Jadi seharusnya saya adalah tamu ketika berkunjung kesana untuk menjenguk ibu dan adik-adik saya, juga si kecil paul yang sudah seperti cucu bagi ibu. Dan saya tidak sepantasnya berlaku seperti selayaknya ketika saya masih tinggal dirumah itu. Saya harusnya minta ijin dulu ketika ingin menggunakan kamar mandi, ataupun sekedar beristirahat dikamar salah satu adik saya. Demikian juga ketika saya ingin menyantap makanan yang ada didapur, atau bahkan sekedar air putih untuk minum. Selebihnya, seharusnya saya tetap di ruang tamu sampai sekiranya saya pamit untuk kembali ke tempat tinggal saya.
Maka, saya yang saat itu ditampik oleh adik si pemilik rumah asli ketika hendak sekedar basa basi mencium tangannya untuk pamit, saya mungkin diingatkan siapa diri saya sebenarnya. Saya ini kan hanya seorang anak yang kebetulan menjadi anak dari wanita yang kini menjadi istrinya. Saya hanya seorang anak yang kebetulan terpaksa harus ikut di rawat, di asuh, di besarkan, dan di pelihara olehnya bersamaan dengan anak kandungnya yang lahir dari wanita yang dinikahinya waktu itu.
Yah, padahal saya sudah berusaha menurunkan ego dan kemarahan saya karena perlakuannya yang tak kalah angkuh dengan tembok benteng saya. Saya merendahkan diri dengan berusaha memberinya sedikit penghormatan untuk mencium tangannya saat pamit. Tapi ia sendiri yang bilang tidak usah dengan nada yang begitu santainya. Jadi saya pergi saja. Sakit ini bukan karena ditampik, tapi karena saya tahu bahwa luka saya kembali terbuka. Dan bahwa saya tahu ibu juga terluka, terlebih ibu juga melihat dan menyadari luka saya kembali menganga.
Ya sudah. Mau bagaimana? Saya rasa juga saya tak akan bisa begitu saja menutup luka yang sudah terlanjur membusuk ini begitu saja dengan plester pembalut luka maupun minyak tawon, atau obat lainnya. Biarkan saja.. Nanti juga sembuh.
Saya tidak perlu memaafkan, juga tak memilih untuk melupakan. Biarkan saja! Foto dari sini |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar