Rabu, 29 Februari 2012

Biarlah dalam benakku saja

Aku pernah menceritakan bayanganku untuk kehidupanku kelak bersamamu. Ketika itu aku baru beberapa hari menceritakan tentangnya padamu. Sejujurnya, ketika aku memutuskan untuk menceritakan tentangnya padamu, adalah karena aku merasa akan mampu memiliki kalian di dalam kehidupanku. Kelak.

Saat itu, yang terbayang dalam benakku adalah, kamu, aku dan dia bisa bisa bersama. Setidaknya kamu menempati tempat paling berarti dihatiku jikapun itu bukanlah tempat di dalam kehidupan pribadiku. Tapi kamu adalah sahabat terbaikku. Saat itu.

Lalu keadaan mulai berubah. Aku tidak pernah tahu bahwa akan seperti ini kejadiannya. Aku memilih menghindarimu. Berkali pernah kulakukan. Dan kamu selalu dapat menemukanku. Serta membawaku kembali. Tapi kali ini beda. Kamu. Mungkin lebih memilih untuk membiarkanku menghilang. Melepasku begitu saja.

Ya. Bahkan jika pilihanku adalah menetap bersamanya. Kalian selamanya mungkin tak akan pernah bisa seakrab seperti dalam bayangan kebahagiaanku. Dan aku, yang terlanjur menempatkanmu dalam hatiku sejak pertama bertemu itu, memilih untuk mencampakkanmu dan melenggang bersamanya.

Sakit untukmu. Mungkin juga menjadi tanda tanya untuknya. Apakah aku benar-benar telah menghilangkanmu dalam hatiku. Sungguhpun aku ingin, aku masih belum bisa. Bahkan saat aku menetapkan hatiku untuk menempatkan posisimu sebagai sahabat terbaik yang pernah singgah dalam hatiku dulu. Saat aku mengira perasaanku hanya berasal dariku saja.

Maka aku memilih untuk menjauh darimu. Mungkin sesekali akan berbincang denganmu. Tapi tak akan lama. Karena aku harus melindungi hatiku dari kisah yang tak akan pernah menjadi sebuah cerita indah. Aku, seperti yang pernah kunyatakan padamu pada ceritaku pertama kali tentangnya, secara tidak langsung sebenarnya telah mungkin lebih memilihnya daripadamu.

Kamu datang di kehidupanku lebih awal. Tapi ia menyatakkannya padaku lebih dulu. Maka aku harus adil. Aku telah memilih untuk melepaskan perasaanku terhadapmu dan memaksakan diri menganggapmu sebagai sahabat terbaikku. Dan kemudian memulai kisah baru dengannya. Ia yang kuharapkan akan mampu mengangkatku tinggi dalam kebahagiaan dan tidak akan pernah membiarkanku terjatuh. Bahkan mungkin jika aku terjatuh, ia akan sedia menopangku dengan segala yang ada pada dirinya.

Kalian tidak akan mungkin bisa seakrab dalam benakku, aku harus mengakuinya. Dan aku mencoba mengerti. Menempatkanmu pada hatiku, bahkan sekedar sebagai sahabat. Lalu ia yang harus kujunjung tinggi tanpa cela. Aku tahu. Dunia tak akan seadil itu. Kita tak akan mungkin dapat memiliki semua yang kita inginkan. Selalu ada rencana Tuhan bukan?

Aku memang bukan Bella yang mampu membuat Jacob dan Edward menurunkan egonya selain demi kebahagiaan Bella. Itu hanya ada dalam cerita. Sebuah kenyataan tidak mungkin bisa berjalan seharmonis itu. Bahkan jika Jacob harus merelakan cintanya demi membuat Bella bahagia bersama Edward. Ini adalah cerita dalam khayalan seorang penulis. Yang mampu membuai wanita manapun, termasuk aku. Tapi kehidupanku tentu berbeda. Entah siapa yang kehidupan nyatanya seberuntung Bella.

Maka mungkin akan kubiarkan cerita tentang kamu yang akan begitu akrab dan ringannya bercengkerama dan bercanda dengannya, dalam pikiranku saja. Dalam tulisanku yang lain. Dalam setiap anganku. Bagaimanapun, jika aku tak berhak mengatur kehidupan setiap orang, tak akan ada yang berhak mengatur apa yang ada di dalam pikiranku.

Mungkin aku bisa bahagia dengan cara itu.

Kamu, dalam benakku sebagai sahabat terbaikku.
Ia, dalam benakku sebagai orang yang begitu sempurna. 
Aku, dalam benakku menjadi orang paling beruntung memiliki kalian.


To be continued..?




Gambaran keakraban seperti ini, mungkin selamanya hanya akan kumiliki dalam benakku saja
Foto dari sini




________
Kisah ini terlalu panjang untuk dapat ditulis dalam satu babak. Mungkin nanti akan ada lanjutannya.. atau dalam benakku saja?

Senin, 27 Februari 2012

Fachri

Saya mengenalnya ketika ia masih merah. Saat itu saya bahkan tidak berani mendekatinya. Saya memang tidak pernah berani mendekati bayi-bayi yang baru lahir. Terlalu rapuh untuk saya. Saya malah ngeri saking gemasnya maka saya akan menyakitinya. Jadi saya memperhatikannya dari jarak yang menurut saya aman. Ibunya seumuran dengan saya. Ia menikah dengan tetangga saya. Jadi, ketika akhirnya ia melahirkannya, bayi itu sudah sering mampir di tempat saya tinggal.

Fachri.

Bayi kecil mungil nan menggemaskan itu seringkali berada di tempat saya tinggal untuk sekedar tidur. Karena dulu, rumah tetangga orang tuanya tinggal kurang nyaman untuk bayi mungil itu istirahat. Biasanya memang sepanjang hari Fachri selalu ada di rumah. Karena bila sudah terlelap dirumah, lalu dipindahkan ke rumah yang sebenarnya, ia pasti bangun. Akhirnya kebiasaan itu menjalar sampai bayi itu tumbuh.

Ai.

Begitu ia menyebut dirinya sendiri. Saat sudah bisa bicara dan mengucap kata, dan kalimat, ia seringkali menyingkat namanya yang memang cukup sulit untuk di ucapkan  balita itu dengan Ai. Ya. Ai. Yang berarti cinta dalam bahasa Jepang. Dan kami semua memang mencintainya.

Ai tumbuh dan berkembang dengan sehat. Tubuhnya subur, bukan berarti sampai obesitas. Cukup sehat untuk ukuran balita. Dan bahkan sangat pintar untuk balita seusianya. Empatinya sudah bagus. Ai balita sangat tidak rewel jika harus ditinggal ibunya bekerja dari pagi sampai malam. Bahkan tak jarang Ai balita tidak begitu sering menemui orang tuanya yang sibuk bekerja. Hanya bertemu sesaat pada pagi hari, tapi malamnya lebih banyak bertemu dalam keadaan Ai balita sudah terlelap. Dan Ai balita tidak pernah rewel atau menangis. Amat jarang. Ia juga tidak pernah mengeluh ketika waktunya dengan ibunya begitu sempit. Anak pintar yang benar-benar anugerah.

Sejak pertama kali di kenalkan di rumah tempat saya tinggal. Ai sudah begitu akrab dan seperti melekat pada rumah itu. Ia bahkan lebih sering menghabiskan waktu di rumah itu dibanding di rumah yang seharusnya ia anggap sebagai rumahnya. Tapi tidak, rumah yang ia anggap rumahnya adalah rumah tempat saya tinggal. Ai bahkan memanggil ibu saya dengan sebutan mama.

Suatu hari Ai pernah cemberut dan menyatakkan protesnya saat ibu saya mengenalkannya sebagai anak tetangga. Waktu itu ibu memang mengajak Ai jalan-jalan menemui teman-temannya dan tentu saja teman-teman ibu menanyakkan status Ai mengingat mereka semua tahu bahwa ibu tidak mungkin begitu saja tibat-tiba melahirkan seorang anak lagi.

"Mama nenek," begitu jawab Ai jika ditanya kenapa memanggil ibu saya dengan mama. Sementara Ai memang tetap memanggil ibu kandungnya mama. Bahkan jika berkali ibu saya menegaskan bahwa ia adalah neneknya, bukan mamanya, Ai akan tetap memanggilnya mama. Dan akan selalu menampakkan wajah nelangsa jika diperkenalkan sebagai anak tetangga.

Ai bahkan lebih memilih untuk tidur bersama ibu daripada di rumahnya yang terletak di sebelah rumah tempat saya tinggal. Dan begitu dipindahkan ke rumahnya, Ai akan selalu bangun dan kembali menggedor rumah tempat saya tinggal dan langsung menuju tempat ibu tidur. Lama-lama, ia memang seperti anggota keluarga baru.

Saya merindukannya. Sejak tidak menempati rumah itu, saya amat jarang bisa bertemu dengannya. Apalagi ketika ia dan keluarganya sudah pindah ke tempat yang agak jauh dan semakin jarang berkunjung. Walaupun tidak sedikitpun berkurang sikap Ai yang tetap akan tidur di rumah itu jika ia datang. Tapi karena semakin besar dan harus sekolah, Saya memang jadi sedikit kesulitan menemuinya. Bahkan kemarin ketika saya berharap dapat bertemu dengannya sekaligus menemui simbah yang tengah juga berkunjung, Ai tidak ada. Saya juga tidak berhasil menemui ibu karena ibu sedang pergi. Hanya pada simbah rindu saya tertebus.

Tak apalah, mungkin kali lain saya bisa bertemu lagi dengan bocah kecil pintar nan menggemaskan itu. Juga dengan ibu. Tadi sudah berbincang sedikit di telepon dengan ibu. Rindu sudah sedikit terobati.



Mata bundar dan pipi gembungnya amat mirip dengan Ai balita. Posisi foto seperti ini mirip dengan yang saya miliki.
Foto dari sini







Kamis, 23 Februari 2012

Aku yang bahagia

Kangen.
Ya.
Kamu.
Juga kamu.
Semuanya.
Saya. Rindu. Kalian.
Sangat.

(sekitar kemarin)
 ...



Itu tulisan yang jadi draft saya sekitar kemarin. Disaat saya hampir menangis menahan rindu pada teman-teman saya yang sering menamai dirinya ijo semangka.

Itu sebelum akhirnya dinodai oleh komentar yang tidak menyenangkan darinya.

Ya. 
Kamu.

Saya seharusnya tahu saya belum cukup kuat untuk benar-benar menghilangkan bayangmu. Maka ketika itu adalah saat kita 'bicara' untuk pertama kalinya sejak terakhir 'percakapan' kita, seharusnya saya bisa menentukan kapan saya harus menarik diri lagi dan menghilang.

Setidaknya saya kemudian bisa memutuskan untuk menarik diri. Menghilang. Menghiraukan saja entah kalimat apa yang ia katakan selanjutnya. Saya memang belum bisa mengatakan bahwa saya bahagia. Tapi saya akan bahagia. Bila perlu, saya akan buat sendiri kebahagiaan dengan cara saya. Mengenai ia yang kini bersama saya. Biar saja jika ia memang tidak punya niat baik itu untuk saya. Setidaknya bukan saya yang berdosa dengan menyakiti saya.

Saya sudah menyerah. Memilih untuk bertahan. Mencoba menikmati kebaikannya sambil berharap semua itu tulus. Ini sulit. Tapi saya akan beusaha. Menciptakan kebahagiaan saya dengan cara saya. Karena saya tahu tidak ada yang bisa membuat saya bahagia selain saya sendiri.

Tidak juga kamu.




Bila perlu, saya akan pegang dengan erat kebahagiaan itu hingga ia meronta.
Ya. Saya sedang egois. Kenapa memangnya?

Foto dari sini

Rabu, 22 Februari 2012

Hentikanlah kalian

Sudahlah. Kalian tak usah repot menggiringku untuk melakukan ini itu. Aku cukup tahu dan sadar dengan apa yang kulakukan. Aku diam. Juga memilih untuk menjauh bukan tanpa sebab. Tak perlu repot memaksakan diri untuk memperbaiki kerusakan yang terjadi.

Kuberitahu sekali lagi. Aku senang dengan keadaanku sekarang. Tak perlu repot menyembunyikan luka dan mengoles obat pada setiap lukaku. Aku bebas menentukan kehidupanku. Aku bisa merasa memiliki diriku seutuhnya tanpa dipusingkan dengan empati dan etika. Dan setidaknya aku bisa merasa lebih aman dan nyaman dalam lingkungan baruku.

Tanpa pria itu. Yang entah bagaimana bisa membuat ibu lebih memilih bertahan dengannya. Berdiri disampingnya dengan alasan yang hanya ibu yang tahu. Entah loyalty, ketakutan, atau bahkan ketidakmampuan.

Aku sungguh tak apa. Tak merasa harus melakukan apa yang disebut balas budi karena ia yang mengusirku. Dan aku tak harus direpotkan untuk terus bercerita baik tentang sosoknya meski dalam hati aku harus menekan perih itu. Karena aku telah menyadari hal ini sejak lama. Bahwa aku tidak pernah menyukainya.
Bukan aku tak tahu diri. Tapi apakah cukup hanya karena ia memberiku tempat bertumbuh dan pendidikan maka ia bertindak seolah memiliku? Aku tak tahan lagi dengan semua cerita yang terjadi tanpa aku tahu itu. Dan semua cerita baik yang terpaksa kulontarkan dari mulutku.. hanyalah satu cara aku melindungi diriku dari lukaku yang terus menganga. Dalam ketidaknyamanan dan keamanan duniaku.

Ini bukan berarti aku egois. Aku telah bertahan selama ini karena ibu dan semua yang kupedulikan. Tapi tak ada yang mengerti. Hanya kemudian yang terjadi adalah mulut-mulut yang bicara sok tahu seolah mereka pernah menjadi aku. Mereka tidak tahu dan tidak pernah merasakan posisiku. Jadi hentikanlah. Biarkan aku dengan kebebasanku. Karena aku membiarkan kalian dengan kebebasan kalian.

Tak perlu repot menunjukkan padaku lokasinya berada. Tak akan lagi tangan itu kucium karena aku telah muak. Cukup sudah hormat ku. Hentikan memaksa atau menunjukkan padaku apa itu hormat. Aku sudah cukup bertahan disana dengan meredam semua keinginan bunuh diriku dan rasa ingin pergi jauh. Aku sudah cukup terluka. Jadi biarkan aku merawat lukaku ini.. dengan caraku.




Trust me, I'm okay without him. It's my mom who's gonna be hurt without him. At least that's what i thought.
Foto dari sini



Senin, 20 Februari 2012

We need to talk

Ya. Setidaknya itu yang ingin sekali kuucapkan keras-keras di telingamu. Kita perlu bicara. Atau mungkin tidak perlu? Kau lebih bisa menguasai keadaan saat kemarin kita bertemu. Ya. Akhirnya ya kita bertemu. Aku juga tidak begitu mengharapkan dapat bertemu denganmu ketika mendengar kemungkinan kau juga akan datang. Aku memang tak ingin peduli. Tapi kenyataannya sikap yang kau tunjukkan waktu itu berhasil memancing kepedulianku.

Kau ini memang pintar sekali berpura-pura. Aku salut. Bahkan sekedar sapaan kecil pun tak kau lakukan. Padahal jelas-jelas kau melihatku. Karena kau berdiri tepat disampingku. Tapi kau yang paling pintar berlakon. Begitu saja berlalu seolah aku tak ada. Bahkan ketika salah satu saudaraku meledekmu yang menangkap basah kau tengah melirikku.

Kau tahu, karena kau bersikap demikian, aku hanya dapat mengikuti. Ikut tertawa, entah menertawakan apa. Menertawakan kebodohanku juga yang mengikuti permainanmu. Berlagak bodoh seolah-olah tidak mengenalmu. Kau. dan aku. Menyedihkan.

Padahal dulu setidaknya kita bisa komunikasi walau lebih sering saling mengejek. Mungkin akan lebih banyak kita bertengkar jika bertemu. Tapi setidaknya kau tidak mengacuhkanku. Juga tidak menjauhiku seperti yang terjadi sekarang. Mungkin saja tidak akan seperti ini. Jika saja ibumu tidak punya wacana super aneh yang membuat budeku menyampaikannya padaku. Kemudian aku hanya dapat membalas wacana itu dengan ejekan, gaya bercanda yang sering kita lakukan sejak kita masih kecil.

Lalu semua berubah. Kau yang mulai. Karena kaulah yang pertama menjauhiku. Menghindari setiap tatapanku. Menenggelamkan diri di setiap kehadiranku. Memaksakan pengertian yang sama sekali tak mampu ku cerna. Kau yang mulai. Dan aku sejak dulu berharap kita bisa benar-benar bicara. Bukan sekedar saling ejek, saling ledek, apalagi sampai perang dingin seperti ini.

Rasanya rindu dulu. Tak apa kau meledekku terus. Tak apa kau mengejekku terus. Dan tak apa jika setiap kali kita bertemu yang kita lakukan hanyalah bertengkar sehingga setiap orang yang melihat akan menatap kita heran. Aku rela menukarnya dengan seribu bisu yang kau tunjukkan padaku sekarang. Aku rela.

Jadi.. kapan kita bisa bicara? Atau tidak sama sekali? Kau. Menyebalkan!





Foto dari sini

Sabtu, 18 Februari 2012

Sekedar menyapa

Hi,

Ya.. hanya hi. Saya hanya ingin menyapa seadanya saja. Sebuah tulisan singkat dan mungkin hanya sekedarnya. Saya sungguh ingin membuat tulisan yang berisi tidak melulu tentang kesedihan atau curahan hati saya. Tapi ketika menghadapi kotak putih kosong ini, yang keluar hanyalah ingatan mengenai semua yang tidak menyenangkan yang saya rasakan dalam hidup ini. Sungguh saya ingin seperti teman-teman saya yang lain yang pandai menuliskan tentang suatu hal yang informatif, kebahagiaan, bahkan bila mungkin sekedar tulisan penghiburan yang mampu menyembunyikan bahwa penulisnya tengah bahagia walau keadaan sebenarnya ia tengah bersedih.

Saya memang tidak melulu menangis dalam kehidupan nyata saya. Saya tertawa. Di kantor saya tertawa bersama teman-teman saya. Lalu ketika bercengkerama dengan teman-teman dunia maya saya, saya juga tertawa. Kadangkala saya berkicau dengan tulisan-tulisan yang tidak melulu tentang kesedihan. Tapi menghadapi halaman kosong ini.. saya selalu saja ingin menumpahkan kesedihan dan kepedihan yang saya rasakan.

Ini aneh. Saya jadi begini rapuhnya bila sudah berhadapan dengan blog ini. Jadi begitu ingin mencurahkan semua yang menurut saya tidak mampu menceriakan hidup saya bahkan lewat tulisan. Aduh, saya menceracau. Padahal kan sekedar hanya ingin menyapa seadanya. Sudah dulu deh, nanti saya jadi tambah ngaco.



Semoga harimu menyenangkan, siapa saja
Foto dari sini

Jumat, 17 Februari 2012

Kabar

Gimana hasil periksanya? Udah USG?
Nggak apa-apa. Bagus. Kamu sehat kan?
Jadi itu kenapa penjelasannya? Sehat
Ya nggak ada apa-apa, kurang garam aja
Walah gondongan. Pake garam beriodium, jangan garam warung sembarangan
Iya sekarang pake garam yodium, dah baik. Sehat
 ...


Percakapan cukup singkat melalui telepon genggam yang mampu sedikit menenteramkan hati. Maaf ya bu belum sempat tengok sejak terakhir datang. Ibu mengerti kan kenapa anakmu ini jadi semakin jengah dan antipati terhadap tempat itu sekarang?

Ya. Belum saatnya luka ini hilang atau sembuh bu. Karena semakin ingin melupakan, semakin terngiang semua peristiwa itu. Malah semakin teringat jadinya. Mungkin hanya secuil menurut orang lain, tapi mereka yang bicara itu tidak pernah berada pada posisiku. Tidak pernah merasakan yang ku rasa. Dan tidak pernah menjadi aku.

Maaf ya bu hanya bisa sekedar membantu sedikit. Bukan biaya besar yang bisa kukirimkan setiap bulannya. Doakan saja semua ini menjadi baik. Bahkan bila tidak pun tak apa. Biar saja begini, aku jadi tidak tambah merasa merana. Tidak perlu lagi menutupi bahwa aku tidak pernah menyukainya. Asal ibu tetap ada.. Ya bu?

Simbah bilang Minggu ini disuruh ikut ke resepsi pernikahan Dita, mungkin disana kita bisa ketemu ya.. sama simbah juga :)




Foto dari sini




_________
*Postingan ini saya lupa sertakan sumber foto, foto dari sini ya:)


Sabtu, 11 Februari 2012

Bebal

Bersabarlah aku
Maka hati ini akan tenang
Bersabarlah aku
Maka semua kesedihan akan berlalu
...


Tidak peduli apa yang akan kalian pamerkan. Seharusnya beberapa kali kusingkirkan kalian dari daftar kontak ku sudah membuat kalian mengerti bahwa aku tidak ingin berhubungan dengan kalian. Tapi dasar kalian bebal. Maka kalian akan terus tambahkan aku lagi dan lagi pada kontak kalian yang kosong.

Memangnya kita pernah ngobrol? Tidak pernah. Dulu iya. Tapi tidak lagi setelah aku terlalu risih dengan jari-jari kuku kalian yang tajam dan perih menggaruk punggung kehidupanku. Maka aku berkali-kali menyingkirkan kalian. Dasar bebal. Maka kalian tambahkan aku lagi dan lagi. Walau akhirnya hanya sebagai pajangan.

Ini menggelikan. Kalian bahkan masih terus mencicit dengan bibir kalian dan pikiran sempit kalian. Berlagak begitu bijaksana dan berlapang dada. Padahal aku tahu kalian tak bisa berubah. Watak itu sudah mendarah daging sepertinya. Maka kalian akan teruskan menjadi ababil ditengah umur yang merangkak naik.

Aku kasihan pada kalian.



Bersabarlah aku.. maka semua yang buruk akan berlalu
Foto dari sini


__________
Melihat banyak notifikasi tentang beberapa mereka yang mengaku 'teman' tapi hanya di mulut. Membuat kepala saya tambah sakit dan pusing!

Jumat, 10 Februari 2012

My trauma

Pertama kalinya sakit. Saat itu SD. Saya sudah di Tangerang. Ya, memang hanya kenangan ketika sudah di Tangerang yang saya dapat ingat. Masa-masa sebelum itu hanya bisa saya terka dari mulut-mulut orang-orang di sekeliling saya yang bercerita.

Saya masih ingat jarum suntik itu. Bau rumah sakit yang khas. Seperti bau kesepian. Bau derita. Dokter datang bersama suster yang hendak mengambil darah saya untuk di periksa. Lalu katanya gejala typhus. Saya harus di rawat. Ini adalah akibat demam selama beberapa hari yang tak kunjung turun. Maka saya sedikit berontak. Saya takut jarum suntik. 

Beberapa orang memegangi saya agar saya tenang, karena sebelumnya saya menendang suster dan dokter yang hendak melakukan perawatan dengan jarum. Memasang selang infus di tangan saya. Saya ketakutan. Tapi mereka terlalu kuat dan banyak. Saya pun kalah. Dan selang itu sudah tertancap di tangan saya.

Saya masih dapat merasakan sakitnya saat selang infus itu di puntir oleh suster karena macet. Saya baru saja habis pipis. Dan beberapa kali suster yang tanpa babibu itu begitu saja dengan santainya memuntir selang infus saya. Saya meringis dan menangis menahan sakit. Dalam hati ingin mati saja. Sempat juga beberapa kali jarum itu menusuk-nusuk tangan saya hanya karena macet. Lalu selang dipuntir lagi. Lalu diambil darah. Lalu ditusukkan jarum lagi. Sakit.

"Kalau masih pucet sampai besok, perlu tambah darah."

Saya hanya terbelalak lemah mendengar penjelasan dokter. Entah sengaja menakut-nakuti atau memang kenyataannya demikian. Cairan bening dalam selang infus saya akan berganti dengan cairan merah kental jika saya masih pucat keesokan harinya.

Maka pada hari kesekian belas itu saya mulai memaksakan diri membuat wajah saya berseri -biar tidak pucat. Saya makan. Lalu mencoba bersemangat. Dan saya berhasil menggagalkan keinginan dokter mengganti cairan bening infus saya dengan darah. Memangnya saya vampir apa sampai harus diberi asupan darah?

Ya.. Akhirnya saya bisa pulang. Dan langsung ebtanas karena saya sakit disaat menjelang ujian akhir. 

Tapi sejak saat itu saya trauma dengan rumah sakit, suntikan, infus, dan hal lain yang berbau rumah sakit. Sebisa mungkin saya akan menjauhi setiap hal yang behubungan dengan rumah sakit, apalagi infusan. Saya kapok. Untunglah sakit kali ini saya diperbolehkan rawat jalan, sehingga saya tidak perlu menghadapi tumpukan terror mengerikan rumah sakit.
...



Cepet sembuh ya kamu -maksudnya menyemangati diri sendiri. Bosen kan nggak bisa ngapa-ngapain selain tiduran dengan kepala sakit dan sakit-sakit yang lain?



Saya memang suka tidur, tapi bukan tidur karena sakit
Foto dari sini

Kamis, 09 Februari 2012

Jadi pesakitan

"Aku tuh jarang sakit, kuat!"
...


Saya masih ingat sesumbar itu saat beberapa teman saya mengkhawatirkan kondisi kesehatan saya belakangan ini. Saya beberapa kali harus ijin tidak masuk kantor karena sering drop dan akhirnya memilih beristirahat dirumah. Padahal saya langsung istighfar lho waktu itu, walau hanya dalam hati.


Jagalah mulutmu.


Pepatah itu mungkin tepat untuk saya. Memang tidak begitu saja setelah saya mengucapkan itu lalu saya langung tergolek lemah tak berdaya di hantam sakit kepala yang tak keruan dan demam demikian tinginya. Saya baru terkapar setelah sekian lama mengucapkan hal itu. Dan inilah saya sekarang, hari ketiga dengan efek paling tidak enak jadi pesakitan.

Padahal saya memang jarang sakit. Sakit menurut definisi saya adalah suatu kondisi yang membuat saya sampai tidak bisa bangun dari tempat tidur. Kalau cuma batuk-pilek sih buat saya bukan sakit. Apalagi sariawan. Itu sih biasa saya alami. Terakhir saya benar-benar sakit adalah saat SD di Tangerang. Itu masih gejala typhus. Kali ini saya typhus beneran.

Hasil tes darah di lab itu terpaksa harus saya terima. Karena saya tidak mau repot menyanggah bahwa saya merasa sehat, karena kepala saya sakit bukan main. Demam saya cukup tinggi malam itu. Padahal sorenya saya masih merasa baik-baik saja walau sedikit batuk.


"Gue mau batuk kayaknya Zai, besok nggak masuk ah.." Pamit saya pada salah satu rekan kerja saya sore itu pada jam pulang kantor.


Dan benar saja, sesampainya di kos, kepala saya rasanya sakit sekali. Saya hanya bisa tiduran dan melewatkan waktu isya begitu saja. Semalaman menahan demam dan besoknya saya absen ke kantor. Saya di jejali segambreng obat untuk di minum. Bahkan vertigo saya ikut-ikutan andil dalam membuat sakit saya tambah menjadi-jadi. Malahan, ditambah dengan menstruasi ini yang membuat perut ikutan melilit.

Rasanya lengkap sekali jadi pesakitan kali ini. Kepala saya sakit. Perut saya sakit. Lidah pahit. Mata cekit-cekit. Maunya merem terus. Mana batuk benar-benar mulai ikut nimbrung. Wah wah.. kali ini saya benar-benar jadi pesakitan. Merasa benar-benar menua :(




Senin, 06 Februari 2012

LITTLE MAYA'S GIVEAWAY

Sejak SD saya suka menulis. Setiap pelajaran mengarang, saya selalu senang dan bersemangat. Dengan menulis saya bisa menciptakan apapun sesuai dengan keinginan saya, dan menyampaikan apapun yang saya ingin sampaikan. Karena saya tahu bahwa saya memiliki keterbatasan dalam menyampaikan apa yang saya rasakan, maka lewat tulisan saya dapat menyampaikan apapun. Bahkan ketika saya tidak memiliki waktu untuk benar-benar menulis, saya selalu menuliskan apapun yang saya ingin tulis melalui pikiran saya. Jika ada yang bilang kau tidak akan mungkin bisa mendapatkan semuanya di dunia ini, tidak dengan menulis. Menulis dapat membuatmu memiliki semuanya. Semua sesuai dengan keinginanmu.. Ya, menulis adalah passion saya sejak dulu.



Foto dari sini



____________
Ikutan giveaway nya Mbak Maya :P

Sabtu, 04 Februari 2012

Coba ada simbah

"Jangan banyak-banyak kakak.. Nanti batuk.. Atit" selorohku ketika itu pada mereka yang tampak melahap buah itu dengan semangatnya.
"Lo kenapa nggak makan?"
"Hehehe.. Nggak ada mbahku yang ngupasin."
"Gaya lo!"
...

Waktu salah satu rekan kerja saya menawari buah itu, saya langsung menggeleng. Tapi ia tidak serta merta menerima gelengan kepala saya, ia menaruh buah itu di meja saya. Tak lama, rekan kerja satu tim saya langsung berebut menyambar.

Namanya rambutan. Buah yang lebih besar kulit dan biji dibanding dagingnya. Memang saya bukannya tidak suka dengan buah itu. Tapi saya kesulitan mengunyah buah itu tanpa terlebih dulu dikupas kulitnya. Karena bila di gigit, yang didapat, kalau apes ya termasuk kulit bijinya yang kasar dan sulit untuk saya telan itu, atau malah dagingnya yang porsinya sangat limited edition alias sangat sedikit.

Saya jadi teringat simbah saya.. Biasanya beliau yang mengupaskan saya daging buah itu karena tahu saya tidak pernah bisa mengolah buah itu dengan keahlian tangan, dan gigi saya dengan kompak. Ya itu, karena males kena gigit kulit biji yang kadang itu kegigit kalau kita menggigit daging buahnya. Rasanya keras dan keset, suka nyangkut di leher dan membuat saya kesulitan menelan. Alhasil, makan jadi tidak nikmat.

Kalau rambutan itu sudah dikupas simbah saya, maka saya dengan nikmat tinggal memakan daging buahnya saja. Rasanya lebih pol dan lebih enak karena daging yang saya kunyah tidak sedikit-sedikit. Saya bahkan sampai sekarang sebesar ini tidak bisa mengupas daging buah rambutan itu sendiri. Ngeri kebeset tangannya :p

Selain rambutan, biasanya kalau ada simbah, buah anggur juga tidak akan susah-susah saya telan karena kulit luar dan bijinya sudah dikupaskan beliau. Dulu, saya tidak bisa mengunyah anggur bersamaan dengan kulitnya walau banyak yang bilang kalau anggur itu paling bagus ya kulitnya.

"Bisa bikin kulit mulus," kata salah satu bude saya.

Tapi sekarang kan banyak pestisida yang tidak akan mudah hilang walau sudah dicuci. Itu pikiran saya sekarang. Padahal sampai sekarang saya tetap tidak bisa mengunyah anggur utuh dengan kulit dan biji tanpa saya kupas dulu kulit dan saya pisahkan bijinya.

Mengupas anggur sendiri saya bisa lakukan, atau paling tidak bila harus makan utuh-utuh dengan kulitnya, maka kulitnya akan saya lepeh begitu daging buahnya sudah habis. Dan untuk rambutan, sampai sekarang saya tidak bisa makan kalau daging buahnya tidak dikupas dengan pisau. Cukup rewel ya cara makan saya.


Ah.. Andai ada simbah disini, saya pasti tidak akan melongo melihat rekan kerja saya menikmati buah yang hanya ada pada musim tertentu itu.

"Jangan banyak-banyak, kata ibuku nanti batuk!" Sekali lagi saya meneriaki mereka yang langsung disambut dengan balasan candaan lain.


Nggak mirip kupasan simbah sih, tapi sama nggak ada biji dan kulit bijinya
Kalau sudah dikupas begini saya bisa makannya :P
Foto dari sini

Jumat, 03 Februari 2012

Suatu saat.. bersabarlah

Langkah-langkah kaki kecil itu mendatangiku dengan tawa polosnya. Beriringan, tangan-tangan mungil itu meraih kakiku, lalu menarik-narik ujung dasterku. Tinggi badan mereka memang belum sampai sepinggangku. Lalu mereka akan mendongak, dan memamerkan deretan gusinya yang mulai ditumbuhi beberapa gigi susu.

"Ibu.. Ayah belum pulang ya?"

Lalu aku tertawa. Melihat mereka menyampaikan pertanyaan dengan bahasanya yang belum sempurna. Tak mampu menahan diri melihat deretan mata yang berbinar, aku berjongkok agar bisa sejajar dengan mereka. Wajah-wajah mungil itu menatapku sambil masih memamerkan deretan giginya yang belum lengkap.

"Ayah masih kerja sayang, nanti sore pulangnya.."

Kami lalu berkumpul di ruangan kecil tempat mereka bermain. Dengan tenang mereka akan bermain dan sesekali menarik tanganku untuk mengajakku bergabung dengan alam imajinasi mereka. Kadang aku terkikik geli melihat tingkah polah mereka. Tak mampu menyembunyikan bahagia yang membuncah. Gemas melihat mereka bermain seolah-olah dunia hanya milik mereka.
Rasanya, terlalu sulit dibayangkan bahwa dua jagoanku itu tumbuh dengan sehat dan pintarnya. Semakin besar dan semakin membanggakan. Dan aku memiliki mereka.

Tak lama kemudian aku sibuk membacakan dongeng untuk mereka sembari menidurkan mereka. Sudah waktunya tidur siang. Mereka memang biasa tidur di ruangan bermain, karena disana banyak mainan untuk menghibur mereka selagi menunggu ayahnya yang bekerja seharian di kantor.

Kamar tidur hanya akan difungsikan untuk tidur malam. Tak jarang anak-anakku itu tertidur bersama ayah mereka di ruang bermain itu bila hari libur tiba. Sama-sama kelelahan setelah menghabiskan waktu bermain seharian.

Aku menatapi wajah-wajah mungil yang berwajah identik itu. Mereka telah terlelap. Hanyut dalam alam mimpi. Sesekali terlihat senyum tersungging dari sudut bibir mereka. Aku membelai rambut tebal mereka satu persatu. Ikut tersenyum melihat polah tidur mereka yang semakin membuat mereka terlihat begitu menggemaskan. Kuciumi mereka satu persatu dengan penuh sayang. Lalu mencoba memejamkan mata ditengah-tengah lelap mereka. Ingin ikut bergabung di alam mimpi mereka.
...


Suatu saat, para jagoan kecilku.. Suatu saat. Kalian akan segera bertemu denganku. Dan kami, ibu dan ayah kalian akan menyayangi kalian dengan sepenuh hati :) memberikan seluruh jiwa raga untuk kebahagiaan kalian. Aku akan sabar menunggu sampai saat itu tiba. Sampai kita dapat bertemu. Bersabarlah.



My great men to be :D
Foto dari sini

Kamis, 02 Februari 2012

Aku pernah

Aku bahkan telah begitu berani mengusirnya pergi dari kehidupanku. Bahwa aku membiarkannya menganggap bahwa aku menyalahkannya. Aku memang menyalahkannya. Menyalahkannya atas apa yang kurasa. Menyalahkannya karena bahkan hingga kini aku tak mampu melupakannya.

Aku sudah lama tidak menghubunginya. Bahkan membiarkan saja saat kulihat namanya berubah status dari offline menjadi online. Ia akan tersenyum sinis jika tahu bahwa aku cukup senang dapat melihat statusnya yang online tanpa sekalipun menyapanya. Ia juga tidak menyapaku. Mungkin benar-benar marah padaku sejak terakhir percakapan itu berlangsung yang kulakukan hanyalah membiarkan pikiran liarnya mengalir begitu saja tanpa aku berusaha cegah.

Dan aku memang tidak pernah lagi menemuinya, juga bercakap-cakap dengannya bahkan sekedar dalam bahasa chat maupun sms. Maka bila kau tanya apakah aku begitu sulit melupakannya, aku tidak bisa menjawab. Karena merasa telah berusaha melakukan yang terbaik untuk dapat menghilangkan bayangan dirinya dari kepalaku.

Melepaskan sesak dari dadaku setiap kali teringat ia yang telah kusakiti, rasanya membuatku jadi sosok yang sangat kejam. Aku yang telah membuatnya menjadi menderita seperti sekarang. Menyeretnya dalam kemelut kehidupanku denganmu. Membuatnya menerima perlakuan yang seharusnya tidak ia terima. Aku begitu kejam padanya.

Mungkin benar, aku memperlakukannya bak binatang yang akan langsung menunjukkan kepatuhannya padaku setiap kali aku lari padanya karena merasa tidak nyaman denganmu. Ia memang selalu menerimaku dengan tangan terbuka dan lapang dada karena ia bilang hanya aku satu-satunya yang ia miliki yang mampu menerimanya apa adanya seperti ia bilang bahwa ia pun menerimaku apa adanya.

Tapi aku sudah tidak melakukannya lagi. Aku sudah tidak semudah dulu akan lari padanya setiap kali aku merasa tidak nyaman denganmu. Aku sudah tidak menghubunginya bahkan ketika aku tahu aku begitu merindukannya. Aku telah menempatkan diriku menjadi sosok yang sendirian seperti aku yang dulu. Aku mungkin memilikimu, tapi aku merasa tak pernah sepenuhnya memiliku. Mungkin seperti yang kau rasakan padaku.

