Hanya satu kali ketika itu ibu mengatakan rindunya pada saya.
Bahwa ia tetap akan menganggap saya anak, apapun yang terjadi. Dan bahwa ia merindukan
saya. Tapi tak pernah sekalipun meminta saya untuk sekadar datang padanya. Lalu
dengan mudah ibu akan bersikap seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa
sebelumnya. Tidak pernah keluar dari mulutnya kalimat pengusiran itu. Tidak
pernah terlintas dari ingatannya perbuatan suami ibu pada saya. Maka saya
mengekor. Saya pun sekadarnya saja berkunjung. Tidak seperti pulang kerumah
karena itu sama sekali bukan rumah saya. Saya tidak pernah memiliki rumah.
Karena saya hidup menumpang disana.
Dan saya kini hidup sendiri. Memiliki tempat sendiri walau
hanya sebuah kontrakan sederhana. Memiliki peralatan masak sendiri walau lebih
banyak menguras emosi. Tetapi setidaknya saya memiliki TV dengan tayangan luar
dengan harga miring dan sebuah kulkas cantik. Juga sebuah AC hasil cicilan
sana-sini.
Saya tak ingin menyombong dengan mengatakan bahwa itu semua
adalah hasil jerih payah saya. Tentu bukan hasil jerih payah saya semata.
Karena baik suka atau tidak, saya memang bisa (katanya) sukses seperti ini
berkat ‘pengasuhan’ suami ibu. Jika tidak tanpanya mungkin saya juga tak akan
pernah memiliki kesempatan untuk ‘sempat’ berkumpul bersama ibu. Jadi, saya
memang belum bisa begitu saja menerimanya lagi. Seperti saya pernah usahakan untuk
menerimanya dulu. Tapi saya juga tidak terlalu membencinya. Karena cukuplah
keadaan seperti ini saja untuk saya sementara ini. Saya tidak harus sering
berinteraksi dengannya. Tidak harus tetapi menjadi suatu hal yang canggung jika
saya ingin sekadar mengunjungi ibu disana.
Rumah itu tak pernah saya anggap sebagai tempat saya
dibesarkan. Karena saya tak pernah merasa dapat bebas disana. Tidak dengan
segala perlakuan yang pernah saya terima. Sampai masa pengusiran itu. Saya
telah berubah. Banyak. Dan saya rasa inilah saya yang sebenarnya. Meski masih
tetap dengan mudahnya akan menangis bila saya sangat rindu pada ibu seperti
saat ini. Tapi setidaknya saya sudah tidak mungkin dipaksa lagi untuk melakukan
sesuatu yang saya tidak mau lakukan. Atau untuk sekadar bersikap sesuai dengan
kemauan ibu. Saya sudah dewasa. Dan saya sudah sendiri dengan hidup saya. Bukan
saya senang. Saya hanya merasa sedikit bebas. Meski belum bebas seperti yang
saya bayangkan. Setidaknya saya bisa dengan bebas mengenakan pakaian yang saya
mau saat dirumah. Tanpa perlu risih diperhatikan olehnya.
Jadi, ya.. ibu tidak meminta saya untuk datang meski ini
adalah ramadhan. Sama seperti ibu tidak pernah
memberitahu saya mengenai rencana nyekar
simbah kakung jika saya tidak bertanya mengenai kemungkinan ibu dirumah
sabtu tempo hari lalu. Padahal dengan blackberry yang ibu sudah miliki, saya
rasa tidak sulit sekadar untuk ‘membicarakan’ rencana tersebut alih-alih
membiarkan saya terkaget-kaget dengan keterangan ibu sudah ada dalam perjalanan
ke Bekasi untuk nyekar. Kemudian saya
jadi kena salah karena saya tidak ingat bahwa sebelum puasa ada tradisi nyekar.
Tentu saja saya berang. Sejak kapan ada tradisi nyekar sebelum puasa dalam keluarga?
Simbah Kakung tidak pernah membahas hal tersebut. Artinya tidak pernah dianjurkan.
Bahkan tak ada ceritanya rasul juga melakukan tradisi nyekar. Maka sedikit saya ceramahi bude saya. Saya suruh bude saya
cari tahu darimana itu asalnya nyekar kalau
bukan karena tradisi adat saja. Saya agak keras karena saya kesal tidak
diberitahu kunjungan itu, juga karena kemudian saya jadi kena kesalahan atas
rutinitas yang tidak pernah dilakukan sebelumnya. Jika saya dibilang tidak
pernah ingat simbah kakung saya, coba tanyakan padanya apa saya tidak pernah
sekalipun membahas mengenai simbah kakung saya pada setiap peristiwa yang
membuat saya ingat pada simbah kakung saya itu. Bahkan tanggal meninggalnya
almarhum pun saya masih hapal diluar kepala. Benar-benar sembarangan bude saya
itu.
Saya mungkin memang akan jarang menengok ibu. Karena ibu
sepertinya juga tidak ingin sering-sering bertemu saya meski kini saya tinggal
tak jauh dari tempatnya tinggal. Bahkan bertandang ke tempat tinggal saya pun
harus saya tanyakan berkali-kali. Mungkin saya juga harus diam mengikuti sikap
ibu. Dan kemudian menjadi berpura-pura tidak terjadi apapun ketika kami
akhirnya berkumpul. Keluarga ini.. entah apa yang salah. Terlalu banyak
kepura-puraan. Tak heran saya jadi seperti ini.
…
Di kala datang hari itu, tidak ada seorangpun yang berbicara,
melainkan dengan izin-Nya; maka di antara mereka ada yang celaka dan ada yang berbahagia [11:105]
Mana mungkin saya masuk jika tak pernah diajak masuk? Source |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar