Selasa, 31 Juli 2012

Cerita sahur


Ada beberapa hari dimana setiap Ramadhan tiba kami akan telat untuk sahur. Biasanya ibu bangun sahur di awal-awal bulan puasa. Menyiapkan makanan dengan dibantu saya, dan kedua adik saya. Si kecil biasanya memang yang paling jarang bisa membantu menyiapkan menu sahur karena ia begitu susah dibangunkan untuk sahur. Maka biasanya yang lebih sering turun tangan adalah ibu, saya dan adik saya nomor satu. Tapi seperti yang saya bilang, biasanya ibu hanya bangun di awal-awal bulan puasa. Mungkin tidak lebih dari seminggu. Karena selebihnya, entah kelelahan karena harus tetap bekerja pada siang hari, atau karena kebiasaan insomnianya yang membuatnya masih mengantuk untuk bangun sahur, ibu hampir tidak akan pernah lagi bangun untuk menyiapkan sahur.

Jika sudah demikian, biasanya saya yang turun ke dapur untuk sekadar menghangatkan menu sahur sisa buka puasa sebelumnya atau menambah menu dengan menggoreng beberapa makanan beku yang ada di lemari es. Lalu setelah semuanya siap, maka saya akan membangunkan para penghuni rumah satu-persatu. Mengetuki pintu kamar dan membangunkan adik-adik saya. Biasanya yang paling susah dibangunkan ya adik saya yang paling kecil itu.

Kalau ibu, biasanya di hari-hari berikutnya akan jarang sahur. Paling makan tapi sedikit. Tapi tak jarang ibu tidak sahur dan hanya minum air putih saja. Lalu tidur lagi. Bisa dibilang kehangatan sahur pada keluarga itu hanya terdapat di hari-hari pertama puasa saja. Selebihnya sudah seperti masing-masing. 

Terkadang saya biarkan saja mereka nyenyak dalam tidur mereka ketika saya terbangun untuk sahur. Saya tidur lagi. Lalu suami ibu akan sesekali membantu menyiapkan sahur dan membangunkan kami. Tapi ia pun bukanlah mualaf yang rajin. Berpuasa hanya pada awal-awal nya saja karena kemudian akan mengeluh kelelahan karena pekerjaannya yang membutuhkan tenaga dan ia bukanlah orang yang mampu menahan lapar dan haus.

Pernah saya biarkan saja waktu sahur berlalu begitu saja sampai akhirnya ada yang berteriak bahwa kami telah telat sahur. Ketika melihat jam, ternyata sudah masuk waktu imsak. Maka kami akan buru-buru mencari apa saja untuk dapat digunakan sebagai pengganjal perut selama sehari nanti. Biasanya saya paling hanya melahap air putih sebanyak-banyaknya. Tidak akan ada yang mau repot menyiapkan hidangan sahur di waktu yang mepet itu. Bahkan kami juga pernah terbangun karena adzan shubuh. Yang mana artinya bahwa kemungkinan besar waktu sahur sudah tidak mungkin sempat lagi. Maka ketika adzan itu kami hanya meneguk air semampunya.

Begitulah. Saya teringat masa-masa itu. Dimana jika saat ini saya tidak disana. Akankah ibu juga masih hanya akan bangun sahur dan menyiapkan sahur di awal-awal puasa saja, dan selebihnya membiarkan yang lainnya mencari cara sendiri untuk mengganjal perut selama menjalankan ibadah puasanya. Kadang saya kesal karena ibu seperti acuh saja dengan kebutuhan kami. Meskipun saya akui kami memang sudah cukup besar dan mampu dengan mandiri menyiapkan kebutuhan kami. Tentu maksudnya bukan hanya itu. Maksudnya adalah kebersamaan itu. Bahwa melakukan apapun dengan keluarga adalah yang paling menyenangkan. Apalagi di bulan Ramadhan dimana suasana paling kental kentara adalah kebersamaannya.


-       Suatu hari ketika saya telat sahur


Source

Ps. Jari tangan saya sudah baik saja. Sudah bisa digunakan untuk menulis dan mengetik normal. Sebelumnya, bahkan untuk menekuk saya tidak bisa.. Thank God.

Minggu, 29 Juli 2012

Payahnya saya


Bahkan bertemanpun aku masih merasa tidak memiliki teman
Sunguhpun aku tak tahu dimana letak salahku,
Lagi
-Mine-

Aku hanya berusaha baik. Meladeni setiap ucapan kalian. Lalu juga setia mendengarkan curahan hati kalian. Mencoba memberi semangat saat salahs atu dari kalian merasa sedih. Menjadi salah satu bagian dari perkumpulan rutin kalian. Dan itu kurasakan masih juga kurang. Ada yang hilang disini. Dihatiku.
Aku tidak suka bergosip. Tidak bisa bergosip tepatnya. Pun meskipun bisa, aku tetap tidak akan melakukannya karena aku tidak suka. Membicarakan orang lain. Menggunjingkan hal yang tidak penting dan bukan urusan kita. Aku tak pernah merasa harus menjadi suka dan bisa bergosip. Maka aku diam saja diantara kalian. Dan itu membuatku merasa direndahkan. Kalian jadi tak pernah melihat keberadaanku. Karena aku merasakannya.

Tak ada diantara satupun kalimatku yang akan kalian timpali. Bahkan jika suatu saat aku tak ada disana, kalian mungkin juga tak akan pernah menyadari ketidakberadaanku. Apalagi menanyakkan. 

Karena aku tidak heboh. Aku tidak suka heboh. Aku tidak suka menambahkan keramaian yang telah ada. Dan aku lebih banyak diam. Mendengarkan. Mengamati. Tapi selalu ada. Dan tak pernah kalian sadari.
Aku juga tidak suka membicarakan mana pria paling tampan dikantor. Mana pria yang bisa di taksir. Ataupun mana pria yang bisa dijadikan incaran untuk membangun masa depan nyaman karena kekayaannya. Aku tidak pernah merasa perlu melibatkan diri dalam percakapan murah tersebut. Maka aku diam saja. Mendengarkan. Mengamati. Dan lagi tak pernah kalian sadari.

Kalian jika sadari, tak pernah sekalipun keluar dari mulutku sikap manja dan genit itu ditengah kalian. Karena aku sadar harus menjaga harkat dan derajatku dihadapan siapapun. Apalagi bila ada pria disana. Maka aku diam saja. Dan kalian tidak peduli.

Percuma saja memberitahu kalian apa yang salah. Bahwa bergunjing itu salah. Bahwa membicarakan yang bukan menjadi urusan kita itu salah. Dan bahwa bergenit-genit itu salah. Karena kalian tidak memiliki pemikiran sepertiku. Jadi kubiarkan saja. Bahkan ketika kalian mengejek penampilanku yang kalian anggap tidak seksi karena tidak menonjolkan lekuk tubuh, aku diam saja. Karena percuma memberitahu kalian apa itu arti muslim dengan jilbab. Karena para perempuan muslim yang ada diantara bagian perkumpulan kita tidak menunjukkan contoh yang baik untuk dapat kalian mengerti apa makna jilbab yang mereka pakai. Dan diam mungkin jawaban terakhirku. Karena sungguhpun telah kujelaskan makna pakaian muslimahku tetap kalian tidak akan mengerti. Dan mencemooh dalam hati.

Aku sungguh tahu. Usia muda kalian mungkin mempengaruhi. Namun bukan berarti pemikiran muda kalian mengambil alih seluruh kontrol kehidupan kalian. Aku mungkin telah lelah mencoba memberitahu bahwa muslimah tidak mengenakan pakaian yang akan menonjolkan lekuk tubuh. A[alagi bila kalian berjilbab. Yang terjadi malah sebaliknya. Celana jeans yang dipakai sekatat mungkin, atasan dengan tangan 7/8 tanpa menggunakan dalaman sehingga sebagian lengan terlihat. Bahkan pemakian kerudung atau jilbab yang terlihat hanya sebagai penutup kepala. Lalu apalah arti puasa jika kalian tidak pernah sekalipun melakukan ibadah sholat?

Baiklah sholatku belum benar. Cara berpakaianku juga belum benar. Dan mungkin juga sikap serta sifatku belum benar. Namun aku berusaha memperbaiki diri. Dan mampu menahan diri. Setidaknya sampai saat ini. Aku belum sekalipun terpancing untuk bergunjing, menggoda para pria yang lalu lalang di lobi itu. Dan segala sikap yang tidak seharusnya diperlihatkan oleh wanita baik pada umumnya. Karena sungguhpun aku tidak ingin orang memandang rendah derajat wanita apalagi aku termasuk didadalamnya.

Aku sungguh merasa terasing. Berkumpul dengan kalian menjadi hanya sekadarnya saja. Karena aku tak pernah merasa dianggap. Dan dalam hati kalian tak pernah menanggapku. Akulah yang salah menilai kalian. Bukan. Bukan aku yang salah. Karena kesan pertama terhadap kalian ternyata sudah lama kucoba singkirkan. Dan kesan pertama yang buruk itu ternyata benar. Sungguhpun aku seharusnya (lagi) mempercayai naluriku.

Payahnya saya. Benar-benar tidak bisa berteman dengan makhluk wanita. Payah! Benar saja saya lebih baik bertaman dengan teman laki-laki saja. Atau sendiri lebih baik.
 

Source

Jumat, 27 Juli 2012

Sore yang galau


Hanya satu kali ketika itu ibu mengatakan rindunya pada saya. Bahwa ia tetap akan menganggap saya anak, apapun yang terjadi. Dan bahwa ia merindukan saya. Tapi tak pernah sekalipun meminta saya untuk sekadar datang padanya. Lalu dengan mudah ibu akan bersikap seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya. Tidak pernah keluar dari mulutnya kalimat pengusiran itu. Tidak pernah terlintas dari ingatannya perbuatan suami ibu pada saya. Maka saya mengekor. Saya pun sekadarnya saja berkunjung. Tidak seperti pulang kerumah karena itu sama sekali bukan rumah saya. Saya tidak pernah memiliki rumah. Karena saya hidup menumpang disana.

Dan saya kini hidup sendiri. Memiliki tempat sendiri walau hanya sebuah kontrakan sederhana. Memiliki peralatan masak sendiri walau lebih banyak menguras emosi. Tetapi setidaknya saya memiliki TV dengan tayangan luar dengan harga miring dan sebuah kulkas cantik. Juga sebuah AC hasil cicilan sana-sini. 

Saya tak ingin menyombong dengan mengatakan bahwa itu semua adalah hasil jerih payah saya. Tentu bukan hasil jerih payah saya semata. Karena baik suka atau tidak, saya memang bisa (katanya) sukses seperti ini berkat ‘pengasuhan’ suami ibu. Jika tidak tanpanya mungkin saya juga tak akan pernah memiliki kesempatan untuk ‘sempat’ berkumpul bersama ibu. Jadi, saya memang belum bisa begitu saja menerimanya lagi. Seperti saya pernah usahakan untuk menerimanya dulu. Tapi saya juga tidak terlalu membencinya. Karena cukuplah keadaan seperti ini saja untuk saya sementara ini. Saya tidak harus sering berinteraksi dengannya. Tidak harus tetapi menjadi suatu hal yang canggung jika saya ingin sekadar mengunjungi ibu disana.

Rumah itu tak pernah saya anggap sebagai tempat saya dibesarkan. Karena saya tak pernah merasa dapat bebas disana. Tidak dengan segala perlakuan yang pernah saya terima. Sampai masa pengusiran itu. Saya telah berubah. Banyak. Dan saya rasa inilah saya yang sebenarnya. Meski masih tetap dengan mudahnya akan menangis bila saya sangat rindu pada ibu seperti saat ini. Tapi setidaknya saya sudah tidak mungkin dipaksa lagi untuk melakukan sesuatu yang saya tidak mau lakukan. Atau untuk sekadar bersikap sesuai dengan kemauan ibu. Saya sudah dewasa. Dan saya sudah sendiri dengan hidup saya. Bukan saya senang. Saya hanya merasa sedikit bebas. Meski belum bebas seperti yang saya bayangkan. Setidaknya saya bisa dengan bebas mengenakan pakaian yang saya mau saat dirumah. Tanpa perlu risih diperhatikan olehnya. 

Jadi, ya.. ibu tidak meminta saya untuk datang meski ini adalah ramadhan. Sama seperti ibu tidak pernah  memberitahu saya mengenai rencana nyekar simbah kakung jika saya tidak bertanya mengenai kemungkinan ibu dirumah sabtu tempo hari lalu. Padahal dengan blackberry yang ibu sudah miliki, saya rasa tidak sulit sekadar untuk ‘membicarakan’ rencana tersebut alih-alih membiarkan saya terkaget-kaget dengan keterangan ibu sudah ada dalam perjalanan ke Bekasi untuk nyekar. Kemudian saya jadi kena salah karena saya tidak ingat bahwa sebelum puasa ada tradisi nyekar

Tentu saja saya berang. Sejak kapan ada tradisi nyekar sebelum puasa dalam keluarga? Simbah Kakung tidak pernah membahas hal tersebut. Artinya tidak pernah dianjurkan. Bahkan tak ada ceritanya rasul juga melakukan tradisi nyekar. Maka sedikit saya ceramahi bude saya. Saya suruh bude saya cari tahu darimana itu asalnya nyekar kalau bukan karena tradisi adat saja. Saya agak keras karena saya kesal tidak diberitahu kunjungan itu, juga karena kemudian saya jadi kena kesalahan atas rutinitas yang tidak pernah dilakukan sebelumnya. Jika saya dibilang tidak pernah ingat simbah kakung saya, coba tanyakan padanya apa saya tidak pernah sekalipun membahas mengenai simbah kakung saya pada setiap peristiwa yang membuat saya ingat pada simbah kakung saya itu. Bahkan tanggal meninggalnya almarhum pun saya masih hapal diluar kepala. Benar-benar sembarangan bude saya itu.

Saya mungkin memang akan jarang menengok ibu. Karena ibu sepertinya juga tidak ingin sering-sering bertemu saya meski kini saya tinggal tak jauh dari tempatnya tinggal. Bahkan bertandang ke tempat tinggal saya pun harus saya tanyakan berkali-kali. Mungkin saya juga harus diam mengikuti sikap ibu. Dan kemudian menjadi berpura-pura tidak terjadi apapun ketika kami akhirnya berkumpul. Keluarga ini.. entah apa yang salah. Terlalu banyak kepura-puraan. Tak heran saya jadi seperti ini.

Di kala datang hari itu, tidak ada seorangpun yang berbicara, melainkan dengan izin-Nya; maka di antara mereka ada yang celaka dan ada yang berbahagia [11:105]


Mana mungkin saya masuk jika tak pernah diajak masuk?
Source



Kamis, 26 Juli 2012

To this day, wherever you are


I do believe
That you’ll be happy someday
Without me, or with the other one
But you will always have me
As everything
-Mine-



Happy birthday..
Wherever you are
 …

Aku pernah membaca kalimat itu pada salah satu media jejaring sosial dimana kau pernah aktif. Saat itu, aku belum begitu mengenalmu. Tapi kita sudah banyak berbincang. Tentang apapun, mengenai buku. Karena satu hal yang ku ingat ketika mengenalmu bukan sekadar ketidaktahananku tentang cara menyetirmu yang membuatku mual sampai membuatku berakhir dengan duduk di sampingmu. Bukan sekadar tentang kesukaan kita tentang Muse. Melainkan lebih dari itu. Ada sastrawan yang juga ikut terlibat disana, Dan Brown. Serta sastrawan dan sastrawati lain yang akhirnya bergantian menjadi jembatan penyampai obrolan kita. Jika bukan hanya banyak musisi lain yang juga ikut mengisi setiap sela obrolan seru kita.

Maka ketika kemudian sebuah ‘pembicaraan di sela tidur’ menjadi sebuah jembatan yang begitu perlahan makin meng-eratkan kita, terciptalah ikatan itu. Bukan hanya sekadar teman, bukan pula sahabat. Namun kita juga tidak dapat menemukan sebutan lain untuk emosi yang tercipta itu. Karena kau bukanlah kekasihku, begitu juga aku bagimu. Kisah bukanlah milik kita semata. Ada orang – orang tersayangku yang lain yang terlibat didalamnya, begitupun dirimu.

Satu tahun yang lalu. Tepat saat itu aku memulai untuk menekuni kesukaanku menulis, walau impian indah sebagai penulis buku masih entah melayang dalam anganku yang bagian mana. Dan aku telah berkali lagi melakukan pengkhianatan besar kepadamu. Sekali lagi melewatkannya, hari lahirmu. Padahal bila saja tiga tahun yang lalu itu aku di pertimbangkan untuk dapat berkunjung bersama yang lain untuk merayakan hari jadimu yang sederhana, mungkin cerita tak akan berakhir seperti ini. Padahal aku merasa sangat dibutuhkan untuk memilihkan kado untukmu. Baiklah, penyesalan ini tak ada gunanya. Aku juga sudah cukup menyesal, kau pun demikian bukan?

Maka ini adalah kesekian kalinya kau hanya akan merayakan hari lahirmu, sendirian. Dan aku hanya akan mengucapkan dua baris kalimat yang sempat kau sematkan pada salah satu jejaring sosialmu dulu. Meski saat itu mampu membuatku kalang kabut penasaran mencari tahu siapa yang begitu istimewa kau berikan ucapan begitu mendalam. Hal yang kemudian membuat semua kesalahpahaman mulai berawal. Setidaknya itu menurutku.

