Jumat, 27 Juli 2012

Sore yang galau


Hanya satu kali ketika itu ibu mengatakan rindunya pada saya. Bahwa ia tetap akan menganggap saya anak, apapun yang terjadi. Dan bahwa ia merindukan saya. Tapi tak pernah sekalipun meminta saya untuk sekadar datang padanya. Lalu dengan mudah ibu akan bersikap seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya. Tidak pernah keluar dari mulutnya kalimat pengusiran itu. Tidak pernah terlintas dari ingatannya perbuatan suami ibu pada saya. Maka saya mengekor. Saya pun sekadarnya saja berkunjung. Tidak seperti pulang kerumah karena itu sama sekali bukan rumah saya. Saya tidak pernah memiliki rumah. Karena saya hidup menumpang disana.

Dan saya kini hidup sendiri. Memiliki tempat sendiri walau hanya sebuah kontrakan sederhana. Memiliki peralatan masak sendiri walau lebih banyak menguras emosi. Tetapi setidaknya saya memiliki TV dengan tayangan luar dengan harga miring dan sebuah kulkas cantik. Juga sebuah AC hasil cicilan sana-sini. 

Saya tak ingin menyombong dengan mengatakan bahwa itu semua adalah hasil jerih payah saya. Tentu bukan hasil jerih payah saya semata. Karena baik suka atau tidak, saya memang bisa (katanya) sukses seperti ini berkat ‘pengasuhan’ suami ibu. Jika tidak tanpanya mungkin saya juga tak akan pernah memiliki kesempatan untuk ‘sempat’ berkumpul bersama ibu. Jadi, saya memang belum bisa begitu saja menerimanya lagi. Seperti saya pernah usahakan untuk menerimanya dulu. Tapi saya juga tidak terlalu membencinya. Karena cukuplah keadaan seperti ini saja untuk saya sementara ini. Saya tidak harus sering berinteraksi dengannya. Tidak harus tetapi menjadi suatu hal yang canggung jika saya ingin sekadar mengunjungi ibu disana.

Rumah itu tak pernah saya anggap sebagai tempat saya dibesarkan. Karena saya tak pernah merasa dapat bebas disana. Tidak dengan segala perlakuan yang pernah saya terima. Sampai masa pengusiran itu. Saya telah berubah. Banyak. Dan saya rasa inilah saya yang sebenarnya. Meski masih tetap dengan mudahnya akan menangis bila saya sangat rindu pada ibu seperti saat ini. Tapi setidaknya saya sudah tidak mungkin dipaksa lagi untuk melakukan sesuatu yang saya tidak mau lakukan. Atau untuk sekadar bersikap sesuai dengan kemauan ibu. Saya sudah dewasa. Dan saya sudah sendiri dengan hidup saya. Bukan saya senang. Saya hanya merasa sedikit bebas. Meski belum bebas seperti yang saya bayangkan. Setidaknya saya bisa dengan bebas mengenakan pakaian yang saya mau saat dirumah. Tanpa perlu risih diperhatikan olehnya. 

Jadi, ya.. ibu tidak meminta saya untuk datang meski ini adalah ramadhan. Sama seperti ibu tidak pernah  memberitahu saya mengenai rencana nyekar simbah kakung jika saya tidak bertanya mengenai kemungkinan ibu dirumah sabtu tempo hari lalu. Padahal dengan blackberry yang ibu sudah miliki, saya rasa tidak sulit sekadar untuk ‘membicarakan’ rencana tersebut alih-alih membiarkan saya terkaget-kaget dengan keterangan ibu sudah ada dalam perjalanan ke Bekasi untuk nyekar. Kemudian saya jadi kena salah karena saya tidak ingat bahwa sebelum puasa ada tradisi nyekar

Tentu saja saya berang. Sejak kapan ada tradisi nyekar sebelum puasa dalam keluarga? Simbah Kakung tidak pernah membahas hal tersebut. Artinya tidak pernah dianjurkan. Bahkan tak ada ceritanya rasul juga melakukan tradisi nyekar. Maka sedikit saya ceramahi bude saya. Saya suruh bude saya cari tahu darimana itu asalnya nyekar kalau bukan karena tradisi adat saja. Saya agak keras karena saya kesal tidak diberitahu kunjungan itu, juga karena kemudian saya jadi kena kesalahan atas rutinitas yang tidak pernah dilakukan sebelumnya. Jika saya dibilang tidak pernah ingat simbah kakung saya, coba tanyakan padanya apa saya tidak pernah sekalipun membahas mengenai simbah kakung saya pada setiap peristiwa yang membuat saya ingat pada simbah kakung saya itu. Bahkan tanggal meninggalnya almarhum pun saya masih hapal diluar kepala. Benar-benar sembarangan bude saya itu.

Saya mungkin memang akan jarang menengok ibu. Karena ibu sepertinya juga tidak ingin sering-sering bertemu saya meski kini saya tinggal tak jauh dari tempatnya tinggal. Bahkan bertandang ke tempat tinggal saya pun harus saya tanyakan berkali-kali. Mungkin saya juga harus diam mengikuti sikap ibu. Dan kemudian menjadi berpura-pura tidak terjadi apapun ketika kami akhirnya berkumpul. Keluarga ini.. entah apa yang salah. Terlalu banyak kepura-puraan. Tak heran saya jadi seperti ini.

Di kala datang hari itu, tidak ada seorangpun yang berbicara, melainkan dengan izin-Nya; maka di antara mereka ada yang celaka dan ada yang berbahagia [11:105]


Mana mungkin saya masuk jika tak pernah diajak masuk?
Source



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...