Rabu, 28 Desember 2011

Ia selalu saja bercanda

Biasanya saya akan meladeni semua celotehan dan candaannya jika tengah berhadapan dengannya. Dering telepon yang mampir di telepon genggam saya biasanya tidak akan secepat itu berakhir, jika ia yang menghubungi saya. Kami akan berlama-lama bertukar cerita, kebanyakkan saling meledek dan mencerna candaan demi candaan. Ya, kebanyakkan percakapan melalui telepon itu akan diisi oleh iringan tawa yang tak berkesudahan. Kelakar dalam bahasanya yang sopan dan halus itu akan membuat saya tidak bisa berhenti tertawa. Pun demikian, seloroh spontan saya kadang malah gantian membuatnya tidak bisa berhenti tertawa.

Pun ketika kami bertemu, dan menghabiskan waktu bersama. Suasana ceria itu tak pernah lepas sedetik pun dari kami berdua. Ia akan membuat guyonan mengenai kekagumannya pada saya. Lalu saya akan menimpali dengan pujian tak henti mengenai sifatnya yang workaholic dan loyalitasnya yang tidak perlu diragukan lagi. Kami pun akan meneruskan dengan saling menyanggah, saling merendah, dan saling melempar pujian.

Saya menyukai bersama dengannya. Padahal awal mengenalnya, saya merasa skeptis. Ketika itu ibu saya berencana mengenalkan rekan kerjanya yang pernah diceritakan memiliki kecerdasan dan dedikasi tinggi terhadap pekerjaan. Saat itu dalam benak saya adalah sosok laki-laki setengah baya yang lebih tua dari ibu, dan serius. Siapa sangka, saya yang kala itu mengacuhkannya saat akhirnya ia datang kerumah, kemudian malah menjadi tertarik dengan sosoknya.

Ia yang saya acuhkan dan bahkan tidak saya gubris sejak kali pertama berkenalan malah demikian menyenangkannya mengisi hari-hari saya kemudian. Seringnya saya dan dua adik saya (saat itu adik pertama saya belum kuliah di Solo) menghabiskan malam minggu bersama-sama. Jalan-jalan ke mall, makan, bercanda.
............


Itu adalah keadaan yang seharusnya terjadi jika saja waktu tidak berjalan. Ya, itu adalah kejadian yang seharusnya terjadi pada waktu dulu. Dulu sekali. Bertahun yang lalu. Saat masa depan belum benar-benar menghalangi pandangan mata saya terhadap bagaimana kehidupan yang sebenarnya itu terjadi.

Ia menghilang. Bersamaan dengan pekerjaan yang kemudian ia tinggalkan begitu saja. Bertahun-tahun mengabdi pada salah satu maskapai terbesar di Indonesia tanpa pernah sekalipun mengambil cuti untuk sekedar berlibur maupun sekedar merasakan yang menjadi hak nya. Mungkin ia jenuh. Mungkin masalahnya sendiri kemudian membuatnya menjadi muak. Lalu ia pergi. Meninggalkan ibu saya yang sudah dianggapnya seperti ibunya sendiri. Meninggalkan rumah yang sudah dianggap sebagai rumahnya sendiri. Meninggalkan saya, hanya dengan sebuah pesan. Bahwa ia sudah berhenti bekerja dan memilih untuk bertani. Kembali ia bisa dengan mudahnya bercanda ditengah hiruk pikuk kemelut masalahnya sendiri.

Tentu saja saya tidak begitu percaya. Saya masih bisa mengiriminya pesan singkat dan ia masih kerap menghubungi saya sekedar untuk menggoda saya. Jika saja telepon genggam saya tidak hilang di hari itu, saya tidak perlu kembali membuka facebook hanya untuk menghubunginya.

Suatu hari saya terpaksa harus masuk kembali ke halaman facebook saya demi mencarinya yang telah lama menghilang dalam kehidupan saya jauh sebelum kericuhan pada kehidupan saya terjadi, ia menghubungi saya. Akhirnya, setelah saya harus menghubunginya melalui situs jejaring itu, memaksanya untuk menghubungi saya, pesan singkat itu saya terima.

Saya langsung dapat mengenali bahasanya meskipun ia bahkan tidak menyebutkan namanya maupun nama saya. Pesannya sederhana: selamat malam ibu. Dan saya langsung tahu bahwa itu dia. Tidak ada lagi yang memanggil saya itu selain dia. Bahasa sapaan yang lazim kami gunakan untuk menyebut satu sama lain. Lalu saling bertukar pesan itu berlanjut. Ia masih saja senang bercanda seperti dulu.

Entah bagaimana kemudian saya mengatakan sudah bukan saatnya bercanda seperti dulu. Saya tahu ia kesepian. Saya tahu ia ingin punya teman bercerita, seperti saya dulu menemaninya bercerita. Tinggal sendirian, dalam rantau tanpa saudara, bahkan orang tua mungkin sudah menjadi biasa untuknya. Tapi sendirian dalam waktu sangat lama, ditambah banyak masalah dan beban pikiran, saya yakin siapapun tidak akan tahan menjadi dirinya. Tapi ia biasa menutupi semuanya dalam tawa, dalam canda.

Disana, di suatu negeri yang jauh dari pandangan mata, negeri yang penuh dengan pohon cemara, ditengah beton tinggi rimba raya, kota kedua di Indonesia, adanya di timur pulau jawa itu  katanya ia tengah tapa broto, meningkatkan ilmu kesaktian untuk mencari seteguh air dan sepiring nasi di tengah terik dan panasnya kota. Begitu bunyi beberapa pesan singkatnya yang saya rangkum.

Saya tentu tahu tempatnya bernaung sekarang. Kota yang dekat dengan tempatnya berasal. Bagaimanapun, gaya bahasa yang dibuat berteka-teki itu salah satu gaya bahasa yang digunakan jika berbicara dengan saya.

Dasar! Ia itu.. selalu saja bercanda :p



Pasti ia lebih sering menikmati hijau cemara :p
Foto dari sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...