Kamis, 26 Januari 2012

Ibu dan hutang

Foto dari sini


Jadi ibu bilang mau jadi TKW. Iya, TKW yang itu, yang kerjanya di luar negeri dan kebanyakkan jadi pembantu. Adik saya yang paling kecil langsung bereaksi. Ia tegas-tegas mengatakan tidak dengan suara cukup kencang. Saya hanya diam saja. Dalam hati bertanya-tanya: ada apa lagi ini?

Lalu ibu mulai beberapa kali dengan wajah dibuat biasa saja mengatakan bahwa ibu banyak hutang. Saya masih diam sementara adik saya yang paling kecil masih terus melancarkan protesnya.

Ibu memang tidak bekerja. Tapi sudah cukup lama ibu membantu mengurusi koperasi sebagai bendahara. Dan uang koperasi itu beberapa kali diputar ibu dengan dipinjamkan kepada yang membutuhkan. Namun beberapa kali ibu sempat tertipu karena peminjam yang nakal tak jarang tidak dapat mengembalikan uang pinjaman dan kabur entah kemana. Sehingga yang terjadi adalah ibu yang harus menanggung biaya si peminjam.

Beberapa kali ibu bilang mau berhenti jadi bendahara koperasi karena resiko posisinya itu memang bukan sembarangan. Saya sendiri sudah pernah mengingatkan ibu mengenai hal ini. Tapi rupanya sampai sekarang masih juga bertahan.

Tempo hari ibu sampai panik karena hampir kehilangan uang puluhan juta karena peminjam tidak jelas keberadaannya dimana. Saya cuma bisa diam karena bicara pun percuma. Saya tahu ibu pasti tidak akan mendengarkan saya.

Saya tahu maksud ibu bertahan di posisinya. Pekerjaan suaminya yang hanya memiliki bengkel kecil-kecilan mungkin kurang untuk biaya sehari-hari. Tapi saya rasa, jika saja saudara-saudara suaminya itu cukup tahu diri dan bisa berhenti merepotkan ibu dengan meminjam uang dan berbagai keperluan lainnya, ibu tidak perlu bekerja sampai seperti itu.

Bagaimanapun, menolong memang baik. Tapi banyak saudara suaminya ibu yang tidak tahu diri dengan terus merongrong ibu yang kadangkala tidak bisa begitu saja tutup mata terhadap raungan saudara suaminya. Jadilah ibu yang kesusahan. Dan saudara suaminya itu banyak yang tidak tahu kesusahan ibu. Padahal suadara suaminya itu ada yang hidupnya melimpah kekayaan, tapi saya belum pernah mendengar bila mereka kesusahan tidak lari pada ibu.

Kadang gemas sendiri melihat ibu yang jadi kerepotan karena harus memikirkan hidup orang lain meski itu saudara sendiri. Saya juga tidak mengerti pola pikir saudara suaminya itu. Bagaimana mungkin terus lari kepada ibu setiap kali ada masalah tanpa pernah sekalipun merasa bersalah telah menerima bantuan terus-menerus? Padahal mereka sudah berkeluarga, sudah juga memiliki anak dan cucu.

Jadi, ketika tadi ibu bilang lagi bahwa ia punya banyak hutang. Saya hanya bisa diam. Karena pendapat apapun yang saya keluarkan menjadi percuma saja. Lagipula saya juga masih berusaha melunasi hutang ibu yang lain sambil berusaha menata hidup saya yang entah akan jadi apa nantinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...