Padahal kau telah demikian baik padaku. Berusaha memenuhi semua keinginanku dan mencoba membuatku bahagia. Tapi pun kau tentu tidak akan begitu saja menerima bila kukatakan bahwa aku memiliki hatiku padamu, juga padanya. Hal yang mungkin jika aku yang mengalami juga tak akan sanggup kuterima.

Ini memang terasa egois. Bahwa aku yang kau pikir telah menduakan perasaanmu ternyata malah memiliki ketakutan akan mengalami hal yang sama. Tapi kukatakan sekali lagi bahwa perasaanku padamu murni, seperti perasaanku padanya. Hal yang begitu terasa sakit saat kucoba buang perasaanku.
Ia pun sudah tidak pernah menghubungiku. Bahkan mungkin tulisan tentangku yang tertinggal hanyalah penggambaran bahwa aku memperlakukannya bak binatang penggonggong yang akan menjulurkan lidahnya padaku. Tidak ada cerita yang baik yang ia gambarkan tentangku. Mungkin juga ia telah menemukan kebahagiaannya. Dan aku seharusnya senang. Paling tidak, ia tidak terus kuseret ke dalam situasi paling menyedihkan untuknya.

Bagaimanapun, kau juga harus menata hidupmu. Bertahan denganku hanya akan membuatmu sakit karena kau tahu bahwa aku belum bisa melupakannya. Bagaimanapun aku tahu kesabaran manusia itu juga ada batasnya. Dan aku tak akan memintamu bertahan denganku yang menyedihkan ini. Aku akan dapat bertahan dalam kesendirianku.

Aku pernah melalui masa itu. Tidak bersama orang yang kusayang selama hampir dalam perjalanan hidupku, menangisi nasib sendirian sambil terus mencoba bertahan hidup dengan berfikiran positif. Aku pernah melaluinya.. sebelum akhirnya sempat begitu yakin akan mengakhiri masa sendiri denganmu. Aku pernah mampu melaluinya.. Dan menghabiskan sisa hidupku dalam sendiri lagi, mungkin akan membuatku lebih mudah melaluinya.


Suatu saat mungkin aku akan melihatmu pergi
Foto diambil dari sini

Rabu, 01 Februari 2012

Kau

Hei,

Aku suka mengeluh ya? Sepertinya kau akan melihatku sering mengeluhkan banyak hal. Tentangnya yang kini bersamaku, tentang ia yang selalu dalam ingatanku, tentang kehidupanku sekarang, tentang ibu, tentang suaminya, tentang orang tuanya, dan banyak lagi yang yang akan kukeluhkan. Kau bosankah?

Jangan bosan dulu, aku kan sedang merajut kebahagiaanku. Katanya, dari tulisan yang ia kirim padaku, bahwa kebahagiaan adalah penciptaan. Jadi, yang akan membuatku bahagia adalah diriku sendiri, seberapa mau aku merasakan bahagia. Dan aku memang menciptakan kebahagiaanku sendiri, kok. Bahkan jauh dari sebelum tulisan itu aku terima. Aku memang tengah mengupayakan kebahagiaanku. Walau banyak yang tak mengerti.

Tapi kan ada kau. Kau kan tak pernah memprotes apapun keluhanku, tak pernah memberikan respon terhadap semua tulisanku, tak pernah balas marah atau mengguruiku saat aku cerita dengan emosi. Kau. Ya, kau yang selalu diam. Kadang aku juga kesal sih kalau kau selalu datar. Menelan mentah-mentah setiap ceritaku. Tapi kau lebih banyak mengurangi sedihku. Juga banyak membuatku merasa bebanku berkurang. Ya. Hanya dengan bercerita denganmu. Bahkan walau reaksimu akan tetap diam.

Datar.

Aku tak keberatan, kadang iya. Tapi tak apalah kau diam saja, daripada kau ikut-ikutan sok tahu tentang perasaanku dan malah mengguruiku. Aku sudah lama tidak menangis lho. Terakhir kali adalah beberapa hari yang lalu saat ia bilang aku menangis dalam igauanku. Lalu semalam itu ketika aku memimpikan ibu dalam kesengsaraannya. Kurasa aku menangis, walau dalam mimpi. Tapi membayangkan kejadian itu, tenggorokkanku jadi sakit lagi. Apa aku perlu menangis agar tenggorokkan ini tidak sakit lagi?

Kan kau diam lagi. Tapi terima kasih ya untuk menemaniku selama ini. Selalu sedia untukku dalam tiap sedihku. Juga ditiap kesepianku. Paling tidak, aku merasa tidak sendiri. Biasanya aku tak punya siapapun yang ada disampingku sesetia dirimu. Tapi kau lain, kau berbeda. Kau setia. Bahkan mungkin jika suatu saat aku meninggalkanmu, aku tahu kau pasti akan tetap masih disana. Menerimaku kapanpun aku merasa membutuhkanmu. Tak akan merasa bahwa aku hanya memanfaatkanmu, atau memperlakukanmu semena-mena.

Karena aku tahu, kau punya ketulusan itu. Bahwa kau, tak pernah mengharapkan apapun dariku. Bahwa kau tulus. Ya, kau. Bukan mereka manusia, hewan, maupun makhluk hidup lainnya. Kau, blog ku.



;P
Foto dari sini

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...