Sabtu, 28 Januari 2012

Sakitnya ibu

It's been a long time since we act like in this pic
Foto dari sini


Ibu saya memang sudah lama menderita sakit. Sakitnya macam-macam. Mulai dari maag yang semakin parah, sampai kista yang tetap saja tumbuh walau sudah menjalani operasi sebanyak dua kali. Berbagai macam pengobatan juga sudah dijalani, tapi mungkin memang belum waktunya ibu sembuh total.

Saat berkunjung pada imlek kemarin, saya mengetahui bahwa benjolan di lehernya kembali kambuh. Ibu sempat diberitahu mengenai hal ini. Katanya semacam thyroid. Tapi karena tidak begitu mengganggu, ibu tentu tidak mau repot bolak-balik periksa ke dokter. Karena biaya untuk pemeriksaan kista saja sudah lumayan menguras kantong. Jadi benjolan itu membesar lagi. Waktu ibu telpon, saya berusaha tegar dan menyarankan untuk periksa. Tapi rupanya ibu tidak kunjung ke dokter. Katanya takut kalau sampai harus menjalani endoskopi. Padahal saya bilang untuk periksa ke dokter umum saja dulu. Tapi tetap saja ibu menolak.

Saat itu saya menyarankannya lagi ke dokter. Walau benjolan itu tidak menimbulkan sakit seperti yang dikeluhkannya tempo hari. Tapi saya melihat masih begitu jelas terlihat di lehernya. Setidaknya, saya ingin mengetahui diagnosis dokter mengenai penyakitnya. Tapi jawaban ibu kali itu begitu menohok saya. Katanya sayang uangnya. Kalau saat itu saya memegang uang, mungkin sudah saya berikan padanya untuk digunakan periksa. Tapi uang yang saya punya saat itu memang saya perlukan setidaknya sampai gaji saya bulan ini.
Jadi, saya mencoba membiarkan ibu yang tidak jadi ke dokter sampai setidaknya gaji saya bulan ini turun. Mungkin.

Saya tahu, ibu memikul beban cukup berat setelah saya pergi. Adik-adik saya juga bukannya orang-orang yang mampu diandalkan dalam menjaga ibu. Satu-satunya yang saya harapkan hanya suaminya itu. Semoga ia seperti yang dikatakannya ketika saya pergi. Bahwa tindakannya dilakukan agar ibu tidak terluka karena saya.

Saya juga tahu, ibu sudah bosan dan jengah dengan penyakitnya. Setiap kali perutnya merasa sakit atau darah tingginya kumat, ia pasti lebih sering menyembunyikan dari adik-adik saya. Karena sejak dulu ibu hanya bercerita pada saya mengenai penyakitnya. Mungkin karena dulu adik-adik saya dianggap masih terlalu kecil untuk tahu penderitaan ibu.

Lalu menanggung beban dengan bekerja untuk ikut menutupi kebutuhan hidup keluarganya, saya juga tahu betapa lelah yang ibu rasakan. Tapi saya juga tahu, ia hanya memikirkan kami anak-anaknya. Maka lelah itu mungkin tak ingin dirasakannya.

Saya memang bukan anak yang baik. Tidak bisa sedikitpun meringankan bebannya. Bahkan sebanyak-banyaknya doa yang saya panjatkan untuk ibu juga masih belum bisa membantu mengangkatnya demikian ringan dari apa yang ditanggungnya. Seberapapun banyak selisih paham yang terjadi diantara saya dengan ibu, tentu tak akan menghapus kenyataan bahwa kami adalah ibu dan anak.

Bu, sabar ya.. Anakmu ini sedang berusaha membantu dengan caranya sendiri. Mengerti ya bu..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...