Sekali lagi, ketika aku tak ada. Bukanlah arti aku tak disana. Ku kirim doa selalu untukmu. Bahkan bila bahagiamu adalah kemudian berarti harus berakhir dengan membenciku. Atau lingkaran ikatan itu mungkin akan harus putus suatu saat nanti. Aku hanya akan ingat, bahwa kau tetap adalah sebagai apapun untukku. Meski itu akhirnya kita tak akan mungkin bersama. Tolong jangan marah, karena bila pilihannya bukan hati, aku mungkin akan lebih mudah menyebrang ke arahmu.


Selamat ulang tahun, Jo
Dimanapun kau berada..



Panjang umur, sehat selalu.. dan bahagia
Source

Selasa, 24 Juli 2012

Teguran sahur hari ini


Memang awal-awalnya terasa perih. Sangat sakit malah. Minyak panas itu begitu saja menyambar dua jemari saya sehingga membuat jari tengah dan jari manis kanan saya jadi melepuh dan memberikan penampakkan tidak karuan. Mungkin saya terlalu keras dalam menuliskan tulisan saya yang ini, sehingga Tuhan mau menegur saya bahwa saya masih punya kegiatan lain selain hanya menuliskan kekesalan saja. Maka saya ber-istighfar. Memohon ampun padaNa. Mungkin saya memang harus fokus pada ibadah saya. Bukankah saya pernah mengatakan ingin memperbaiki ibadah saya di postingan ini? Dan saya merasa memang harus mulai lagi dari awal. Saya harus setidaknya hari ini dapat melakukan kebiasaan yang pernah saya lakukan dulu ketika bulan Ramadhan tiba, tadarus. Setidaknya bila tidak bisa khatam tahun ini seperti tahun-tahun sebelumnya yang selalu saya khatamkan bacaan Qur’an saya setiap Ramadhan, saya masih memiliki tabungan bekal dari tadarus saya.

Memang penggorengan saya secepatnya harus diganti. Itu sudah rusak. Dua penggorengan saya, yang saya beli sendiri dan hasil diberi ibu sudah tidak layak pakai. Penggorengan yang lumayan bagus bahkan sudah lama rusak sejak meninggali tempat kos di kembangan itu. Karena penghuni lain yang tidak bertanggung jawab dalam menggunakan benda yang bukan miliknya dan hasilnya membuat teflonnya langsung hancur di baret sutil besi. Sejak itu sudah susah mempertahankan penggorengan yang saya beli cukup mahal. Kenapa saya tidak membeli penggorengan lagi? Saya bisa dibilang sudah cukup trauma dengan Teflon, maka saya masih harus menabung untuk dapat membeli penggorengan incaran saya. Bahannya bukan Teflon yang pasti, tapi kemungkinan lebih bagus daripada Teflon mengingat harganya yang cukup melangit. Memang bukan berarti penggorengan mahal adalah yang bagus, setidaknya berdasarkan pengalaman saya sebelumnya dan menilik dari riwayat penggorengan Teflon, saya masih tetap ingin memiliki penggorengan mahal itu.

Tidak sekarang, karena uangnya masih belom terkumpul. Ternyata hutang saya cukup banyak juga. Dan saya mulai harus mencicil untuk membayarnya satu-persatu. Maka harapan uang THR dan bonus tahun ini benar-benar saya tunggu agar dapat memberikan kabar gembira. Jika tidak, kemungkinan saya harus menjual beberapa perhiasan yang memang hanya saya simpan tanpa pernah saya pakai.


Rasanya masih nyut-nyutan dua jari saya ini. Dan menjijikan.
Source

Senin, 23 Juli 2012

Aku masih sakit

dan sesungguhnya mereka membuat hal-hal yang menimbulkan amarah kita
-Asy-Syu'ara [26:55]-
...

Tolong berhenti bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa! Rasanya aku ingin meledakkan saja semuanya dihadapan kalian. Gerah tahu!

Kalian ini mengaku sahabat tetapi dapat sedemikian rupa memperlakukanku di belakangku. Bagaimana aku bisa mengintrepetasikan persahabatan dengan kalian? Bagaimana bisa aku bersikap normal seperti layaknya kalian bersikap terhadapku? Menggelikan. Lucu kalian!

Tak usah berpura-pura baiklah padaku. Aku tahu kalian pun akhirnya merasa bersalah. Aku memang lebih baik diam saja. Malas rasanya harus mengungkit hal menyakitkan yang kalian telah perbuat terhadapku. Seperti kalian saja belum pernah mengalami yang rasanya di khianati oleh orang tersayang. Baiklah mungkin kalian tidak pernah mengalami, karena kalian tidak pernah menganggap penting dan agungnya persahabatan seperti aku menganggapnya. Jadi kalian mungkin akan sambil lalu saja bila ada yang begitu membuat hati kalian sakit. Atau mungkin hati kalian sudah beku?

Aku memang memilih menghindar, demi untuk menjauh dari perasaan tersakiti itu. Bagaimana aku dapat menahan sakit yang diakibatkan oleh orang yang kuanggap istimewa? Sudah selesai persahabatan ini, kalian hanya akan menjadi teman untukku. Setidaknya sampai luka ini benar-benar kalian dapat tebus. Aku telah lelah dengan luka. Jenuh.

Maka maaf. Ketika aku masih mampu merasakan sakit itu, kalian hanyalah orang biasa bagiku. Dan aku hanya akan diam sambil mencoba mendinginkan hatiku yang memanas tiap kali sapa itu melanda. Seolah-olah kita masih baik-baik saja.




Puasa hari ketiga ini saya bahkan belum sempat melakukan kebiasaan tadarus, tapi sudah mengurangi pahala lagi..
Source


Jumat, 20 Juli 2012

Behind the story

Saya tidak perlu jadi orang baik maupun orang benar
Karena saya hanya perlu menjalankan peran saya di bumi
Semampu saya
Tuhan tahu itu
-mine-
...

Sungguh saya tidak bohong jika saya pernah begitu malasnya menjalankan ibadah. Bahkan saya seringkali kalah beberapa langkah dari adik saya yang pertama. Ia begitu rajin beribadah, bahkan lebih dulu mengenakan jilbab dibanding saya. Maka ketika itu saya hanya ingin menjadi lebih baik dalam ibadah saya. Bukan ingin menyamai ataupun menjadi lebih baik dari adik saya. Ibu saya sendiri tidak pernah menyuruh saya untuk berjilbab. Entah kenapa. Tetapi beliau juga tidak pernah menekankan pentingnya beribadah kepada saya. Mungkin simbah saya yang agak terlalu mendorong saya untuk beribadah dengan takun. Simbah kakung saya, lebih tepatnya.

Ibu terlalu sibuk untuk mencari nafkah demi menyambung hidup saya yang saat itu dititipkan oleh simbah sesudah perpisahannya dengan Bapak. Maka saya lepas dari pengawasan ibu. Hanya sedikit memori yang saya ingat mengenai tinggal dengan simbah saya. Simbah kakung yang seringkali mengantarkan saya sekolah SD dengan sepeda ontelnya. Simbah putri yang yang berusaha menambah penghidupan dengan berjualan berbagai macam makanan mulai dari gado-gado sampai membuat kue.

Saya hampir tidak ingat ibu saya sering mengunjungi saya ketika saya masih tinggal bersama simbah. Satu-satunya memori hanya saat itu ibu datang dengan suaminya yang baru tanpa pernah saya ingat saya dimintai pendapat mengenai pernikahan mereka. Dan saya dibelikan sepeda agar bisa berangkat sekolah sendiri. Jadi saya tidak lagi menyusahkan simbah kakung yang sudah menjelang tua untuk mengantarkan saya dengan sepeda ontelnya. Mungkin ibu pernah bilang mengajak saya untuk tinggal dengannya, suatu waktu. Tapi saya tentu saja tidak akan begitu mudah dibujuk. Karena saya bahkan tidak tahu menahu mengenai pria yang selalu di sebelahnya itu. Tidak pernah akrab. Tidak pernah merasa berusaha untuk di akrabi. Maka bukankah saya wajar bila menolak untuk tinggal dengan orang yang tidak pernah saya kenal sebelumnya? Meskipun akan ada ibu disana.

Saya sempat begitu rajin beribadah. Saat itu ketika akhirnya saya pindah bersama ibu. Madrasah saya dari kelas 4 SD sampai kelas 5 atau 6, saya lupa. Yang pasti, pendidikan agama saya hanya saya dapatkan dari madrasah, sekolah, dan sedikit-sedikit dari rasa ingin tahu sendiri. Begitulah, ibu hampir tidak pernah ikut andil dalam kerohanian saya, juga kedua adik saya. Kami berlaku sendiri. Bahkan dalam hal belajar. Semuanya telah dibiasakan sendiri. Walau ibu begitu mahirnya mengaji dan begitu pintarnya semasa masih berada dibangku sekolah. Bahkan ketika ibu bercerita bahwa ia pernah menjabat sebagai guru ketika masih di Solo. Meski itu hanya guru TK. 

Lalu beberapa waktu belakangan ini, ibadah saya mengendur. Kepenatan di Jakarta seperti menghambat semangat saya untuk beribadah. Padahal dulu saya paling rajin untuk sekadar bangun di sepertiga malam untuk sekadar bertahajud maupun istikhoroh di kala kebingungan saya akan menentukan pilihan. Tapi itu dulu. Jakarta benar-benar telah mengubah saya. Bukan hanya dalam sifat, tetapi juga dalam kerohanian saya. Saya mulai mengendur. Shubuh yang hampir tidak pernah saya lewatkan, akhir-akhir ini bahkan seringkali dalam seminggu saya tinggalkan. Saya benar-benar mengalami yang namanya kemunduran mental dalam beribadah. Jakarta melumpuhkan saya.

Meski begitu, saya tidak sepenuhnya membenci Jakarta. Karena bagaimanapun, saya mendapatkan tambahan untuk biaya hidup karena bekerja disini. Dan masih tetap memimpikan untuk tidak lebih sering menginjakkan kaki di Jakarta. Saya harus memperbaiki diri lagi. Setidaknya ibadah saya. Karena hal lain, saya hanya perlu berbaik-baik diri. Saya percaya, pengadilan terakhir itu adalah pengadilan Tuhan. Jadi, ketika saya sudah begini baligh, sayalah yang menanggung semuanya.
..

Menjelang puasa ini, tak ada tradisi khusus yang harus dijalankan. Tak ada istilah harus saling bermaafan sebelum puasa agar puasa afdol maupun alasan lainnya. Tak ada istilah nyekar menjelang puasa. Karena simbah kakung saya tidak mengajarkan apa yang tidak dilakukan oleh Nabi Muhammad. Dan saya tahu simbah kakung saya adalah orang paling lurus dalam masa hidupnya. Maka itu saya hanya akan berpegang teguh pada ingatan simbah saya, dan juga pengetahuan yang dapat saya cari dimanapun dijaman secanggih ini.

Maka saya akan mencoba bertenang saja menjalani ibadah puasa ini. Saya hanya harus mempersiapkan diri untuk menjadi yang lebih baik. Bukan karena saya tengah mengalami kemunduran akhlaq maupun sedang durhaka. Saya adalah manusia, dan memiliki akal serta pikiran yang diberikan oleh Tuhan saya, Alloh SWT untuk saya dapat perjuangkan sebaik-baiknya. Selama apa yang saya lakukan tidaklah jauh dari dosa tak terampuni. Dan saya sungguh tidak bohong jika saya mengatakan saya masih berada di jalur saya, jalur agama yang saya pegang sejak dulu. Agama penyerahan.

Kali ini mungkin akan lebih berat dari tahun kemarin. Meski saya tidak mengelak bahwa tahun kemarin sungguh merupakan cobaan paling berat yang saya alami. Tapi saya hanya harus berjalan sekali lagi, menikmati keterseokan di jalur yang lain. Jalur yang pastinya akan lebih panjang dari kemarin.
 ...


Tuhan, setidaknya kuatkanlah aku sekali lagi. Melebihi kekuatan yang pernah Kau beri sebelumnya. Karena aku mulai merasa meringkih kembali. Tak hiraukah Engkau pada rintihanku menjelang tidurku? Tenangkanlah aku, dan orang-orang di sekelilingku. Ampunilah aku..

Dengan nama Alloh, aku bertawakkal kepada Alloh. Tiada daya upaya dan kekuatan melainkan dengan pertolongan Alloh..


Source  


Selamat menunaikan ibadah puasa..

Selasa, 10 Juli 2012

Bahagia itu sederhana?

Bahagia itu sederhana.
Bahagia itu sederhana..

Saya beberapa kali mengerjap pada status salah satu rekan kerja saya itu. Orang yang tempo hari hampir selalu ada setiap kali saya sedih. Karena saya sudah tidak memiliki Jo. Bukan saya mencari penggantinya. Toh, kemudian Jo, sendiri akan mencibir bahwa saya sudah memiliki seseorang yang akan selalu ada disamping saya selama dua puluh empat jam tujuh hari tiga ratus enam puluh lima hari.

