Aku sudah lama tidak menghubunginya. Bahkan membiarkan saja saat kulihat namanya berubah status dari offline menjadi online. Ia akan tersenyum sinis jika tahu bahwa aku cukup senang dapat melihat statusnya yang online tanpa sekalipun menyapanya. Ia juga tidak menyapaku. Mungkin benar-benar marah padaku sejak terakhir percakapan itu berlangsung yang kulakukan hanyalah membiarkan pikiran liarnya mengalir begitu saja tanpa aku berusaha cegah.
Dan aku memang tidak pernah lagi menemuinya, juga bercakap-cakap dengannya bahkan sekedar dalam bahasa chat maupun sms. Maka bila kau tanya apakah aku begitu sulit melupakannya, aku tidak bisa menjawab. Karena merasa telah berusaha melakukan yang terbaik untuk dapat menghilangkan bayangan dirinya dari kepalaku.
Melepaskan sesak dari dadaku setiap kali teringat ia yang telah kusakiti, rasanya membuatku jadi sosok yang sangat kejam. Aku yang telah membuatnya menjadi menderita seperti sekarang. Menyeretnya dalam kemelut kehidupanku denganmu. Membuatnya menerima perlakuan yang seharusnya tidak ia terima. Aku begitu kejam padanya.
Mungkin benar, aku memperlakukannya bak binatang yang akan langsung menunjukkan kepatuhannya padaku setiap kali aku lari padanya karena merasa tidak nyaman denganmu. Ia memang selalu menerimaku dengan tangan terbuka dan lapang dada karena ia bilang hanya aku satu-satunya yang ia miliki yang mampu menerimanya apa adanya seperti ia bilang bahwa ia pun menerimaku apa adanya.
Tapi aku sudah tidak melakukannya lagi. Aku sudah tidak semudah dulu akan lari padanya setiap kali aku merasa tidak nyaman denganmu. Aku sudah tidak menghubunginya bahkan ketika aku tahu aku begitu merindukannya. Aku telah menempatkan diriku menjadi sosok yang sendirian seperti aku yang dulu. Aku mungkin memilikimu, tapi aku merasa tak pernah sepenuhnya memiliku. Mungkin seperti yang kau rasakan padaku.
Padahal kau telah demikian baik padaku. Berusaha memenuhi semua keinginanku dan mencoba membuatku bahagia. Tapi pun kau tentu tidak akan begitu saja menerima bila kukatakan bahwa aku memiliki hatiku padamu, juga padanya. Hal yang mungkin jika aku yang mengalami juga tak akan sanggup kuterima.
Ini memang terasa egois. Bahwa aku yang kau pikir telah menduakan perasaanmu ternyata malah memiliki ketakutan akan mengalami hal yang sama. Tapi kukatakan sekali lagi bahwa perasaanku padamu murni, seperti perasaanku padanya. Hal yang begitu terasa sakit saat kucoba buang perasaanku.
Ia pun sudah tidak pernah menghubungiku. Bahkan mungkin tulisan tentangku yang tertinggal hanyalah penggambaran bahwa aku memperlakukannya bak binatang penggonggong yang akan menjulurkan lidahnya padaku. Tidak ada cerita yang baik yang ia gambarkan tentangku. Mungkin juga ia telah menemukan kebahagiaannya. Dan aku seharusnya senang. Paling tidak, ia tidak terus kuseret ke dalam situasi paling menyedihkan untuknya.
Bagaimanapun, kau juga harus menata hidupmu. Bertahan denganku hanya akan membuatmu sakit karena kau tahu bahwa aku belum bisa melupakannya. Bagaimanapun aku tahu kesabaran manusia itu juga ada batasnya. Dan aku tak akan memintamu bertahan denganku yang menyedihkan ini. Aku akan dapat bertahan dalam kesendirianku.
Aku pernah melalui masa itu. Tidak bersama orang yang kusayang selama hampir dalam perjalanan hidupku, menangisi nasib sendirian sambil terus mencoba bertahan hidup dengan berfikiran positif. Aku pernah melaluinya.. sebelum akhirnya sempat begitu yakin akan mengakhiri masa sendiri denganmu. Aku pernah mampu melaluinya.. Dan menghabiskan sisa hidupku dalam sendiri lagi, mungkin akan membuatku lebih mudah melaluinya.
Suatu saat mungkin aku akan melihatmu pergi Foto diambil dari sini |
masih aja suka misinterpretasi sih, yg gambarin binatang penggonggong itu si penulis, bukan objek yg dijadikan bahan cerita. gitu aja ga ngerti, met bahagia aja deh
BalasHapus