Ada beberapa hari dimana setiap Ramadhan tiba kami akan
telat untuk sahur. Biasanya ibu bangun sahur di awal-awal bulan puasa.
Menyiapkan makanan dengan dibantu saya, dan kedua adik saya. Si kecil biasanya
memang yang paling jarang bisa membantu menyiapkan menu sahur karena ia begitu
susah dibangunkan untuk sahur. Maka biasanya yang lebih sering turun tangan
adalah ibu, saya dan adik saya nomor satu. Tapi seperti yang saya bilang,
biasanya ibu hanya bangun di awal-awal bulan puasa. Mungkin tidak lebih dari
seminggu. Karena selebihnya, entah kelelahan karena harus tetap bekerja pada
siang hari, atau karena kebiasaan insomnianya yang membuatnya masih mengantuk
untuk bangun sahur, ibu hampir tidak akan pernah lagi bangun untuk menyiapkan
sahur.
Jika sudah demikian, biasanya saya yang turun ke dapur untuk
sekadar menghangatkan menu sahur sisa buka puasa sebelumnya atau menambah menu
dengan menggoreng beberapa makanan beku yang ada di lemari es. Lalu setelah
semuanya siap, maka saya akan membangunkan para penghuni rumah satu-persatu.
Mengetuki pintu kamar dan membangunkan adik-adik saya. Biasanya yang paling
susah dibangunkan ya adik saya yang paling kecil itu.
Kalau ibu, biasanya di hari-hari berikutnya akan jarang
sahur. Paling makan tapi sedikit. Tapi tak jarang ibu tidak sahur dan hanya
minum air putih saja. Lalu tidur lagi. Bisa dibilang kehangatan sahur pada
keluarga itu hanya terdapat di hari-hari pertama puasa saja. Selebihnya sudah
seperti masing-masing.
Terkadang saya biarkan saja mereka nyenyak dalam tidur
mereka ketika saya terbangun untuk sahur. Saya tidur lagi. Lalu suami ibu akan
sesekali membantu menyiapkan sahur dan membangunkan kami. Tapi ia pun bukanlah
mualaf yang rajin. Berpuasa hanya pada awal-awal nya saja karena kemudian akan
mengeluh kelelahan karena pekerjaannya yang membutuhkan tenaga dan ia bukanlah
orang yang mampu menahan lapar dan haus.
Pernah saya biarkan saja waktu sahur berlalu begitu saja
sampai akhirnya ada yang berteriak bahwa kami telah telat sahur. Ketika melihat
jam, ternyata sudah masuk waktu imsak. Maka kami akan buru-buru mencari apa
saja untuk dapat digunakan sebagai pengganjal perut selama sehari nanti.
Biasanya saya paling hanya melahap air putih sebanyak-banyaknya. Tidak akan ada
yang mau repot menyiapkan hidangan sahur di waktu yang mepet itu. Bahkan kami
juga pernah terbangun karena adzan shubuh. Yang mana artinya bahwa kemungkinan
besar waktu sahur sudah tidak mungkin sempat lagi. Maka ketika adzan itu kami
hanya meneguk air semampunya.
Begitulah. Saya teringat masa-masa itu. Dimana jika saat ini
saya tidak disana. Akankah ibu juga masih hanya akan bangun sahur dan
menyiapkan sahur di awal-awal puasa saja, dan selebihnya membiarkan yang
lainnya mencari cara sendiri untuk mengganjal perut selama menjalankan ibadah
puasanya. Kadang saya kesal karena ibu seperti acuh saja dengan kebutuhan kami.
Meskipun saya akui kami memang sudah cukup besar dan mampu dengan mandiri
menyiapkan kebutuhan kami. Tentu maksudnya bukan hanya itu. Maksudnya adalah
kebersamaan itu. Bahwa melakukan apapun dengan keluarga adalah yang paling
menyenangkan. Apalagi di bulan Ramadhan dimana suasana paling kental kentara
adalah kebersamaannya.
-
Suatu hari
ketika saya telat sahur
Source |
Ps. Jari tangan saya sudah baik saja. Sudah bisa digunakan untuk menulis dan mengetik normal. Sebelumnya, bahkan untuk menekuk saya tidak bisa.. Thank God.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar