Kau ini memang pintar sekali berpura-pura. Aku salut. Bahkan sekedar sapaan kecil pun tak kau lakukan. Padahal jelas-jelas kau melihatku. Karena kau berdiri tepat disampingku. Tapi kau yang paling pintar berlakon. Begitu saja berlalu seolah aku tak ada. Bahkan ketika salah satu saudaraku meledekmu yang menangkap basah kau tengah melirikku.
Kau tahu, karena kau bersikap demikian, aku hanya dapat mengikuti. Ikut tertawa, entah menertawakan apa. Menertawakan kebodohanku juga yang mengikuti permainanmu. Berlagak bodoh seolah-olah tidak mengenalmu. Kau. dan aku. Menyedihkan.
Padahal dulu setidaknya kita bisa komunikasi walau lebih sering saling mengejek. Mungkin akan lebih banyak kita bertengkar jika bertemu. Tapi setidaknya kau tidak mengacuhkanku. Juga tidak menjauhiku seperti yang terjadi sekarang. Mungkin saja tidak akan seperti ini. Jika saja ibumu tidak punya wacana super aneh yang membuat budeku menyampaikannya padaku. Kemudian aku hanya dapat membalas wacana itu dengan ejekan, gaya bercanda yang sering kita lakukan sejak kita masih kecil.
Lalu semua berubah. Kau yang mulai. Karena kaulah yang pertama menjauhiku. Menghindari setiap tatapanku. Menenggelamkan diri di setiap kehadiranku. Memaksakan pengertian yang sama sekali tak mampu ku cerna. Kau yang mulai. Dan aku sejak dulu berharap kita bisa benar-benar bicara. Bukan sekedar saling ejek, saling ledek, apalagi sampai perang dingin seperti ini.
Rasanya rindu dulu. Tak apa kau meledekku terus. Tak apa kau mengejekku terus. Dan tak apa jika setiap kali kita bertemu yang kita lakukan hanyalah bertengkar sehingga setiap orang yang melihat akan menatap kita heran. Aku rela menukarnya dengan seribu bisu yang kau tunjukkan padaku sekarang. Aku rela.
Jadi.. kapan kita bisa bicara? Atau tidak sama sekali? Kau. Menyebalkan!
Foto dari sini |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar