Jumat, 11 November 2011

Balada Si cupu dan kuper: Bagian 2

*Fiuh
Source

Pada kemudian saya memutuskan untuk bersabar menghadapinya. Saya ingin melihat, kala suatu saat saya dapat menyelesaikan apa yang mereka limpahkan pada saya, yang mana semua itu seharusnya dapat saya perjuangkan untuk saya tolak mentah-mentah. Beberapa kali sang manajer mengatakan bahwa pekerjaan itu mudah, segitu mudahnya sampai-sampai mereka tidak punya waktu untuk mengerjakannya. Saya hanya tersenyum. Sambil lalu, saya meremas gemas lengan rekan satu tim saya. Mereka hanya tertawa, menikmati saya yang akan terlihat sibuk dan berkonsentrasi mencerna 'makanan baru' saya.

Saat itu, seringkali, pekerjaan rutin yang menjadi kewajiban saya berhasil saya kerjakan dengan cepat sehingga sesuai dengan perhitungan saya. Saya pun bisa menggunakan jam kerja sore saya dengan sedikit santai. Lalu wanita ini masuk dan dengan logat sundanya yang masih menyisakan sedikit gaya yang khas mulai berseloroh mengenai saya yang tidak punya pekerjaan. Membuat celotehan yang memperesentasikan bahwa saya di kantor ini hanya memanfaatkan gaji yang saya terima setiap bulan tanpa melakukan pekerjaan yang berarti.

Lalu mereka tidak melihat bahwa setiap kali artikel yang saya buat rutin dua mingguan tidak pernah absen mengisi majalah kantor tiap terbitnya. Dan setiap kali pujian yang disampaikan mengenai kinerja departemen tempat saya bernaung yang semakin baik sejak kedatangan saya. Begitu juga ketika artikel yang saya buat mendapatkan acungan jempol karena manfaatnya. Saya juga melakukan pekerjaan yang seringkali dilupakan oleh team saya, semampu saya. Dan itu bukan berarti hal tersebut menjadi suatu keharusan atas pekerjaan rutin saya. 

Saya memiliki ruang lingkup pekerjaan saya sendiri, begitupun mereka. Dan saya beruntung memiliki beban terhadap diri saya sendiri bahwa saya memiliki tanggungjawab untuk menyelesaikan pekerjaan saya, berikut tidak lupa menyelesaikan pekerjaan yang dilemparkan pada saya. Bagusnya, saya tidak pernah melupakan bahkan untuk pekerjaan yang seharusnya dapat saya abaikan.

Tapi saya tidak bisa begitu saja membiarkan team menjadi begitu berantakkan karena beberapa pekerjaan terbengkalai hanya karena seseorang yang seharusnya mengerjakan pekerjaan itu menjadi lalai karena sedang dilimpahi tugas yang lebih besar dan lebih penting. Jadi saya kerjakan pekerjaannya, sampai kemudian manajer mengatakan sebaiknya mungkin saya yang harus mengerjakan pekerjaan itu karena saya tidak pernah lupa.

Saya akan mendapatkan pengetahuan lebih karena mengerjakan beberapa pekerjaan sekaligus, karena kemampuan multi-tasking dan pembagian konsentrasi saya yang baik. Sehingga setiap pulang kantor saya harus merasakan migrain yang tiada henti. Kadangkala saya mesti menahannya agar tidak begitu terlihat dari raut wajah saya. Yah, setidaknya pengetahuan saya bertambah.

Saya mungkin tidak sepintar kalian yang berjenjang pendidikan strata 1, tetapi saya lebih memiliki tanggungjawab dan pengertian jauh diatas jenjang pendidikan kalian. Setidaknya, saya tidak sepintar kalian dalam mendelegasikan pekerjaan yang seharusnya kalian kerjakan, bahkan dengan bodohnya saya tetap mengerjakan pekerjaan itu walaupun dapat saya tolak dengan berbagai alasan. Mungkin suatu saat saya harus belajar olahraga lidah, juga belajar menyunggingkan senyum diplomasi agar setiap orang tidak merasakan lidah saya yang tengah terjulur untuk mencoba menjilat. 

2 komentar:

  1. iyah, "menjilat" sepertinya harus jadi mata pelajaran/kuliah wajib di semua jenjang pendidikan, ah, tak dijadikan adapun sudah banyak yang lihai...

    saya orang yang beruntung kuliah, mungkin bgt kata orang. tapi menurutku kuliah malah bagai kutukan. sama saja, kuliah tidak kuliah yang penting : jago menjilat!

    BalasHapus
  2. hihihihi.. sabar buuu, kalo yang dijilat itu enak sih aku yo mau. :P
    Jangan belajar yang ga bener, masih bener aja belom tentu masuk sorga, apalagi ga bener. Tul???

    BalasHapus

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...