Senin, 31 Oktober 2011

Mengenai itu..

Mengenai hatiku
Source

 
Dan bahwasanya membuat orang lain percaya itu tidak mudah, benar adanya. Pernah kukatakan padamu, dalam ruang bernama ‘berbagi’, bahwa untuk membuatku percaya, kau harus lakukan itu lebih dulu padaku. Sedang setiap kalimat manis yang kau ucap kemudian kutemukan jejak yang berakhir pada ketidakmampuanmu menjaga mulutmu agar sesuai dengan langkahmu. 

Kau. Kemudian belum lagi aku sempat membuat kokoh bangunan yang hendak kupaksakan untuk berdiri, kembali meluruh. Ruang itu kembali lembab, sembab oleh kekecewaan. Kau. Yang untuk kesekian kalinya membuatku takut. Bahkan untuk sekedar mengamankan pikiranku dari segala macam tanya yang tak mampu kau tahan untuk dapat muncul dalam kepalamu.


Pernah kau tebarkan dengan manis dan penuh janjia mengenai pribadiku yang akan kau jaga, utuh. Namun kutemukan berserakan bekas dari pribadiku yang kau jaga itu, pada orang lain. Bukan satu. Bukan dua. Bukan juga tiga. Kau. Meninggalkan berbagai jejak mengenai pribadiku yang seharusnya kau jaga rapat dalam ruang pikiranmu dan keteguhan hatimu sebagai pria dalam kehidupanku, begitu mudahnya. Kau. Lagi-lagi hanya meninggalkan ruang gelap dalam sudut hatiku. Ketakutanku.

Aku menghargaimu, sebagai sosok yang kini ada dalam kehidupanku. Berusaha berlaku semampuku menerima reruntuhan puing yang telah kau dan orang-orang yang menyayangimu telah perlahan bobol. Tembok keangkuhan yang kau bilang itu, tembokku, yang telah perlahan-lahan kau paksa untuk kau lubangi hanya untuk menciptakan sebuah pintu untukmu masuk. Atas nama kepercayaan. Aku yang tak pernah hirau akan hiruk pikuk yang kau ributkan dibelakangku, harus begitu membelalakkan mata akan apa yang akhirnya terbentang di depanku. Bahwa lidah selamanya akan menjadi senjata paling mematikan bagi manusia. 

Begitu akhirnya serta merta garam yang telah kau tebarkan itu, bersama dengan wanita tersayangku, atas nama sayang, coba untuk kau lupakan? Lalu  bagaimana dengan taburan garam yang terlanjur menyatu dengan air laut itu? Siapa yang dapat memisahkan butiran garam yang telah melarut menjadi satu dengan cairan asin maha luas itu? Tuhan? Aku tidak membela siapapun, tidak pun diriku sendiri. 

Aku salah. Dan kuakui Mengakui. Namun untuk garam yang sudah terlanjur tertabur, untuk pribadiku yang sudah terlanjur kau sebar begitu mudahnya, siapa yang akan bertanggung jawab untuk derita yang terasa? Untuk hati yang terlanjur terluka? Jika memang itu yang kau butuhkan untuk menyetarakan sakit yang kuakibatkan untukmu, maaf, rasanya terlalu jauh untuk disetarakan. Aku bersalah. Namun bukan garam yang ku tebar, aku hanya menancapkan sebilah pisau tepat dihatimu, dan tidak menarik deretan pisau itu menjadi sebuah luka yang menganga dimana setiap orang dapat menaburkan perasan lemon untuk menambahkan sakitnya. Aku cukup tahu diri. Dan menutup mulutku untuk tidak menyebarkan garam kemanapun, bahkan kepangkuan kaki yang mampu membukakan pintu surge untukku. Ibuku.

Kini, kau tahu semua. Kau tahu apa yang kubuat kepadanya dalam bias makna bahwa aku memutuskan mengalihkan padangan hanya padamu. Membiarkannya menelan luka yang sempat menguak karenaku. Membuatnya menahan kembali sakit yang entah kapan akan mendapat penawarnya. Membiarkannya melebur dalam berbagai macam pikiran, bahwa aku memperlakukanmu lebih baik darinya yang remuk redam dalam gelapnya.
Kini, kau, yang kau sebut penoreh luka itu telah kuusir jauh. Kubiarkan larut dalam pikirannya membenciku. Kubiarkan siksa itu ikut meleburku, dalam keterseokannya menatapi satu persatu jejakku yang perlahan mengabur, lalu menghilang. Membiarkannya membangkitkan dirinya sendiri kembali, menariki setiap kenangan yang telah terlampui menyita seluruh benaknya. Tentangku, dan kau.

Kubiarkan pikirannya melayang membayangkan betapa aku memilihmu, senantiasa menebarkan senyum kepada siapapun, memamerkan tembok luka yang dengan paksa kutambal senyum. Senyum yang akan terlihat begitu berbeda. Yang mampu kau baca bahkan dengan mata telanjangmu.
Aku  bersamamu. Berada disampingmu. Bahkan mencoba membangun kembali tembok kepercayaan yang perlahan kau bolongi. Mencoba membuat sendiri tambalan untuk mengisi tiap kosong itu. Mencoba. Hal yang bahkan akan kau perlakukan luar biasa seolah aku adalah seorang murtad yang yang kemudian insyaf. Yang harusnya menangis meraung menciumi kaki bumi, bahkan demi mendapatkan surga. Aku. Yang kau sebut ego itu, yang semestinya mampu kau jaga dalam nama kasih yang serta merta kau bisikkan di telingaku tiap saat itu, begitu ketakutan. 

Aku meringkih. Bergetar karena sakit yang ku coba tahan. Berusaha membersihkan perih dalam balutan air mata. Bahkan untuk setiap tangis yang tak mampu meluruh melalui manik mataku. Bukan saatnya menangis. Aku tak punya waktu untuk menangis. Bahkan untuk perasaanku yang kau tahu tak sepenuhnya untukmu. 

Hati ini. Mungkin untukmu. Juga untuknya. Sedang sisanya telah kubagi untuk sepasang kaki yang mampu membukakan pintu surga untukku. Sepasang kaki yang entah kapan akan mengerti, bahwa yang kubutuhkan hanyalah berdiri disampingku, bukan untuk menunjukkan jalan padaku, bukan untuk menuntunku menemukan jalanku, bukan juga untuk memberitahuku apa yang harus kulakukan. Tapi sepasang kaki yang mampu ada tuk senantiasa terus mendampingi dalam setiap keterpurukan dan kekalutanku. Sepasang kaki yang mampu membantuku berdiri dalam setiap kali terperosok, dan tersenyum. Mengatakan bahwa aku baik-baik saja, lalu tersenyum. Itu saja. Tidak lebih.
Lalu bila aku telah membiarkan diriku menghapus separuh hati yang kau tahu taka da dirimu disana, akan mulai kau menunjukkan sebuah alat tulis untukku menuliskan namamu di dalam ruang hatiku yang separuh itu. Akan mulai kau mendengungkan perlahan-lahan setiap rencanamu, keinginanmu, kebutuhanmu, dan apapun yang mampu kau buat untukku agar seperti pandanganmu akan seorang wanita yang mampu mengisi kehidupanmu.

Lalu jika kau masih dapat membiarkan hati dari masa lalumu untuk terus mengintip kehidupanmu, beberapa saat bertegur sapa, berbagi berbagai cerita, mengapa aku harus membuang separuh hati yang tak ada kau didalamnya? Karena ia adalah kesalahan yang kuseret untuk ikut hadir dalam hidupmu, yang membuatmu tak mampu memiliki hatiku seutuhnya? Cobalah sedikit, sejenak, kau intip bayanganmu, perlahan meratapi setiap detail bayangan pada cermin itu. Yang sosoknya sangat amat mirip denganmu, adakah gurat kesalahan disana? Ataukah wajah itu begitu mulusnya tanpa cela? 

Aku. Membiarkannya menelan semua amarahku terhadapmu. Begitu sama halnya aku membuatmu menelan semua amarahku terhadapnya. Lalu kalian akan melampiaskan kesal satu sama lain padaku. Membiarkanku menerima semua hantaman kesal tanpa dapat kupantulkan kembali. Karena aku salah. Aku yang memulai. Aku yang dengan sengaja menempatkan hatiku dalam lumpur salah. Hatiku, tak pernah salah. Akulah, yang kebetulan memilikinya untuk sementara, yang salah. Aku tak terkontrol. Kau. Dan juga kamu. Terseret oleh ego yang kubangun. Kubiarkan terluka oleh ketidakmampuanku mengontrol hatiku.

Saat ku biarkan diriku dibenci olehmu, membuatmu kembali terluka, terjerambab dalam lubang yang sama. Kehilangan arah. Masa depan yang menggelap. Aku. Tersuruk dalam sudut dimana tak mampu bangkit membela diri. Terlalu banyak yang kubiarkan terluka. Terlalu banyak yang kubiarkan menggelepar dalam benak penuh tanda tanya. Aku. Yang bersalah.
Maka, jika akhirnya kau menuntutku untuk menjadi maumu, memaksaku melupakan separuh hati yang tak mampu kau miliki, aku minta maaf. Bahkan untuk rentang waktu yang tak mampu ku perkirakan, separuh hati ini mungkin akan selalu miliknya. 

Dan bila kau memang benar memiliki hati itu sepenuhnya untukku, aku tak akan meminta apapun. Aku berterima kasih. Kau yang selalu menempatkan diriku teristimewa lewat kalimat yang kau ucap. Kau yang telah berusaha maksimal demi menciptakan masa depan bahagia. Kau yang telah menerjang berbagai anggapan mengenai pribadiku, dengan begitu tegarnya. Saat nanti kau tak mampu lagi melihatku dengan separuh hati ini, dimana masa depan yang kau impikan itu tidak dapat berjalan sebagaimana kau harapkan, aku mungkin hanya bisa menahan tangis. Mungkin suatu saat, meskipun aku hanya menyediakan separuh hatiku padamu, saat kau akhirnya tak ada, aku akan merindukanmu. Pun, bila saat ini aku memutuskan untuk mencoba bersamamu, kau pun akan kehilangan sabar itu untuk menghadapiku. Demikian seperti contoh yang kau ingin berikan padaku, saat kalimatmu tak mampu kau bawa bersamaan dengan langkahmu. Kau kembali akan kehilangan kepercayaanku. Dan aku hanya akan terperosok dalam lubang yang sama, dalam tangis tertahan. Tanpa mampu menyesali.

Dan bila kamu, yang kubiarkan terluka sendirian disana akhirnya membenciku. Aku terima. Aku minta maaf telah membiarkanmu terbuang, terluka, tanpa sempat mendengar sedikitpun gema dari suaraku. Aku. Yang bersalah telah menjadikanmu demikian rela berjuang demi kebahagiaan. Impianmu. Impianku. Bagaimana kamu, yang telah demikian berjuang demi aku. Bagaimana kamu, yang demikian menetapkan hati, untukku. Kamu. Yang pada akhirnya hanya dapat menelan perih melalui hatimu yang telah kucabik. Kusakiti. Bahkan untuk sekedar tegur sapa selayak kita pertama bertemu. Persahabatan.
Aku. Kau. Kamu. Bahkan tak akan dapat menemukan satu nama untuk menggambarkan lingkaran yang mengikat kita. Tak ada persahabatan. Tak ada hati. Kau yang tak mungkin mampu mengubur benci. Kamu yang tak mungkin mengubur benci. Dan aku, yang terjebak didalam permainan hati. Aku yang bersalah. Menyakiti, lalu lari tak bertanggung jawab. Bahkan untuk sekedar menjaga hubungan persahabatan yang mengawali kesadaran akan perasaan. Aku. Yang begitu jahat. Yang tak mampu menggambarkan sebuah garis batas bahkan untuk sekedar memberi pengertian bahwa aku mungkin akan melepasmu, dan menelan diri dalam dilemma, keluargamu, keluargaku, lingkunganmu, lingkunganku. Aku. Dan kau. Bukan aku. Dan kamu. Pernah bila aku melihat kalimat indahmu, bahwasanya karena kau mencintaiku, maka kau akan mencontohkan yang baik untukku, agar kelak kau mampu menjadikanku lebih baik menurut agama, bukan menurut pikiranmu. Aku ingin lihat. Bahkan bila kau tetap bersikeras menolak kehadirannya yang kupaksakan untuk bernaung dibawah sebutan sahabat, dalam kehidupanmu yang didalamnya termasuk kehidupanku. 

Jadi begitulah ratapan yang ingin kusampaikan. Terlepas apakah kau, atau kamu, akan mungkin membaca. Mengetahui bahwa aku membagi hatiku, bahkan tanpa sadar tidak memiliki ruang untuk diriku sendiri. Aku. Yang tertelan dilemma. Dalam ketakutan yang kau perlahan patri. Dalam sayang yang terbentuk dari separuh hatiku. Aku. Yang tersekat kata. Dalam ketakutan akan kehilangan. Bahkan untuk menyebutmu sahabat. Bahkan untuk sekedar bersapa, dalam balut basa-basi belaka. Dalam kepedulian atas nama sahabat. Yang tak akan pernah dapat kau terima. Aku. Kamu. Akan selamanya terjebak dalam pikiran yang kau buat sendiri. Dan tak mampu kubantah. Tak mampu. Karena ketidakmampuanku. Yang membuatmu terlalu banyak berkorban untukku. Aku pantas jika akhirnya kamu membenciku. Jikapun akhirnya awal yang baik itu berakhir dengan buruk, semua salahku. Bencilah aku, tak akan ku sanggah. Aku yang bersalah. 

Aku yang melemah, merapuh, dan meringkih dalam gempuran mereka yang menyayangiku. Dalam naungan kalimat manis dan sikap yang masih kucoba cerna. Aku yang bingung dan kehilangan sorot lampu itu. Tak mampu melihat, sulit mendengar, bahkan setiap kata yang kini tercekat dalam tenggorokkan dan tak mampu kusampaikan. Aku. Yang kini meminta belas kasihan kalian yang menyayangiku. Tunjukkanlah padaku, kalimat yang sejalan dengan langkah. Bayangan yang serupa dengan siluet. Bahkan tapak yang simetris dengan kaki. Aku. Yang menunggu. Dalam sudut diam nan buram. Meraba. Masa depan.

Rabu, 26 Oktober 2011

Saat simbah sakit

Cepat sembuh ya mbah! :*
Source

Simbah saya sakit. Minggu pagi saya dikejutkan dengan rentetan missed call dan sms pada telepon genggam saya yang berisi tentang kondisi mbah yang kurang baik. Saya, yang saat itu masih setengah sadar langsung terlonjak kaget dan berangkat menemui simbah. 


Kondisinya memang tidak baik. Saya harus berusaha keras menyembunyikan tangis saya. Beberapa kali saya harus menghindari tatapan mata saya dan simbah. Entah, saya merasa akan begitu cengeng bila terus menatap simbah. Saya begitu menyayanginya. Melihatnya dalam keadaan seperti itu rasanya membuat saya takut dan sedih. Rasanya tidak ingin melihatnya harus menahan sakit.

Saya sempat limbung, tapi tidak boleh menunjukkan kondisi saya yang juga melemah. Melihatnya seperti itu membuat saya ikut sakit dan lemas. Saat itu saya hanya dapat menahan air mata saya agar tidak jatuh. Bukan waktunya untuk menangis. Jadi saya hanya dapat menghibur simbah. Mengoleskan krim pereda nyeri pada kakinya. Simbah saya, terlihat begitu lemah saat itu.
___________

Kemarin saya menghubungi simbah dan menanyakkan kabarnya. Walau adik saya sudah memberikan informasi mengenai kesehatan simbah, saya juga ingin mendengar suara beliau. Gula darah beliau melonjak begitu tinggi sehingga mempengaruhi kondisi nya. Sepertinya simbah memang harus kembali ke rumah agar lebih bisa terkontrol kondisi kesehatannya.

Jumat, 21 Oktober 2011

Oktober

Source

Dulu, ketika masa depan belum terlihat, sepasang remaja mungkin tidak akan pernah terfikirkan untuk menjalani masa seperti sekarang. Perasaan itu mengalir indah menelusur setiap serat nadi dalam darah. Menghadirkan aroma wangi yang khas. Rona wajah berseri. Tawa canda menghias setiap jengkal sudut raut wajah. Dan binar mata itu masih begitu indahnya bersinar. Namanya cinta. 


Gadis itu begitu mempesona. Senyumnya merekah hadir setiap saat. Tatapan matanya melembut menghanyutkan siapapun yang menatap. Pembawaannya mampu membuat dunia ikut tertawa. Sosoknya yang menjulang semampai membuat siapapun tak akan melewatkan figurnya. Kesukaannya mungkin biasa, tertawa dan menghadirkan empati. Dan merah mungkin warna yang tepat untuknya. Warna yang khas menandakan semangat meletup tak pernah karam. Merah. Mungkin memang nama yang tepat untuknya.

Dan tak heran ada seorang laki-laki yang berjiwa ksatria yang kemudian tertarik padanya. Pesona ksatria ini memang sulit di pandang hanya dengan sebelah mata. Terlihat jelas kemurnian jiwanya dalam sosoknya yang sederhana. Terhampar jelas kelapangan dadanya dalam pembawaannya yang kharismatik. Ksatria ini. Dan cinta si merah.

Singkat cerita, pertemanan itu akhirnya memunculkan perasaan tersendiri. Dan mudah ditebak, ksatria itu yang akhirnya mampu meluluhkan hati si gadis berbaju merah. Indah mengecap naungan bahagia panah cupid selama bertahun-tahun, rupanya belum mampu mengibaratkan kuatnya ikatan yang ada pada mereka. Gadis merah mengecewakan ksatria yang tengah berusaha mewujudkan mimpi masa depan bersama. Gadis merah merayap meninggalkan ksatria melalui lubang pada sudut hatinya. Menghambur ke dalam pelukan pemuda dengan kuda putihnya dalam istana megah.

Ksatria merah terpana, mendapati gadis merahnya pergi. Meninggalkan sobekan besar dalam rajutan benang yang tengah disulam bersama, dalam janji masa depan. Perlahan dalam terseok, ksatria itu menerima kepergian gadis merah. Menyimpan segala luka yang menganga begitu lebarnya rapat-rapat. Sendiri. Meninggalkan semua. Mencari tempat baru dengan harapan baru. Namun ternyata cupid tidak begitu saja mencabut panah yang pernah ditancapkan di hatinya. Sisa panah itu masih menancap tajam membekas di hati ksatria untuk gadis merah itu. Lama dan tak tentu, gadis merah tetap muncul dalam setiap pejam mata. Tak mudah melupakan pesona yang telah menancap bersamaan dengan panah cupid.

Kenangan itu bukan lagi hanya dalam ingatan karena telah menyatu dalam setiap nadi darahnya. Kebersamaan itu bukan lagi hanya menjadi bayangan karena begitu lekat menempel pada setiap sel ingatan. Bulan ini, oktober. Bulan dimana ksatria akan harus berusaha sekuat tenaga untuk menghapus setiap inci bayangan gadis merah yang entah bagaimana akan menatapnya kembali. Atau bahkan bulan untuk kembali menguatkan ingatan akan masa-masa indah, sebelum masa depan itu terbentang nyata dalam semesta pandang.

Oktober tahun ini. Akankah dengan mudah dilewati ksatria, atau bahkan akan menjadi bulan yang selamanya tak akan pernah menjadi buram dalam ingatannya? Bahkan tak kuasa tak menahan ucapan saat tahun lalu dilanda ingatan. Hari besar, hari istimewa. Beruntungnya gadis merah itu. Ksatrianya terlalu setia. Entah bagaimana memberitahunya bahwa ksatrianya senantiasa menanti. Bahkan dalam setiap luka yang sempat ditorehkan olehnya, sang merah. Bulan ini.. Oktober.



***
Bagaimanapun, "Selamat ulang tahun.."

Senin, 17 Oktober 2011

Selamat ulang tahun, adikku!

Me and my little sister :D
Source

Suatu hari ibu datang dengan seorang pria, dan juga anak kecil. Bayi. Mungkin balita. Aku kurang ingat. Samar aku mencoba menarik kembali garis buram pada kertas kehidupanku saat itu. Mungkin aku yang masih terlalu kecil yang membuatku sulit mengerti. Mengapa ibu datang bersama orang yang tidak pernah kukenal. Dan siapa bayi kecil lucu itu?

Kamu ingat dek, saat itu kamu begitu lucunya. Ndak pernah bisa diam. Menggemaskan. Mukamu itu bundar, dengan mata yang juga bundar dan bening. Berkilau ceria setiap kali menatap. Lalu bibir merahmu yang mungil itu selalu basah oleh liurmu yang belum bisa kamu atur untuk tidak menetes. Kepalamu itu hanya dihiasi beberapa rambut halus, jadi kelihatan hampir botak. Kamu saat kecil itu tidak pernah bisa diam. Selalu lincah dan bergerak aktif. Aku  menyayangimu saat itu juga. Walau masih bertanya, mengapa kamu muncul di hadapanku dan membuat ibu mengenalkanmu sebagai adikku yang kedua. Ibu juga mengenalkan pria yang menggendongmu dengan bahagia itu sebagai papahku. Aku tidak sempat bertanya. Hanya menerima, tanpa diperbolehkan lagi untuk mengernyit. Kamu, dan papah. Dua orang asing yang sekaligus langsung harus kumasukkan dalam silsilah kehidupanku.

Bayi kecil yang lincah itu tumbuh dengan penuh kasih sayang. Kebahagiaan sepertinya tak pernah habis melimpah untuknya. Kamu dek, yang selalu aktif dan membuat siapapun gemas setiap kali memandangmu. Gerak-gerik lincahmu itu selalu membuat siapapun geleng-geleng kepala. Kamu yang aktif dan selalu menyenangkan untuk semua orang. Kamu. Adikku tersayang.

Sejak aku mengenalmu, kamu itu memang nggak pernah bisa diam. Selalu bergerak. Aktif. Ibu sempat menjulukimu hiperaktif saking nggak pernah bisa diamnya walau hanya 5 detik. Akhirnya ibu memasukkanmu di sanggar tari, untuk menyalurkan sifatmu yang tidak bisa diam itu. Aku ingat kamu yang selalu punya kegiatan setelah jam sekolah berakhir. Latihan tari ini, ikut kejuaraan bela diri itu. Bahkan kendala kesehatanmu pun tidak menghalangi kesukaanmu akan bidang itu. Kamu itu, yang walaupun asma nya tengah kambuh tetap saja nggak akan berhenti bergerak. Seringkali ibu marah hanya karena kamu yang tidak bisa istirahat. 

Menari memang sudah mendarah daging sepertinya untukmu. Kamu, adikku yang lincah dan aktif akhirnya mendapatkan celah untuk tetap berada di jalurmu. Tari. Menari, berlatih bela diri, kamu yang nggak bisa diam itu akhirnya menemukan duniamu dengan mudahnya, dan berlanjut sampai sekarang. Kamu yang melanjutkan ke perguruan tinggi sesuai dengan minatmu, seni tari.

Kita jarang menghabiskan waktu bersama. Kamu yang sibuk dengan kegiatanmu. Aku yang sibuk dengan waktuku. Mungkin sempat kamu mempertanyakan rasa sayangku, tapi kalau kamu tanya, aku dengan pasti akan jawab aku sangat menyayangimu. Kamu adikku.
Ibu bilang tanggal lahirmu jatuh hari ini. Jadi setiap tahun di tanggal ini kita akan merayakan hari kelahiranmu. Bukan perayaan yang besar, hanya sekedar makan atau berkumpul dan berbagi tawa. Hanya berkumpul dan bersama. Seperti hari itu, kita berkumpul ya dek. Walau dalam suasana berbeda. Walau tidak seperti biasanya. Tapi kita berkumpul.

Jadi, hari ini, umurmu nambah satu lagi ya dek. Jadi semakin dewasa dan berkembang seiring jenjang pendidikan yang juga makin tinggi ya. Impian meniti karir di dunia tari pun sepertinya sudah semakin mudah jalannya ya. Kamu makin cantik, dan makin bisa menempatkan diri. Sudah tidak begitu aktif seperti dulu, walau masih tetap tidak bisa diam. Hehehe…

Aku mungkin belum menjadi kakak yang baik untukmu. Tidak pernah selalu bisa ada saat kamu butuh. Atau bahkan memberikan perhatian kecil. Bahkan tak bisa jadi tempatmu mencurahkan perasaanmu saat kamu tengah sedih. Maaf dek, aku belum sesempurnah itu untuk memberikan yang terbaik sebagai kakak.

Bagaimanapun, aku menyayangi dan mencintaimu. Kamu. Adikku yang paling kecil. Tersayangku.. 




Selamat ultang tahun, adikku! 





***
*Panjang umur, sehat selalu, dan bahagia.. 




______

Tulisan ini seharusnya di posting dua hari yang lalu. Tepat di hari kelahirannya.

Kamis, 13 Oktober 2011

My friend's birthday

Source

Don't walk in front of me; I may not follow. Don't walk behind me; I may not lead. Just walk beside me and be my friend

-Albert Camus-


Pernah ku katakan bahwa aku bangga memiliki kalian, terlebih kepercayaan yang kuterapkan padamu. Kamu yang mudah terharu dan meneteskan air mata pada berbagai hal sentimental. Kau yang berpendirian kuat dan memiliki keyakinan teguh terhadap hal yang menurutmu layak diperjuangkan. Kamu yang mampu mengumbar amarah untuk setiap hak yang terlanggar. Kau yang sempat kutanamkan kepercayaan begitu besar lebih daripada mereka. Kau yang berusaha berjalan di jalanNya menurut pandanganmu.

Tapi sempatkah kau berfikir untuk sedikit saja memejamkan mata dan membayangkan berada pada posisiku? Kau pernah disana, tapi tidak pada posisiku. Pada setiap sorot lampu yang menaungi setiap tapak kehidupanku. Kau. Disana untuk sorot lampu yang berbeda.

Hari ini vk ultah

Dah ngucapin?

Dah

Nanti aku telfon dia deh

Dan pandanganmu pada jalanNya lah yang membuatmu menutup mata akan setiap sorot lampu yang menaungiku. Begitu tajamnya sorot lampu itu sampai menyilaukanmu juga. Membuatmu terseret untuk ikut berkomentar. Dan hei, lihat, kau kehilanganku karena perlahan kau menyingkirkan siluetku. Kau yang tersilaukan oleh sorot lampu itu terlalu lama memejamkan mata. Melipir ke pinggir untuk sekedar menghangatkan tubuh dari pijarnya yang membakar. Kau. Yang dulu kupercaya. Aku tidak menyalahkanmu. Hanya saja belum saatnya aku mengerti dirimu dalam transformasimu yang baru itu.

Aku masih ingat dengan pasti hari ini. Yang seharusnya menjadi ajang untuk kita berkumpul. Mungkin juga bersama dengan dua orang sahabat kita yang lain. Sahabat. Maaf tapi aku tidak merasakan itu lagi. Aku yang terbiasa sendiri, mungkin memang tidak cocok menempatkan kepercayaan pada siapapun, termasuk kau yang sempat kukagumi. Maaf kita berbeda. Tapi aku tetap ingat. Hari ini kau menjadi lebih tua setahun dariku. Hari ini kau akan menjadi lebih berbahagia menanti kehadiran si kecil di tengah keluarga kecilmu. Impian yang akhirnya terpenuhi. Impianmu yang muncul dari pikiran jernihmu. Saat kita masih saling percaya.

Aku masih menaruh sedikit kepercayaan itu padamu. Bahwa kau akan tetap berada di tempatmu sesuai porsimu. Sebagai sahabatku. Sebagai orang kepercayaanku. Bahkan saat raga akan semakin larut terjerat oleh ego. Aku yang memilih pergi. Berupaya mencari pembenaran atas apa yang telah kau perbuat terhadapku, atas namaNya. Atau bahkan atas nama pembelaanmu terhadapku. Mungkin demi kebahagiaanku. Maaf sampai sekarang aku tidak mengerti. Dan aku tidak ingin mengerti. Biarlah. Dunia tak akan tambah rumit hanya karena bertambah satu misteri kecil lagi.

Mungkin tak ada tawa. Dan doa yang kupanjatkan mungkin kau tak akan tahu. Disini, saat raga terpisah, aku tahu kau merasa. Aku ingat. Begitu juga mereka. Dan kau tahu, tak lepas begitu saja aku untukmu.

Met ultah lang

Sebaris kalimat itu mungkin tidak akan sampai padamu. Karena kukirimkan saat dirimu tak ada. Tapi dia akan menyampaikan. Karena kuceritakan padanya mengenai hari ini. Semoga kehadiran si kecil di tengah kalian nantinya akan menambah kebahagiaan kalian. Dan akhirnya semua impianmu akan terwujud. Berbahagialah..



***
Bahagia, panjang umur, dan bahagia dan bahagia

Rabu, 12 Oktober 2011

Kunjungan air mata

Source
 
Dan saat air mata itu kembali jatuh. Yang tersisa hanya perih. Air mata yang mengalir membentuk anakan sungai pada kedua pipi itu seperti hili air yang mencari hulu nya. Sungguh panas dan menyesakkan. Menahannya sekian waktu hanya untuk menunggu kemampuan untuk dapat memeluk diri sendiri.

Siang itu panas. Sepanas mata ini yang tak henti mengaliri kedua pipi dalam urai air mata. Tangis itu pecah tak tertahankan. Ruangan sempit itu hanya satu-satunya saksi. Ditemani tembok yang diam membisu, menemani dalam simpati tak kasat mata. Memberikan sandaran saat kepala ini tak mampu lagi menahan sakit yang ikut menyiksa.


Menangis itu membutuhkan waktu dan tenaga. Terlebih disaat sang waktu memaksa untuk terus bergerak, tak ada waktu untuk berhenti. Walau sejenak. Dan seperti kepayahan akhirnya aku berhasil mengelabui waktu. Menyisakan sedikit tenaga untuk terisak. Sendiri. Dalam ruang sempit di sudut itu. Waktuku tak banyak. Tangis itu harus segera kuselesaikan. Mungkin 60 menit cukup untukku mengelabui waktu yang terus mengejar, mengintip di tiap sudut untuk menemukanku. Dan kembali akan memaksaku bergerak, bahkan berlari.


Efek sehabis menangis itu menyebalkan. Dapat membuyarkan segala aktifitas yang harusnya dapat kulakukan jika saja aku tidak membiarkan diriku diperbudak air mata. Jangan kira aku dengan mudahnya menyerah pada air mata. Aku telah mengalah demikian banyaknya pada waktu dan menyimpat erat-erat dorongan air mata ini. Tapi toh tanggul yang ku bangun tidak sekuat perkiraanku. Aku roboh juga diterpa air mata yang bak air bah ini. Seperti kesudahannya mataku yang perih, lalu membengkak, dan perih ini membuatku mengantuk. Sungguh menyebalkan. Menyisakan guratan tanya pada siapapun yang menatapku keluar dari ruang sempit itu. 


Aku lelah, tapi tak boleh ku berhenti walau sejenak. Kejamnya sang waktu, bahkan tak membiarkanku sebentar saja tersadar bahwa batas usia itu sudah demikian trepampangnya dengan jelas. 



***
“Nggak apa dek sesekali nangis, lumayan kan ngebersihin mata dari belek.”
“Gitu ya kak?”
“Asal jangan keseringan. Ntar buta!”
“Masa?”
“Dibilangin nggak percaya, tuh liat mata lo dah makin kecil aja kan!”
“Kayak liat aja!”
“Kakak gue bisa liat lo kali walau dari jauh!”
“…”
“Jangan nyengir, pura-pura lo keliatan jelas walau cuma dari suara napas lo!”
“Mau jadi cenayang?”
“Nggak perlu jadi cenayang tuk bisa baca lo doang.”
“…”
“Nggak usah nyangkal, lo sedih lagi?”
“Nangis kenapa dek?”
“Nggak apa. “
“… iya. Lo selalu nggak apa..”
"Hush!"

Selasa, 11 Oktober 2011

Muntah


Source
 
Seharian kemarin saya menahan muntah. Suasana kantor tengah ramai-ramainya. Saya itu mudah panik, menerima begitu banyak orang yang harus ditangani dalam waktu bersamaan membuat kepala hampir pecah rasanya. Belum lagi telepon yang terus berdering menanyakkan hal yang sama. Saya tidak suka mengulangi ucapan saya, tapi ini pekerjaan, jadi saya harus melakukan hal yang berulang secara sukarela. Dan saya berbagi senyum, bahkan tawa. Meskipun ricuh itu tidak juga berhenti bahkan di detik-detik akhir jam kantor berakhir. 

Dan saya seperti sudah tidak dapat menahannya lagi. Hampir-hampir saya muntah di depan Ozai dan Mas Indra. Untungnya tidak terjadi, saya masih dapat menahannya. Tapi begitu saya sampai kosan, saya tidak dapat menahannya lagi. Semua yang saya telan hari itu keluar lagi dari dalam perut saya melalui mulut saya. Saya muntah. Memuntahkan semua makanan yang saya makan. Semuanya keluar. Sampai tenggorokkan saya sakit tercekat saking sudah terkurasnya isi perut saya. 

Migrain saya memang bertambah parah sepertinya. Setiap kali saya panik atau terlalu sibuk berkonsentrasi terhadap sesuatu, saat itu juga sebelah kepala saya sakit. Menjalar sampai ke pundak. Dan efeknya sampai ke perut. Membuat saya mual. Membuat badan saya sakit. Dan akhir-akhir ini sering membuat saya mudah muntah. Terakhir saya terpaksa tidak masuk kantor dikarenakan muntah-muntah tidak dapat berhenti. 3 hari dalam mingg-minggu kemarin saya hanya tertidur di tempat tidur. Rasanya seperti benar-benar tidak memiliki tenaga. Makanan yang masuk ke dalam perut saya seperti ditolak oleh pencernaan saya. Dan sukses keluar lagi tak lama berselang saya telan makanan itu.

Saya memang berencana ke dokter, tapi tertahan. Saya takut diagnosa dokter. Mungkin memang hanya migrain biasa, atau mungkin malah ternyata saya mengidap penyakit parah? Mimisan tempo hari saya tidak ingin jadikan acuan. Tapi saya takut. Dan kali ini, ditengah ramai keadaan kantor dengan berbagai project pekerjaan dan kebutuhan pengembangan, saya kembali harus menahan sakit kepala sebelah ini, berikut leher dan pundak saya yang nyeri, juga mual di perut saya. Menahan tangis ini tumpah pun memperparah keadaan saya saat ini. Rasanya semakin ingin muntah.

Selasa, 04 Oktober 2011

Hilang

Please don't blame it on me
As if i never tried to look for in everywhere
I've searched everyplaces
Every angle of the corners
I can't find it anywhere
I've lost it
And i'm sorry for that
Really
***


Aku telah mencarinya. Dimana-mana. Di setiap tempat yang ku ingat. Menggalinya di setiap sudut ingatan yang ku miliki. Aku mencarinya. Dan aku masih berusaha mengingat-ingat dimana tertinggal. Aku tidak dengan sengaja menelantarkannya. Aku serius!

Tapi aku tidak menemukannya dimanapun. Aku tidak dapat menemukannya dimanapun. Dalam setiap sudut ingatan, dalam setiap jengkal area, bahkan dalam berbagai kenangan yang terpatri. Hilang. Entah dimana. Aku tidak dapat menemukannya. Tidak ada dimanapun!

Seperti frustrasi rasanya mencarinya. Teringat betapa terlalu dekat dulu sempat memilikinya. Kerinduan yang amat sangat. Dan kini seperti mencandu, atau diantara rasa ingin tahu. Dimana!

Bukan aku sengaja. Sama sekali tidak ada niat sedikitpun untuk menelantarkan. Aku telah berusaha menjaganya. Telah ku ikat erat saat beberapa waktu dulu aku menerimanya. Disisiku. Dalam jarak terdekat dengan keseharianku. Dan kini telah hilang. Tidak ada padaku. Tidak tahu dimana. Tidak menemukannya. Tidak dapat menemukannya!

Ceroboh. Aku ini memang ceroboh. Lalai. Tidak amanat. Tidak telaten. Tidak berguna. Kadangkala, saat teringat.. seperti saat ini. Rasanya hanya ingin menangis. Entah dimana aku harus mulai mencarinya lagi. Kepercayaan itu mungkin akan memudar sedikit demi sedikit karena hal ini. Sungguh tidak ada niat sama sekali untuk menghilangkannya. Sungguh.. Aku minta maaf.


Dimana kamu?

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...