Selasa, 31 Juli 2012

Cerita sahur


Ada beberapa hari dimana setiap Ramadhan tiba kami akan telat untuk sahur. Biasanya ibu bangun sahur di awal-awal bulan puasa. Menyiapkan makanan dengan dibantu saya, dan kedua adik saya. Si kecil biasanya memang yang paling jarang bisa membantu menyiapkan menu sahur karena ia begitu susah dibangunkan untuk sahur. Maka biasanya yang lebih sering turun tangan adalah ibu, saya dan adik saya nomor satu. Tapi seperti yang saya bilang, biasanya ibu hanya bangun di awal-awal bulan puasa. Mungkin tidak lebih dari seminggu. Karena selebihnya, entah kelelahan karena harus tetap bekerja pada siang hari, atau karena kebiasaan insomnianya yang membuatnya masih mengantuk untuk bangun sahur, ibu hampir tidak akan pernah lagi bangun untuk menyiapkan sahur.

Jika sudah demikian, biasanya saya yang turun ke dapur untuk sekadar menghangatkan menu sahur sisa buka puasa sebelumnya atau menambah menu dengan menggoreng beberapa makanan beku yang ada di lemari es. Lalu setelah semuanya siap, maka saya akan membangunkan para penghuni rumah satu-persatu. Mengetuki pintu kamar dan membangunkan adik-adik saya. Biasanya yang paling susah dibangunkan ya adik saya yang paling kecil itu.

Kalau ibu, biasanya di hari-hari berikutnya akan jarang sahur. Paling makan tapi sedikit. Tapi tak jarang ibu tidak sahur dan hanya minum air putih saja. Lalu tidur lagi. Bisa dibilang kehangatan sahur pada keluarga itu hanya terdapat di hari-hari pertama puasa saja. Selebihnya sudah seperti masing-masing. 

Terkadang saya biarkan saja mereka nyenyak dalam tidur mereka ketika saya terbangun untuk sahur. Saya tidur lagi. Lalu suami ibu akan sesekali membantu menyiapkan sahur dan membangunkan kami. Tapi ia pun bukanlah mualaf yang rajin. Berpuasa hanya pada awal-awal nya saja karena kemudian akan mengeluh kelelahan karena pekerjaannya yang membutuhkan tenaga dan ia bukanlah orang yang mampu menahan lapar dan haus.

Pernah saya biarkan saja waktu sahur berlalu begitu saja sampai akhirnya ada yang berteriak bahwa kami telah telat sahur. Ketika melihat jam, ternyata sudah masuk waktu imsak. Maka kami akan buru-buru mencari apa saja untuk dapat digunakan sebagai pengganjal perut selama sehari nanti. Biasanya saya paling hanya melahap air putih sebanyak-banyaknya. Tidak akan ada yang mau repot menyiapkan hidangan sahur di waktu yang mepet itu. Bahkan kami juga pernah terbangun karena adzan shubuh. Yang mana artinya bahwa kemungkinan besar waktu sahur sudah tidak mungkin sempat lagi. Maka ketika adzan itu kami hanya meneguk air semampunya.

Begitulah. Saya teringat masa-masa itu. Dimana jika saat ini saya tidak disana. Akankah ibu juga masih hanya akan bangun sahur dan menyiapkan sahur di awal-awal puasa saja, dan selebihnya membiarkan yang lainnya mencari cara sendiri untuk mengganjal perut selama menjalankan ibadah puasanya. Kadang saya kesal karena ibu seperti acuh saja dengan kebutuhan kami. Meskipun saya akui kami memang sudah cukup besar dan mampu dengan mandiri menyiapkan kebutuhan kami. Tentu maksudnya bukan hanya itu. Maksudnya adalah kebersamaan itu. Bahwa melakukan apapun dengan keluarga adalah yang paling menyenangkan. Apalagi di bulan Ramadhan dimana suasana paling kental kentara adalah kebersamaannya.


-       Suatu hari ketika saya telat sahur


Source

Ps. Jari tangan saya sudah baik saja. Sudah bisa digunakan untuk menulis dan mengetik normal. Sebelumnya, bahkan untuk menekuk saya tidak bisa.. Thank God.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...