Beberapa kali pula saya selalu merasa tidak bahagia. Mungkin lebih tepatnya belum bahagia. Jadi, bahagia itu apa ya sebenarnya? Mengapa menjadi sederhana? Saya akan mencoba menelaah sesederhana apa kebahagiaan saya.

Suatu kali saya yang biasanya bisa tangguh ini bisa begitu rapuhnya hanya karena melihat anak kecil yang sibuk hilir mudik di beberapa lampu merah untuk sekadar menerima belas kasihan dari para pengendara. Rupiah. Maka saya dapat merasakan gemuruh di dalam dada ini karena terenyuh dengan penderitaan mereka.

Lalu saya akan cepat-cepat mengganti saluran televisi yang menampilkan gambar maupun berita yang berhubungan dengan penderitaan anak-anak, entah itu mereka yang menderita penyakit yang memerlukan biaya besar untuk pengobatan, maupun yang biasanya jadi acara tetap di salah satu televisi swasta dimana seseorang digambarkan hidup dengan keadaan jauh dari cukup bahkan ketika sudah bekerja keras sekalipun.

Saya sungguh terlihat tegar dan tanpa beban di hadapan umum. Sangat sedikit sekali yang mampu melihat betapa sesungguhnya saya begitu rapuh. Mungkin tawa yang saya hadirkan itu hanyalah sebuah tameng yang saya miliki untuk melindungi sisi rapuh saya. Maka saya menghindar.

Jadi, entah apa itu bahagia. Dan entah mengapa itu menjadi begitu sederhana. Ketika yang saya lakukan lebih banyak menghindar. Karena saya sungguh tidak ingin menjadi hancur berkeping-keping hanya untuk mempertahankan apa yang saya anggap mampu membuat saya bahagia. Karena pada akhirnya, kebahagiaan itu terletak pada senyum orang lain yang kita lihat. Bukan senyum kita sendiriyang kita lihat melalui cermin.

Bahagia itu sederhana.. sesederhana apakah?



Tentu saja saya yakin akan kebahagiaan. Hanya saja, bila sederhana.. apakah yang menjadi tolak ukurnya?
Source

Rabu, 04 Juli 2012

Broken

Perhatikanlah,
Kadang kala raut wajahku berubah. Seketika tersenyum, tetapi lihatkah kau akan binar mataku yang meredup? Kadangkala aku tertawa dengan riangnya. Dan dibalik bola mata ini kesenduan tersebunyi dalam. Tanpa dapat seorang pun lihat. Dan aku akan baik-baik saja.
...


Saya sungguh tak peduli dengan omongan orang. Akan mereka bicarakan apapun tentangku menurut mereka. Tetapi sesungguhnya ucapan itu hanya berlaku saat saya tengah emosi. Sesungguhnya saya peduli. Sesungguhnya saya memikirkan. Dan sesungguhnya saya menjadi sedih. Bahwa mereka tidak pernah berani mengutarakan secara langsung apa yang mereka pikirkan tentang saya. Bahwa mereka hanya bisa bergunjing dibelakang saya. Menertawakan kebodohan saya. Kadang kala juga mencemooh keberuntungan saya.

Mereka sesungguhnya tidak tahu. Maka saya akan tetap saja pura-pura tidak tahu. Berpura-pura bahwa saya tidak mendengar ucapan tersembunyi mereka. Bertingkah seolah saya baik-baik saja. Saya memang baik-baik saja. Setidaknya itu yang ingin saya perlihatkan pada mereka.

Saya tak butuh dikasihani. Berikanlah yang selayaknya ingin kalian berikan padaku, bila itu memang yang kalian lihat pantas untuk ku dapatkan. Dan saya tidak akan melayangkan protes atau gumaman. Saya hanya ingin mencoba lebih bersyukur. Setidaknya saya hidup.

Dan tak akan saya umbar lagi seluruh kisah kelam saya pada kalian. Sudah cukup. Saya hanya akan sendirian. Mencerna baik-baik semua erangan perjalanan hidup saya. Dan mencoba menelan semua yang pahit itu sambil membayangkan manis nantinya akan datang juga. Tuhan, terlalu baik pada saya. Itu yang mereka tidak dapatkan. Hati.

...

Saya tidak tahu bagaimana seharusnya memperlakukan sahabat. Ataukah mereka yang tidak tahu bagaimana memperlakukan saya sebagai sahabat..?


Berkali-kali lagi saya kecewa, pada mereka yang saya percayai sebagai sahabat..
Source


LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...