Sabtu, 21 April 2012

Di waktu Ashar

Aku tidak menangis kan Tuhan.
Ketika mengadukan kekecewaanku tentangnya. 
Aku juga tidak menangis kanTuhan.
Ketika mengetahui kebenaran menyakitkan itu.
Aku tidak menangis.
Setidaknya tidak saat aku tengah bersujud di waktu asharMu.
...


Saya memang tidak menangis. Setidaknya saya berhasil mengatasi sifat cengeng saya akhir-akhir ini. Juga tidak menangis ketika membalasi pesan singkatnya di perangkat komunikasi modern itu. Saya berhasil menahannya. Berhasil membuat genangan di pelupuk mata itu tetap disana, dan menguap bersamaan dengan udara. Saya tidak mengaliri pipi saya dengan lelehan hangat air mata. Tidak saat itu. 

Aku mungkin pembohong besar. Juga mungkin pemilik mulut manis yang mampu menipumu dengan buaian kata indah dan memabukkan. Tapi setidaknya aku tidak pernah sembarangan berjanji, kemudian ingkar. Aku juga tidak serta merta dengan mudahnya memamerkan senyum manis dan melemparkan kalimat syurga namun dalam hati merasa sebaliknya. Aku juga merasa tidak memiliki kemudahan untuk membeberkan keburukan orang lain tanpa dasar yang jelas. Bahkan aku berusaha melindungi diriku sendiri, serta orang-orang yang telah begitu menyakitiku dalam diamku. Aku. Tidak sama. Sepertimu.

Saya begitu kesalnya. Tetapi berusaha tetap tenang. Saya pikir saya berhasil mengalihkan kacau balau saya terhadap hal menyebalkan itu. Dengan bersikap santai. Sungguh saya ingin mencaci, dan meninjunya. Namun ia tidak akan merasa apapun kecuali hanya efek digigit semut bila menerima tinju saya. Maka saya meladeni semua kalimatnya yang begitu ringan mengalir dengan nada santai.

Ia menyebut saya ketus. Saya lebih memilih untuk menyebut sikap saya sebagai sikap menyerah. Mungkin masa bodoh. Tapi saya sudah muak dan sudah merasa cukup banyak menelan semua tingkah lakunya.

Aku menyayangimu. Maka aku memilih untuk menerima resiko dibencinya. Aku mencintaimu. Maka aku memilih untuk mengubur rasa sakitku dan berdiri disampingmu. Dan aku tidak akan kembali pada mereka maupun siapapun dari masa laluku.
Tapi yang kau lakukan malah demikian kerap tidak mengerti diriku. Bahkan juga ikut menyerangku atas kenyataan yang ku beberkan.

Saya sungguh lelah. Maka saya akan mulai bersantai saja menghadapi semua ini. Sesungguhnya apapun yang saya lakukan akan tidak menghasilkan apapun juga. Akan tetap begitu. Dan semua, harus kutelan mentah-mentah kembali. Sungguh lelah. Dan bodoh.

Mungkin ini salah satu alasan aku memilih menulis dan percakapan non verbal. Karena mengetahui kebenaran secara langsung itu lebih menyakitkan. Dan saya terlalu pengecut untuk mengalaminya. Saya sudah muak dengan sakit.

Dan ia malah menerima ajakan untuk bermain bulutangkis. Betapa menyebalkan. Tapi sudahlah. Saya mungkin memang pantas diperlakukan seperti ini.


Pict


Suatu hari di waktu ashar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...