Minggu, 29 Januari 2012

Bila libur datang

Sejujurnya saya selalu malas jika sudah masuk hari sabtu, minggu, atau hari libur lainnya. Bukannya saya tidak senang, saya tentu senang karena bisa terbebas dari rutinitas kantor, bisa bersantai-santai, dan tentunya memuaskan diri tidur sampai siang dan melanjurkan berleha-leha melepaskan penat setelah lima hari berjibaku dengan pekerjaan kantor.

Yang membuat saya agak malas menyambut hari libur adalah rutinitas yang harus saya lakukan di salah satu waktu setiap hari libur itu. Padahal dulu ia bilang jarang pulang kerumahnya ketika masih tinggal bersama om dan tantenya itu. Tapi kenapa saya merasa setiap libur harus melakukan kunjungan kesana? Ritual absen itu sejujurnya membuat saya sedikit risih dan malas.

Padahal juga ia kan setiap hari menghubungi orang tuanya, juga adiknya yang mampu ditemui di setiap hari kerja karena satu kantor dengannya. Masa iya adiknya tidak bisa cerita bahwa kakaknya sehat dan baik saja. Saya merasa jadi berfikiran bahwa ia hanya terlihat sehat dan baik hanya didepan saya saja. Maka itu sebabnya setiap libur selalu diharapkan menyetor wajah kesana.

Jadi dii setiap libur disuruh menyambangi rumahnya. Saya bingung saja, masa demikian intens nya kontak yang ia lakukan pada orang tua nya masih juga tetap kurang? Saya saja yang anak perempuan tidak demikian 'manja' nya. Saya juga selalu rindu ibu saya yang tinggal cukup berjarak dengan saya tinggal, tapi saya dapat menekan perasaan saya dan kangen itu akan saya panjatkan padaNya untuk senantiasa menjaga ibu.

Tapi ketika saya ogah-ogahan kesana, ia akan menganggap saya kurang perhatian pada mereka. Lagipula saya juga tidak melakukan apa-apa selain disuruhi makan terus setiap kali berkunjung kesana. Seperti mereka melihat saya ini punya badan mirip orang kelaparan apa? Memang saya kesana cuma untuk minta makan?
Sungguh saya risih dengan perlakuan itu. Saya yang diperlakukan bak tamu atau anak raja sekalipun ketika berada di tengah mereka. Rasanya jika melihat saya yang memang menyenangi pojok sepi salah satu rumah itu tanpa melakukan apapun selain berdiam dan menikmati kesenangan saya membaca terasa begitu mengganggu mereka. Padahal saya juga tidak pernah minta macam-macam. Makan akan saya ambil sendiri jika saya memang lapar, minum juga saya sudah tahu tempatnya. Dan saya kan bukan tamu jauh atau tamu kehormatan lainnya. Itupun jika benar apa yang ia katakan bahwa tidak ada diskriminasi diantara saya dengannya.

Pun saya tidak mau tahu apa yang ia ceritakan pada ayahnya tentang saya. Kebiasaannya bercerita pada ayahnya tentang kehidupannya terus terang membuat saya merasa tidak punya privasi. Apalagi bila hal itu menyangkut tentang saya. Rasanya saya mau menceritakan apapun tentang yang ada dikepala saya jadi terblokade secara otomatis karena tahu ia mungkin akan menceritakan pada ayahnya atau salah satu keluarganya, mungkin juga teman-temannya.

Tak tahulah, rasanya malas jika hari libur datang. Saya tidak bisa benar-benar menghilangkan penat, bukan saja karena pekerjaan, juga karena privasi saya merasa diganggu.



Foto dari sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...