setiap apapun yang kamu kemukakan untuk meyakinkanku. Tidak ada yang perlu aku cemburui dari wanita berbaju merahmu itu, katamu. Kamu itu juga menempatkan perasaan yang sama seperti yang kamu rasakan terhadapku untuknya, aku bagaimana mungkin tidak boleh menempatkan cemburuku padanya? Katakan bagaimana aku harus menanggapi semua kalimatmu mengenai wanita lain yang menempati tempat yang sama dihatimu seperti aku menempati hatimu itu? Bagaiama? Ajari aku bagaimana harus bersikap pada wanita lain yang kamu jadikan teman untuk membunuh sepi dan bosanmu saat aku tak dapat berikan untukmu? Karena aku sama sekali tidak dapat mengerti bagaimana meredam panas yang membakar dadaku ini.





*******

“Kalian mirip.”
“Mirip gimana?”
“Nggak tau, tapi entah gimana, kalian mirip”
Aku ingat kalimat yang sempat aku lontakan saat aku pertama kali akhirnya bertemu dengan wanita berbaju merah itu.




_________
Tulisan ini seharusnya ku posting satu hari setelah pengakuanmu itu. Tapi aku terlalu larut dalam kesedihan. Maaf, aku hanya utarakan, tidak perlu menganggap aku tengah melemparkan fitnah padamu.

Kamis, 18 Agustus 2011

Permohonan

Source




Aku mau tanya, kemana kalimat berselubung keangkuhan yang pernah kau sampaikan padaku dengan balutan nada lembut nan bijak itu? Kau kemanakan semuanya? Karena kalaupun kau sembunyikan sekalipun, aroma keangkuhan itu masih dapat kucium dengan samar, bahkan dalam permohonanmu.

Lalu apa yang mau kau tunjukan dengan permohonan itu? Sebuah sandiwara lain dihadapan wanita dan pria renta yang melahirkan ayah tersayangmu ke dunia kah? Apa yang kau harap aku akan lakukan saat mengucapkan permintaan itu? Aku yang berusaha untuk terlihat bahagia bersanding disampingmu dihadapan mereka merayakan hari raya umat muslim sedunia? Ikut denganmu membodohi seluruh keluarga besarmu?

Kau itu sebenarnya sudah tahu bahwa apapun yang kau harap aku lakukan tuk bermanis - manis didepan mereka itu percuma. Mereka tidak sebodoh yang kau pikir. Mereka sudah tahu ada yang tidak beres dengan kita, denganku terutama. Tapi entah apa yang ada di benakmu dengan melakukan permohonan itu. Berharap suatu saat aku dapat mengembalikan perasaan yang dulu pernah ada untukmu? Tanyakan itu pada dirimu sendiri bagaimana kau memperlakukanku bila memang ada harapan itu sempat terbersit di benakmu.

Berhentilah bicara seolah - olah kau yang paling benar tentang hal yang menyangkut hubunganku dengan Tuhan jika kau memang hanya ingin sekedar berbagi pemikiran. Aku hargai usahamu, tapi tak dapa kuterima caramu menyampaikannya padaku. Salah. Dan tidak dapat kumengerti.

Kita lihat, apa aku akan berubah pikiran dengan permohonanmu. Walau kau ucap bahwa kau mohonkan dengan sangat permintaanmu itu.

*******
Jangan coba menguji kebaikanku

Selasa, 16 Agustus 2011

Bad dream

Source

 Teks itu begitu nyata terbaca. Seakan – akan aku tidak perlu membedakan mana nyata mana fana. Alam bawah sadarku mungkin sudah begitu kuatnya menarik diriku kedalam mimpi buruk itu. Saat kamu kirimkan rangkaian kalimat keputusan untuk meninggalkanku. Hanya sebatas teks, disampaikan oleh alat komunikasi canggih yang marak dimana – mana. Rentetan kalimat yang mencabik sampai ke rongga hati, menghempaskan semua harapan yang sempat susah payah kubangun dan perjuangkan.
Ya.
Didalam barisan tulisan itu kamu nyatakan keberatanmu. Semua yang kamu simpan selama ini saat mulutmu merangkai kata mengangkatku tinggi ke awang – awang. Aku hanya sebatas gadis naïf, lugu dan paling mudah termanipulasi. Yang selanjutnya berubah menjadi seseorang yang terlalu banyak mengganggu keseharianmu. Menyita begitu banyak pikiranmu. Dan melelahkanmu. Membuatmu muak. 
Kamu meninggalkanku.
Bahkan saat mataku akhirnya terbuka pun, masih sulit rasanya membayangkan bahwa itu mimpi. Terlalu nyata. Dan menyakitkan.

