Selasa, 17 April 2012

Mantra tidur

Sebagai orang yang mengaku gemar menulis dan tidak bisa hidup tanpa menulis, sejujurnya saya merasa sangat bersalah tidak pernah bisa meluangkan sedikit waktu sekadar untuk menulis. Akhir-akhir ini saya sering bermimpi tidur diantara tumpukan buku dan kertas. Kosong. Ya, semua buku dan kertas itu kosong. Saya hanya ingat menggenggam sebuah ballpoint yang sama sekali tidak mampu mengeluarkan tinta. Saya berusaha untuk menulis, tetapi tidak bisa karena tinta ballpoint itu tidak mau keluar. Akhirnya dalam mimpi saya itu saya menangis dan meporak-porandakan tumpukan kertas dan buku tersebut. Saya merasa begitu kesal.

Mungkin mimpi yang saya alami itu merepresentasikan keadaan saya kali ini. Saya kesulitan untuk meluangkan waktu menulis. Saya bahkan sudah begitu berantakkannya sekedar untuk blog walking. Saya merasa mengkhianati diri saya sendiri terhadap komitmen saya dengan dunia tulis menulis. Saya merasa gagal.

Sebenarnya bukan hanya karena saya tidak punya waktu untuk menulis yang membuat saya seperti tengah dalam tahap menelantarkan blog ini. Saya sempat mengalami masa-masa tersulit dalam hidup saya. Saya sempat hendak mengambil sebuah keputusan yang entah suatu saat nanti mungkin akan saya sesali sepanjang sisa hidup saya.

Saya tidak pernah menangis seperti kemarin itu sebelumnya. Tiga hari tiga malam saya berusaha keras menyumbat lubang air mata saya. Dan saya gagal. Mata saya tidak pernah bengkak seperti itu sejak terakhir saya menangis selama sehari semalam. Saya bahkan hampir tidak bisa membuka mata saya dan harus terus terpejam selama beberapa saat sampai bengkaknya reda. Badan saya juga tidak pernah seremuk seperti kemarin itu sebelumnya. Tapi saya hampir saja tidak bisa merasakan tulang dan daging saya menyatu. Saya merasa melayang dan tidak bisa merasakan pijakan dunia tempat saya tinggal. Ini agak berlebihan mungkin. Tapi itulah yang saya alami beberapa waktu lalu.

Saya juga tidak pernah merasa sesakit seperti kemarin itu. Sakit yang mampu membuat saya memohon pada sang Khalik untuk segera diakhiri. Hati saya sakit. Jiwa saya sakit. Saya merasa tidak berhak ada di dunia ini. Untuk beberapa saat, saya merasa ingin seperti ingatan saya yang hilang sejak sebelum SD di Tangerang itu. Saya ingin melupakan semuanya. Semuanya. Saya ingin tidak bisa ingat apapun seperti masa kecil saya di Solo, maupun masa transisi saya di Jakarta dan Bekasi. Saya benar-benar ingin lupa dan menjadi orang lain. Saya begitu kecewa, begitu sedih, begitu bingung. Juga begitu takut. Sungguh saya tidak pernah merasa sekalut seperti kemarin itu dalam hidup saya. Bahkan dalam segala ketakutan dan kesedihan saya.

Lalu saya mulai mencari kesibukan. Mengalihkan pikiran saya yang carut marut tidak karuan kepada banyak hal. Salah satunya bedagang. Untungnya memang belum kelihatan, malah saya jadi sibuk menjadi rentenir yang menagihi beberapa pembeli saya yang notabene adalah teman-teman saya untuk membayar belanjaan yang sudah di tangan mereka. Lalu saya juga menenggelamkan diri pada pekerjaan kantor saya yang semakin tidak karuan. Atasan besar saya semakin menuntun lebih pada anak buahnya sehubungan dengan adanya pergantian karyawan pada beberapa anak buahnya. Beberapa project yang seharusnya bisa selesai jadi tertahan. Dan membuat jadwal menjadi berantakkan.

Saya masih berusaha bertahan. Dengan semuanya tentu saja. Belum ada tanda-tanda kebahagiaan sejati itu menghampiri saya, tapi saya masih memiliki harapan itu. Juga mimpi itu. Maka saya ingin menjadi orang yang tidak tahu saja. Ingin menutup semua hal yang saya tahu dan menikmati menjadi orang bodoh. Saya sudah muak sepertinya untuk tahu banyak hal yang hanya akan membuat saya semakin mengutuki diri saya sendiri. Nanti saya dimarahi Tuhan.

Bukan saya tidak mensyukuri berkah yang diberikan, hanya saja.. menjadi tidak tahu membuat saya sedikit merasa santai menjalani hidup. Ya, seperti menjadi orang biasa, dibandingkan menjadi Sookie Stackhouse yang mampu membaca pikiran orang tetapi malah membuatnya banyak terlibat pada masalah dan kemudian malah mengalami sakit hati karena mengetahui kebenaran. Atau seperti Edward Cullen yang sering harus menelan sakit hati karena sering mengetahui isi hati Jacob Black tentang perasaannya terhadap Bella.

Saya masih luntang lantung tidak jelas domisilinya. Kontrakan saya yang baru yang harganya dua setengah kali lebih murah dari kosan yang lama ternyata sangat pengap dan panas. Membuat saya harus setiap hari merasakan seperti didalam ruang sauna. Berkeringat dan merasakan panas yang luar biasa. Bahkan kipas angin murah yang saya beli mulai menunjukkan tanda-tanda 'kemurahannya'. Kipas angin itu mulai rusak.

Saya toh tetap harus beryukur bukan? Entahlah.. saya hanya merasa harus tetap bersyukur bagaimanapun rupa dan keadaan saya. Jerawat yang tidak bisa berhenti muncul, sariawan yang terus timbul, migren yang selalu menghantui malam-malam saya.. semuanya harus di syukuri. Bukan mau sok bijak, hanya saja.. mengeluh buat saya sudah bukan masanya. Saya akan mengeluh, tapi mungkin bukan saat ini. Semua sudah saya tumpahkan dalam setiap ceracauan saya menjelang tidur. Seperti mantra. Ya, mantra saya menjelang tidur kali ini bukan lagi mengenai 'ingin lupa', tapi mantra baru saya adalah aduan saya terhadap Tuhan. Untuk menjaga mimpi saya agar menampilkan kenyataan yang membuat saya lebih banyak bersyukur, juga melupakan kesedihan saya. Mantra tidur saya..



Mantra saya yang lain: mumu
Gambar ambil dari sini
 


_______________
Sookie Stackhouse : Pemeran wanita utama dalam drama serial true blood yang pernah saya ikuti jalan ceritanya dulu.
Edward Cullen dan Jacob Black : Pemeran dalam Twilight Saga

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...