Suatu hari, saat itu kita bahkan tak pernah saling tahu akan
bertemu. Bahkan membayangkan sebuah pertemuan sepertinya tak pernah terlintas
dalam benak masing-masing. Kemudian perkenalan yang bahkan tak begitu membekas.
Lalu kemudian kata demi kata, kalimat demi kalimat mengalir menjalinkan
persahabatan. Keakraban.
Kemudian tiada hari tanpa bercerita. Berbagi. Apapun. Saling
ejek, saling puji, yang kemudian berubah menjadi saling caci dan maki. Bertukar
umpat, beradu pembenaran, melempar kebencian.
Terlalu singkat? Tidak juga. Terlalu cepat? Mungkin. Namun
bukankah kenyamanan itu yang lebih utama? Karena bahkan masing-masing tak mampu
mencari tahu ‘mengapa’ kita saling bergantung. Cukupkah waktu? Tak ada yang
mengetahui. Mungkin memang rencana Tuhan lebih indah. Untukmu kelak.
Jadi perpisahan adalah pilihan. Bukan pilihanku. Karena aku
pernah pergi, dan kau menarikku kembali. Berkali-kali. Aku kembali. Lalu saat
jembatan pengertian itu roboh untuk yang kesekian kalinya. Aku tak hanya terjeambab
kedalam jurang yang lebih dalam, namun juga terperosok dalam sibuknya menerka
dan meraba. Akankah kau masih akan menarikku?
Rupanya tidak. Aku memilih untuk terperosok lebih dalam.
Tidak menengok. Tidak melenguh. Hanya diam. Dalam amarah karena prasangka.
Hingga waktu harus menyadarkanku untuk berhenti. Berhenti
terperosok. Aku harus menemukan pegangan. Keyakinanku. Bahwa ini bukanlah
akhir. Berpisah, dalam kubah benci, bukanlah pilihan. Namun aku telah
memutuskan. Mungkin aku yang memutuskan tali jembatan itu dan menyembunyikan
perekatnya. Sehingga kau hanya dapat diam dan menatapiku semakin terperosok
dalam. Gelap.
Aku tak mampu lagi. I just have to let go..
Source |
ini mirip tema lagunya Goetye-somebody i used to know...
BalasHapustentang perpisahan yg tidak berjalan mulus
Mulus kok perpisahannya.. tanpa kata-kata sama sekali malah.. hehehe..
Hapus