*******

Mungkin inilah akhir dari yang kuperjuangkan, bisikku lirih.
Aku memeluk diriku sendiri. Mencoba menenangkan dinding hatiku  yang meruntuh.

That is not your territory

Watching me?
Source

I’m not playing hide and seek
So don’t bother to find the place I hide something
I’m not hiding
And I’m not seeking
I’m searching and struggling

*******
“Sampai matipun kujelasin ga akan ngerti kamu!”
Aku terpaksa melontarkan kalimat itu untuk menyudahi pembicaraan kita. Tapi kau itu memang bebal, susah sekali meladenimu bicara. Bahkan untuk hal yang sudah berkali – kali ku ulangi.
Aku telah mengorbankan perasaanku pada satu – satunya wanita paling kucinta sepanjang aku hidup demi satu hal  yang kau sudah tahu jawabannya, dan masih juga kau tanyakan hal yang sama: mengapa aku menginginkanmu melepasku.
Sudah hilang pikiran aku menerka – nerka apa yang ada di dalam pikiranmu. Kau hargai ikatan suci dan janji yang diucapkan di hadapan Tuhan, menurutmu aku tidak? Menurutmu yang selama ini kulakukan adalah upaya untuk mendurhakai agama dan pengetahuanku? Aku tengah memperjuangkan apa yang kau bilang janji dan ikatan suci itu. Aku tengah memperjuangkan selubung hitam yang membelit duniaku dan duniamu dalam ikatan suci yang terpaksa kujalani dalam keadaan penuh ketidakpastian. Aku. Berjuang. Dan yang kau lihat hanyalah aku dengan raut wajah terbaca tak masalah dengan keadaan yang menimpaku saat ini. Lemah sekali argumenmu. Maaf. Aku. Tidak. Terkesan.
Jika saja semua usaha itu harus terlihat didepan matamu, tercium didepan hidungmu, dan terdengar tepat disamping kedua telingamu itu, entah sudah berapa orang yang akan tertipu dengan rayu maut bujuk mematikan demi untuk meluluhkan sebongkah hati. Pikirkan.
Usahaku. Tak perlu. Kau lihat.
Tuhan tahu. Kau tidak perlu tahu yang dilihat Tuhan.
Itu. Bukan. Teritorimu.

Senin, 15 Agustus 2011

How it feels to keep a heart.. alone?

You may not know
Source

Seharian ini tak ada kamu.
Sepi..
Bahkan ceracau pertengkaran pun tak ada.
Kamu itu, kenapa begitu menyebalkannya sampai tidak mau menerima handphone mu sendiri. Itu bukan barang milikku yang ku beli, itu barang milikmu yang kamu beli dengan uang hasil kerjamu. Seenaknya saja kamu lempar ke jalan dan berikan padaku.
Kamu pun akhirnya mengakui satu – satunya alat yang dapat menghubungkan kita hanya benda itu. Sulitnya membuatmu mengerti.
Tidak. Aku bukan rindu padamu.
Entah apa namanya. Tapi memang sepi. Karena satu – satunya orang yang kuajak bertukar cerita untuk menemani rutinitas kerja yang membosankan ini hanya kamu. Beda mungkin denganmu yang setiap saat selalu dibutuhkan oleh banyak orang. Akan ada siapa saja yang menghubungimu dengan bermacam topik menarik, urusan kantor, ajakan berkumpul, sebatas broadcast message nggak penting, atau sekedar bbm berisi sedikit rayuan dari para pengagummu di luar sana. Atau mungkin dia, your lady in red. Dia mungkin sedang bertanya – tanya di ujung sana kenapa kamu tidak membalas sms nya sejak jumat malam itu, atau sabtu pagi. Ah, perkiraan waktuku sepertinya sudah mulai melemah sejak pertengkaran hebat lalu. Nantilah kamu sendiri yang baca, kamu pasti bisa mengira – ngira kapan lady in red mu itu mengirimimu kabar yang membuatku makin menumpuk kekesalan padamu.
Maaf, aku bukan cemburu. Mungkin sedikit. Tapi lebih kepada rasa terdustai. Sudah kukatakan sebelumnya betapa kamu adalah makhluk bebas yang tidak terikat pada apapun sehingga mempunyai hak istimewa untuk memiliki hubungan dengan siapapun. Tapi kamu sendiri yang janji padaku untuk menjaga perasaanmu. Atau janji itu sedemikian semakin tersingkir hanya karena sepi. Kalau memang demikian alasanmu, maaf.. tidak berlaku untukku. Karena aku masih menjaga perasaan itu walau luluh lantak hatiku dengan kondisi saat ini.
Aku terluka.
Bukan fisik. Bukan tangan yang kamu tarik – tarik di depan umum itu. Bukan pula lengan yang ngilu karena tergesek bahan jaket yang kamu tarik – tarik demi menahan langkah kakiku.
Ini hatiku.
Yang luka.
Dan kamu melakukannya dengan mudahnya. Beralaskan sepi.
Akupun butuh teman. Tapi dapat kuredam sepi itu saat kamu tak ada. Atau hanya aku yang selama ini selalu menjadi penjaga hati itu?
Entah. Kamu tahu jawabannya?

Dari anakmu yang paling besar

Source from here

Jadi, ini adalah hari ke – 15 puasa bu. Apa kabar ibu? Masih belum batal kan puasanya? Ibu masih akan minum obat maag setiap sebelum shubuh dan saat buka puasa? Dhiva bilang ibu baik walau katanya sering mikirin aku. Benar ibu sering mikirin aku bu? Lalu kenapa ibu nggak pernah ajak aku pulang bu? Oh, maaf, aku lupa. Itu bukan rumah seharusnya aku tinggali kan?
Anak itu emang selalu salah ya bu.. Apapun melibatkan keinginan anak dan ibu, anak selalu jadi yang salah. Bahkan untuk satu hal yang coba diperjuangkan untuk sekali seumur hidup: rasa. Tetap anak yang salah ya bu. Karena anak selalu harus mengerti keinginan orang tua, apalagi sebagai anak tertua, menjadi penurut, dan contoh yang baik untuk adik – adik sepertinya bukan lagi sebuah pilihan, tetapi sebuah ketetapan yang hakiki. Benar begitu bu?
Entah Dhiva sampaikan bahwa aku pun khawatir terhadap ibu atau nggak, tapi apa ibu segitu harus keras hatinya menjajariku dengan kekerasan yang sama layaknya kita ini adalah sepasang competitor yang berharap ada salah satu yang akan kalah dan menyerah? Ibu nggak pernah ajari aku seperti itu bu, ibu ajari untuk berjuang, kuat, dan mengakui salah dengan lapang dada. Apa karena aku belum bisa buktikan pada ibu keyakinan atas rasaku? Maaf bu, setiap orang sepertinya selalu hanya berpegang teguh pada apa yang mereka lihat, bukan yang mereka rasa. Dan aku selalu harus dituntut untuk ‘terlihat’ berusaha di depan mata setiap orang, bahkan didepanmu, ibu kandungku sendiri.
Jaga diri bu, makan yang teratur karena ibu punya maag. Maaf anakmu yang paling besar ini terpaksa tidak bisa mengurusimu untuk sementara, karena anakmu ini sedang berjuang mencari bukti atas apa yang diperjuangkannya. Masih ada Dhiva dan Yaya yang akan menjaga dan menghibur ibu, mereka itu sudah besar, sudah bisa ibu andalkan untuk menemani ibu kapanpun ibu butuh. Semoga Dhiva bicara benar saat bilang kalau ibu sering memikirkan aku.
Ibu tau aku sayang ibu.. Sampai kapanpun..

Jumat, 05 Agustus 2011

Pria yang berdiri di sampingmu

Source of the pic


Akan kuutarakan, suatu saat nanti. Dalam kalimat yang benar – benar akan kau pahami, tentang kebenaran atas apa yang kualami.. Kurasa.. Entah..
*******

Aku terlempar dari tempat dimana seharusnya aku berada. Entah, mungkin juga aku sebenarnya tidak seharusnya berada disana. Karena itu bukan tempatku, itu bukan rumahku. Aku hanya kebetulan lahir dari seorang wanita yang kebetulan berjodoh dengannya. Dan aku disana, memaksa untuk tinggal bersama mereka, membuat mereka menghidupiku, membanting tulang untuk memberikanku pendidikan yang layak. Entah.. mungkin aku salah telah memaksa diriku, seorang gadis berusia 9 tahun untuk  kembali berkumpul bersama ibunya. Ibu kandungnya.
Iri mungkin pada banyak temannya diusianya yang dapat bercerita tentang ibunya, sementara aku, gadis itu hanya dapat menceritakan pengalamannya bersama nenek kakeknya yang sepanjang kisah itu mengurusinya. Tak ada kenangan masa kecil, tak ada kenangan masa balita, tak ada kenangan apapun yang kuingat sepanjang kehidupan 9 tahunku melainkan dari sebuah cerita ke cerita yang di lontarkan oleh bibir – bibir mereka yang katanya mengenalku.
Kini, aku dewasa. Memiliki pilihan untuk memilih jalanku sendiri. Si gadis kecil yang selalu menuruti perintah ibunya itu kini mempunyai pendirian sendiri. Mempertahankan keyakinannya dan memilih untuk pergi. Meninggalkan tempat ternyaman dalam hidupnya, sisi sang ibu. Bukan mauku bu, ibu pun pasti mengerti. Atau memilih untuk tidak mau mengerti. Atau terheran – heran dengan kerasnya kepalaku dalam mempertahankan apa yang kuyakini.


Tanyakan pada pria yang berdiri disampingmu itu bu, yang membentakku dan bersikap seolah – olah aku telah melakukan kesalahan paling fatal di matanya. Apa aku jadi tidak berarti hanya karena aku mempertahankan apa yang kumengerti bu? Apa aku jadi sebegitu tidak bermaknanya hanya karena aku memilih untuk mempertahankan apa yang kuyakini bu? Tanyakan pada pria yang ibu puja – puja itu mengapa aku akhirnya memutuskan untuk pergi. Tanyakan padanya yang menatapku seolah – olah aku hanya seonggok daging yang dapat dibuat lagi dari rahimmu bu. Tanyakanlah padanya makna kehadiranku saat diusia 9 tahun itu aku merengek ingin tinggal dirumah yang kalian dan Yaya tinggali. Tanyakanlah mengapa ia mau menerimaku di rumah itu, ditengah – tengah keluarga kecil kalian yang bahagia. Merangsek masuk menelusup di tengah – tengah kebahagiaan keluarganya yang baru dihadiri oleh satu anak hasil buah cinta kalian. Meminta bagian untuk sekedar dapat hidup dan merasakan sekolah itu. Tanyakanlah pada pria yang menjadi suamimu itu bu apa yang ia rasakan saat membentakku, memukuliku, atau mencibir dengan kalimatnya yang segitu entengnya keluar dari bibirnya itu bu. 

Tolong tanyakan padanya bu mengapa begitu mudahnya ia melontarkan kalimat yang seringkali ia sesali. Tanyakan padanya mengapa ia tidak belajar dari kisah masa lalu saat hari itu datang dengan sebuah pertengkaran yang melibatnya Yaya. Tanyakan padanya saat ia hendak menampar wajah anak gadisnya yang paling kecil. Satu – satunya buah cinta kalian. Tanyakan pula arti tatapan mata yang dingin itu saat melontarkan kalimat pengusiran itu bu, Tanyakanlah. Apakah ia juga hendak menamparku? Atau mungkin memukuliku lagi dengan sapu? Atau mungkin langsung akan membuatku babak belur dengan tangannya yang biasa digunakan untuk bekerja keras itu. Yang katanya untuk menyekolahkanku dan adik – adikku.

Maaf bu

Aku menyerah

Aku tidak sekuat ibu yang dapat bertahan bertahun – tahun menahan semuanya sendirian. Aku akan bertahan dengan caraku sendiri bu. Tapi bertahun – tahun kemarin itu kuanggap cukup untukku bertahan. Walaupun ia menjadi baik, walaupun kini semua salahnya di dalam kisah masa lalu itu telah tertutup dengan kebaikannya. Maaf bu, tapi aku tidak dapat melihatnya. Ibu yang memilih membelanya dibanding berdiri dibelakangku. Maaf bu, aku tidak dapat bertahan sekuat ibu. Karena aku mempunyai keyakinanku sendiri.
=======


Aku menyerah, mungkin..

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...